Artikel lain

Sabtu, 27 Desember 2008

Belajar tentang Awan di Halaman

Hari ini, 27 Desember 2008, pagi menjelang siang cuaca begitu cerah. Langit pun terlihat begitu biru. Di halaman samping rumah baru kami yang masih lapang ditumbuhi rumput ilalang, anak-anak asyik bermain rumah-rumahan. Bertiangkan beberapa potongan bambu yang diatapi potongan kayu tripleks bekas, Azkia dan Luqman mengamati awan yang tampak jelas bergerak di angkasa.

Memang luar biasa kawasan rumah tinggal kami sekarang ini. Banyak yang bisa kami eksplorasi dan amati, banyak bahan pelajaran faktual yang dihadiahkan alam ciptaan Tuhan ini untuk kami. Ada jangkrik gemuk-gemuk keluar dari liang karena tanahnya tergali, ada bekicot yang menempel di antara ilalang, ada capung dan kupu yang liar beterbangan, ada banyak putri malu yang bisa disentuh kapan saja untuk melihat mereka malu-malu menutup daunnya, dan yang paling menakjubkan pada hari ini adalah ketika Azkia berlari mengambil buku dari kamar untuk mencocokkan bentuk awan yang dilihatnya dengan informasi yang pernah ia baca.

Luqman seperti biasa menguntit kakaknya, yang rajin memberi info terbaru. Dan saya tahu ia juga belajar ketika kakaknya berteriak takjub, "Mama, tadi kakak lihat awan kumulus dan altostratus!".

Aduh, karena saya sibuk mengawasi para pekerja yang sedang membangun dapur, tak sempat saya ikut mengamati awan apalagi memotretnya. Tapi jauh di dalam hati, saya bersyukur dan juga takjub dengan spirit belajar putera-puteri saya yang tak surut karena kepindahan kami ke wilayah pinggiran seperti Tanjungsari ini. Bahkan awan yang gratis bisa kita lihat di atas sana pun membuat mereka tak kehilangan momentum belajar. Puji syukur hanya kepada Allah Yang Mahapemurah. Semoga kepindahan kami ke tempat baru ini memberi berkah. Amin.

Minggu, 14 Desember 2008

Belajar Sepanjang Hayat

Seminggu mertua saya menginap di rumah kami. Berhubung sebagian besar buku sudah dibawa ke Tanjung Sari, ayah dan ibu mertua saya hanya disuguhi buku-buku tentang tanaman obat untuk selingan, karena buku-buku itu-lah yang masih tertinggal di rumah kami di Bandung. Karena sudah banyak juga keluhan sakit, searching tanaman yang berkhasiat obat pun jadi menarik. Ayah mertua saya sampai mem-foto copy beberapa buku yang bersinggungan dengan penyakit beliau.

Ada satu hal yang membuat saya sangat takjub. Saat saya mematikan mesin air, saya lihat sepintas dari jendela, ibu mertua saya sedang menulis di atas secarik kertas. Bahkan mungkin bukan secarik, tapi beberapa lembar juga sudah tergeletak di atas kasur. Saya tak bertanya, karena siapa tahu beliau sedang mencatat surat penting.

Akan tetapi, ketika saya sedang mempersiapkan sarapan di dapur, ibu mertua saya melongok ke dapur dan bercerita bahwa beliau sudah mencatat beberapa tanaman dan khasiat serta resep obat dari buku, dan tinggal sedikit lagi yang belum ditulis. Subhanallah! Saya sampai geleng-geleng kepala... Saat saya lihat ke kamar, memang benar, catatan itu sudah dengan rapinya tertulis pada beberapa lembar kertas.

Tentu sangatlah tidak bijak bukan, kalau saya membiarkan seorang ibu yang begitu bersemangat untuk mendapatkan ilmu harus mencatat begitu rupa, dengan tulisan tangan pula. Akhirnya buku itu pun saya hadiahkan buat beliau. Wah! Mama mertuaku tentu saja senang.

Bagaimana dengan anak-anak muda? Masihkah menyala semangat belajar itu? Sampai kapan? Semoga sepanjang hayat, kita selalu terinspirasi dan bersemangat untuk belajar, tak peduli sudah berapapun usia kita. Amin.

Senin, 17 November 2008

Obat Alami untuk Demam dan Batuk

Musim penghujan identik dengan munculnya beberapa penyakit khas, yaitu influenza dan batuk. Anak-anak saya juga tak luput dari serangan penyakit itu minggu ini. Seperti biasanya, selama hampir dua tahun terakhir ini, saya tak lagi langsung membawa anak-anak ke dokter ketika mereka demam. Siklus demam yang sudah terprediksi selama ini adalah tiga hari, dan itulah yang dijadikan patokan.

Selama tiga hari saya merawat anak-anak dengan 85% sentuhan tradisional. Untuk menurunkan demamnya, selain kompres air juga ditambah parutan bawang merah dan jeruk nipis yang dicampur dengan sedikit minyak kelapa atau minyak zaitun. Ramuan itu saya pakai untuk mengurut bagian punggung, lengan, dan kaki.

Sebagai penurun panas, saya tetap menggunakan obat kimia. Panadol yang berbahan dasar parasetamol adalah obat penurun panas yang paling direkomendasikan oleh beberapa dokter anak yang pernah saya temui. Menurut mereka, itulah komponen obat berjenis analgesik yang dianggap cukup aman buat anak-anak.

Sementara itu, untuk mengurangi panas dari dalam, saya pakai ramuan daun kacapiring. Sekitar 10 - 20 lembar daun kacapiring dicuci bersih, lalu disiram air panas. Daunnya diremas-remas sampai sari daun yang hijau dan kental keluar sempurna. Setelah itu ramuan disaring dan didiamkan selama sekitar 15 menit. Buat yang pernah melihat atau menikmati cincau hijau, maka begitulah kurang lebih tekstur dan juga warna ramuan kacapiring ini.Dengan campuran gula aren yang dicairkan, "cincau" kacapiring ini diminumkan pada anak, cukup dua kali sehari.

Dengan asumsi bahwa kekebalan tubuh sedang menurun, sehingga diperlukan "unsur" tambahan untuk melawan virus dan bakteri, saya gunakan antibiotik alami dari daun sambiloto. Sekitar 5 lembar daun sambiloto direbus dengan segelas air sampai menjadi 1/2 gelas. Setelah disaring dan dingin, untuk sekali minum campurkan 1 - 2 sendok air sambiloto dengan dua sendok madu lalu tambah sedikit air lagi supaya rasa pahitnya tidak terlalu terasa. Ramuan ini juga diminum 2 kali sehari.

Obat Batuk
Setelah demamnya turun, biasanya siklus penyakit sejenis ini selalu diakhiri dengan batuk. Saya gunakan ramuan obat berikut ini untuk mengatasi batuk:
- 5 butir kapulaga untuk meluruhkan dahak
- 1/2 sendok teh pala bubuk untuk penenang
- 2 ruas kunyit untuk anti radang dan anti septik
- 1 ruas kencur untuk anti nyeri
- 2 gelas air
- 2 sendok madu
Cara membuatnya:
Kunyit dan kencur diiris-iris atau dimemarkan. Semua bahan kecuali madu direbus dalam panci stainles hingga airnya menjadi tinggal 1gelas. Setelah dingin, masukkan madu dan minumkan 1/2 gelas saja untuk sekali minum. Karena anak saya dua-duanya batuk, jadi satu kali proses ini habis untuk dua anak sekaligus.

Buat Anda yang mau mencoba resep obat sederhana ini, satu saran saya: "Anda harus yakin dengan khasiat obat-obatan ini, karena jika Anda tidak yakin bisa jadi pikiran Anda akan tetap tersugesti oleh obat kimia dan pengaruhnya juga ada terhadap kesembuhan".

Semoga bermanfaat!

Minggu, 16 November 2008

Akibat Rasa Malas

Kemalasan adalah sebuah penyakit berbahaya. Kalau kita tidak mewaspadainya, banyak persoalan muncul berlipat-lipat dan tak jarang menimbulkan kerugian. Tak percaya? Cobalah ikuti rasa malas untuk minum obat saat kita sakit! Cobalah ikuti rasa malas makan saat kita sedang lapar (padahal tidak puasa)! Cobalah ikuti rasa malas untuk mengambil jemuran padahal hari sudah mendung mau hujan! Cobalah ikuti kemalasan demi kemalasan dalam hidup ini, maka kita semua pasti merasakan akibatnya, baik langsung maupun tidak langsung.

Akhir-akhir ini banyak terjadi peristiwa longsor, dan di antaranya terjadi di beberapa kecamatan di Kabupaten Cianjur. Ditengarai, salah satu penyebab longsor, selain karena kelabilan tanah di area tersebut, juga disebabkan oleh minimnya jumlah pohon besar yang akarnya bisa menjadi pengikat tanah.

Nah, mengapa jarang ditemukan pohon besar di sana? Yup! Anda pasti bisa juga menjawabnya bukan? Kemungkinan besar disebabkan oleh rasa malas warga untuk menanam pohon. Entah karena jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya terlalu rapat sehingga tak ada ruang untuk menanam pohon atau warga di sana mungkin tidak punya pengetahuan cukup tentang gunanya pohon.

Harian Pikiran Rakyat di Bandung hari ini (17/11)juga memberitakan adanya pergerakan tanah di sekitar lereng Cadas Pangeran. Sebuah foto terpasang, dan tampak jelas bahwa lereng itu memang nyaris tak berpohon. Yang ada hanyalah tonggak-tonggak beton yang sejak tahun 2005 lalu dipasang untuk menahan laju longsor yang juga pernah terjadi di sana. Seberapa lama tongggak beton itu menahan gerakan tanah, tak ada yang tahu. Namun pertanyaan saya adalah, MENGAPA SOLUSI UNTUK LONGSOR SELALU HANYA BERSIFAT INSTAN SAJA DAN TIDAK DILANJUTKAN DENGAN SOLUSI JANGKA PANJANG YAITU MENANAMI AREAL TERSEBUT DENGAN PEPOHONAN YANG BERAKAR KUAT?

Penyebab Malas
Malas adalah salah satu tabiat manusia, sehingga wajar kalau ada do'a yang memohon untuk dijauhkan dari sifat malas: Allahuma innii a'uudzubika minal 'ajzi wal kasal... (Ya Allah, aku berlindung kepada Engkau dari kelemahan dan kemalasan...). Tetapi selain itu, sesungguhnya manusia bisa mengatasi tabiat alamiah itu dengan mengetahui dan mewaspadai benar pemicu malas yaitu kurang lengkapnya pengetahuan dan kurangnya kepedulian. Kalau kita tidak tahu persis atau tidak peduli akibat yang bisa timbul karena kemalasan kita, kemungkinan besar kita akan terus memperturutkan rasa malas.

Bagaimana dengan mengajar dan mendidik anak-anak di rumah?
Hal itu tentu sangat urgen diperhatikan. Memperturutkan rasa malas untuk mengajari anak-anak tentang makanan sehat, mandiri dalam bertoilet, mandiri dalam belajar, mandiri dalam berpakaian, sholat, dan lain-lain akar berimbas kepada kita sendiri. Termasuk mengajari mereka untuk mencintai bumi yang telah dianugerahkan Allah SWT kepada kita, menggali potensi-potensinya dengan ramah, dan memelihara kelestariannya, hal itu adalah pe er untuk kita semua, khususnya para orang tua.

Mari kita lawan rasa malas itu. Jangan biarkan ia meraja dan menguasai kita, karena kita tahu bukan? Hari ini tanpa pengetahuan yang cukup, tanpa pendidikan yang komprehensif, tanpa penyadaran yang terus-menerus, banyak persoalan terjadi di sekitar kita. Salam pendidikan!

Kamis, 13 November 2008

Hidup Sederhana

Tak ayal, situasi zaman yang mengubah manusia jadi konsumtif seperti saat ini, membuat hidup sederhana yang disengaja sulit terwujud. Kalaupun seseorang atau sebuah keluarga hidup sederhana, ya karena memang sebegitulah kemampuan finansialnya. Padahal, manakala kita menyengajakan diri untuk hidup sederhana sesungguhnya ada beberapa persoalan penting yang bisa teratasi, di antaranya adalah korupsi dan kesenjangan sosial.

Hidup sederhana bukan berarti hidup bersusah-susah, makan tak bergizi, dan tidak berpendidikan. Hidup sederhana adalah meninggalkan sikap berlebih-lebihan, baik dalam makan, minum, berpakaian. Hidup sederhana adalah aktualisasi dari rasa syukur atas rejeki yang dikaruniakan Tuhan seberapapun adanya, dan membagi kelebihannya untuk kemaslahatan orang lain.

Pendidikan di rumah merupakan ujung tombak penanaman konsep hidup sederhana. Anak-anak yang terbiasa serba mudah mendapatkan apapun yang dinginkannya, meski mungkin bukanlah sesuatu yang benar-benar penting seringkali akan memiliki tolok ukur yang berlebihan terhadap apapun, entah merek pakaian, jenis makanan, restoran, kendaraan, tempat tinggal, sekolah, dan lain-lain. Mereka akan berusaha mendapatkan semua itu meski harus melanggar kepentingan orang lain.

Saya sempat membuka kursus membaca untuk anak usia 3 - 8 tahun. Selain masalah beragamnya karakter dan kemampuan anak-anak, satu hal yang saya cermati adalah interaksi mereka dengan teman-temannya. Tahukah bahwa anak-anak usia 6 tahun sudah mengenal aksi saling pamer dan bisa bertengkar gara-gara semua itu, entah penghapusnya, bukunya, pensilnya, dan lain-lain.

Saya percaya kesederhanaan akan mengubah semua fenomena itu menjadi sebaliknya. Jika sedari kecil anak-anak dibiasakan untuk tidak memandang atribut-atribut kemewahan sebagai hal yang penting, maka Insya Allah mereka akan lebih bisa lentur dalam kehidupan. Sepeda jelek tak bermerek, asalkan masih bisa jalan ya senang saja. Meski pergi ke mana-mana selalu naik angkot atau berdesakan di atas bis kota, ya nikmati saja. Walau pakai sandal harga 10 ribu dan celana atau baju 5 ribuan, asalkan bisa mengalasi kaki dan menutup tubuhnya anak-anak akan tetap tersenyum gembira.

Semuanya mungkin terjadi hanya jika orang tuanya menerapkan hidup sederhana dan tak mempedulikan strata sosial terhadap apapun yang dimilikinya. Kalau dibuat jenjang kelas untuk semua benda, maka tentulah akan muncul kategori murah, mahal, dan mewah. Sekolah mewah lebih bergengsi daripada sekolah murah, buku baru yang masih berlabel lebih keren daripada buku bekas yang belinya di loakan, dan lain-lain.

Buat saya yang memang tidak biasa hidup mewah sedari dulu, seringkali tak mengira bahwa ada orang yang memiliki standar yang begitu tinggi bahkan untuk sebuah merek sandal atau sepatu. Tapi, ternyata hal itu terjadi di banyak tempat dan di semua strata sosial. Ya, mungkin karena zaman memang telah jauh berubah. Bagaimana dengan Anda?

Senin, 03 November 2008

Saling Mengajari

Hal menarik kembali saya temukan pada interaksi kedua anak saya, Azkia (6 tahun) dan Luqman (4 tahun). Selama ini Azkia sebenarnya hampir bisa dikatakan sudah menjadi salah seorang guru buat adiknya. Dia-lah yang membacakan buku-buku dan menjelaskan setiap isi buku serta berbagai gambar yang ada di dalamnya.

Akhir-akhir ini kami malah dikejutkan dengan kemampuan Luqman menghapal nama-nama dinosaurus dengan berbagai ciri-cirinya, padahal kami sendiri terus terang tidak pernah hafal tentang hal itu. Azkia-lah sang guru yang mengajari Luqman apa itu Triseratops, Tiranosaurus, Stegosaurus, dll. Mereka bermain tebak-tebakan tentang tema itu dengan panduan buku DINOSAURUS.

Nah, suatu malam, saya cukup tercengang karena Azkia ternyata juga mau belajar dari adiknya. Dia meminta pada adiknya, "Ade, bikinin gambar ikan dong! Ade menggambar badannya, kakak menggambar ekornya... Soalnya Kakak nggak bisa terus bikin badan ikan" He he.... Lucu kan?! Adiknya pun melakukan permintaan itu dengan penuh semangat.

Pagi harinya, Azkia pun berceloteh, "Mama, kakak sekarang sudah bisa bikin ikan. Ade yang ngajarin kakak." Jadi, saya pikir sekarang tak perlu lagi anak-anak diajari bagaimana harus bersikap teachable atau senang berguru pada siapa saja. Mau belajar pada orang yang lebih muda adalah sebuah tahapan yang luar biasa, bukan?

Orang dewasa malah sering merasa gengsi untuk belajar dari orang yang dianggap lebih rendah kedudukannya, ilmunya, pendidikannya, atau status sosialnya. Hmmm... saya juga sebenarnya jadi ikut belajar dari anak-anak....

Sabtu, 01 November 2008

Yuk, Mengenal Tanaman Obat!

Beberapa waktu lalu, saya pergi ke tempat foto copy untuk melaminasi kartu yang berisi nama-nama tumbuhan obat. Saya membuatnya untuk menamai koleksi tumbuhan obat yang saya tanam di dalam pot. Anak pemilik tempat foto copy itu sedang tidak sekolah karena takut diimunisasi, katanya.

Anak lelaki yang masih kelas 3 SD itu membaca kata-kata yang ada di kartu dengan heran. Dia pun bertanya, "Ini buat apa, Bu?". Saya jawab, "Buat menamai tanaman obat".

Saya pun jadi penasaran ingin tahu apakah dia sudah kenal dengan nama-nama yang tercantum di kartu itu ataukah belum, maka saya pun bertanya balik kepadanya, "Tahu nggak tanaman kunyit kayak apa?". Anak itu menggeleng. "Kalau kencur?" tanya saya lagi. Dia pun menggeleng lagi. "Di dapur juga nggak pernah liat?" lanjut saya. Anak itu kembali menggeleng.

Hmmm... saya menduga, berarti anak sekolah, khususnya di perkotaan saat ini sudah tak peduli lagi dengan hal-hal remeh semacam ini dan di sekolah juga memang nggak ada kan ya pelajaran tentang jenis-jenis tanaman obat atau bahkan tanaman bumbu.

Buat teman-teman yang masih menganggap penting pengetahuan semacam ini diberikan pada anak-anaknya, buku Yuk, Mengenal Tanaman Obat! yang diterbitkan oleh ChilPress (Imprint Salamadani-Bandung) mungkin bisa menjadi awal untuk membuat anak-anak tertarik mengenal tanaman obat. Harga bukunya? Saya yakin terjangkau, hanya Rp. 13.500,- per eksemplar. Selamat membaca!

Kamis, 30 Oktober 2008

Semua Butuh Waktu

Malam kemarin (30/10/2008) saya mendapatkan sebuah pengalaman menarik dari putri saya Azkia (6 tahun). Sejak saya memutuskan untuk mulai mengajari dan mengajaknya sholat lima waktu, perjalanan ternyata tak semulus yang diharapkan. Ya, kadang masih zig-zag. Adakalanya ia melakukan shalat tapi wajahnya sedikit keruh, namun sering juga sholat dilakukan dengan wajah yang riang.

Saya sudah siap dengan semua itu, karena dalam banyak kebiasaan lainnya, sejak ia bayi sampai sekarang nyatanya saya menemukan satu prinsip yang sama, yaitu: Menanamkan Kebiasaan Membutuhkan Waktu. Jadi, saya hanya perlu menahan diri untuk tidak cepat menyerah. Tugas saya adalah tetap konsisten mengajaknya sampai ia terbiasa, sampai ia menganggap kebiasaan tersebut sebagai kebutuhan dalam hidupnya, meski saya juga tidak tahu kapan itu terjadi.

Sekitar seminggu sebelumnya Azkia pernah bertanya pada papanya, "Kenapa ya Pa, kakak suka malas untuk sholat?" Lantas papanya berkata, "Karena di dalam diri kita ada syaitan yang selalu membisiki hati agar kita malas." Dan seterusnya, terjadilah dialog pendek tentang apa itu syaitan, bahwa syaitan itu adalah musuh manusia yang tidak terlihat oleh mata,dan sebagainya.

Kembali ke peristiwa malam kemarin, saat Shalat Maghrib tiba, Azkia yang sudah tiduran di kasur sejak sore terlihat malas-malasan lagi ketika saya mengajaknya sholat. Mmmm.... saya tahu, memaksa bukanlah cara yang tepat. Jadi, akhirnya saya bilang, "Kakak ngantuk ya? Nggak mau sholat?" Dan ia pun mengangguk. "Ya sudah. Nggak apa-apa, tapi besok sholat lagi ya!".

Tapi beberapa saat kemudian, ketika saya turun dari tempat tidur untuk mengambil air wudhu, Azkia juga ikut turun. Saya tanya, "Mau ke mana?". Dia pun menunjuk ke kamar mandi. "Mau wudhu?", tanya saya. Ia pun mengangguk. Saya dan papanya tertawa, dan papanya bilang, "Kakak sudah bisa melawan musuh. Ya, kan?".

Pelajaran malam tadi membuat saya semakin yakin, bahwa anak-anak hanya perlu waktu untuk memiliki kebiasaan yang kita harapkan. Dan menjadi orang tua memang membutuhkan cadangan kesabaran yang lebih dari sekedar biasanya.

Mengulang Pelajaran

Mengulang pelajaran adalah salah satu cara agar kegiatan belajar ada jejaknya, menguat dalam ingatan, dan menjadi database untuk dikeluarkan lagi pada saat yang dibutuhkan.

Setiap orang yang pernah mengenyam bangku sekolah pasti mengenal istilah 'ulangan'. Itulah rutinitas yang paling tidak disukai oleh sebagian besar anak sekolah. Ulangan membuat mereka terpaksa harus membaca ulang pelajaran yang sudah dibahas dan mengingatnya sekuat mungkin agar bisa menjawab soal-soal yang diberikan guru, lalu dilupakan setelah ulangan selesai.

Kalau menelisik maksud pembuatan mekanisme 'ulangan' di sekolah, saya yakin tujuannya sama dengan apa yang saya paparkan di awal, yaitu agar pelajaran terekam lebih dalam saat anak-anak membacanya kembali. Tapi.... sayang hasilnya ternyata tidak sepenuhnya sesuai dengan tujuan tersebut. Ulangan pada kenyataannya hanya menjadi sebuah peristiwa yang membebani dan membuat sebagian besar anak-anak mengeluh atau mengambil jalan pintas dengan menyontek buat mereka yang malas.

Bagaimana caranya agar kegiatan mengulang pelajaran jadi menyenangkan buat anak-anak? Saya sendiri tidak tahu persis prosesnya seperti apa, yang jelas saya heran dengan kebiasaan kedua anak saya yang tak pernah bosan mengulang-ulang membaca banyak buku yang sama hingga beberapa kali padahal nggak pernah ada acara ulangan dan tak pernah juga disuruh-suruh. Uniknya, kalau bukunya bertambah, maka bertambah pula lingkaran pengulangan.

Si kecil Luqman yang kini berusia 4 tahun dan belum saya ajari membaca secara khusus, memang masih membutuhkan bantuan kami (saya, papanya, dan kakaknya) untuk membaca buku. Tapi secara prinsip, dia pun termasuk anak yang gila membaca. Tak peduli pagi, siang, sore, atau malam sebelum tidur dia akan minta dibacakan buku pada saat dia menginginkannya. Terlebih sebelum tidur, ia pasti akan membawa setumpuk buku yang diambil secara acak ke tempat tidur dan meminta salah satu dari kami untuk membacakannya. Kalau para pembacanya tidak menawar, pasti semua buku yang dia bawa harus dihabiskan.

Poin yang saya tangkap dengan mengamati kebiasaan kedua anak saya itu adalah bahwa mengulang pelajaran akan menyenangkan kalau anak-anak menyukai kegiatan belajar dan mereka tidak punya beban apa-apa saat melakukannya, bukan karena mengharapkan reward (hadiah)dan bukan pula karena ancaman punishment (hukuman). Mereka mengulang pelajaran karena mereka memang membutuhkan dan menginginkan hal itu.

Saya kira hal itu juga bisa terjadi di sekolah, jika kegiatan belajar di sekolah dibuat lebih menarik, lebih fleksibel, dan kaya dengan pengakuan untuk semua jenis kecerdasan, semua jenis karakter anak. Budaya pemeringkatan anak berdasarkan nilai akumulatif (untuk semua pelajaran) harus mulai dihilangkan agar semua anak memiliki citra diri positif terhadap dirinya, berdasarkan kelebihannya masing-masing.

Salam Pendidikan!

Minggu, 26 Oktober 2008

Berbagi Resep Roti

Sejak kasus masuknya unsur melamin pada produk susu dan makanan ringan mencuat, saya sedikit khawatir membeli makanan jadi untuk anak-anak. Oleh karena itu, sekalian mengasah keterampilan mengolah makanan camilan, sudah sebulan terakhir ini saya lebih sering membuat sendiri makanan kecil buat anak-anak daripada membeli camilan siap makan. Memang sih, sedikit repot, tapi tak apalah... Hikmahnya, saya jadi sedikit lebih mahir dari biasanya untuk bikin-bikin kue .

Nah, buat ibu yang juga senang mencoba-coba resep, mungkin komposisi resep roti sederhana berikut ini bisa dicoba juga di rumah. Bahannya sangat mudah didapat dan cara membuatnya pun bisa di sela-sela kegiatan lain, mungkin sambil menunggu nasi masak atau mesin cuci selesai bekerja.

Bahan:
1. 350 gram tepung terigu
2. dua buah kuning telur
3. 1/2 bungkus ragi instan
4. 2 sendok makan mentega
5. 3 sendok gulapasir
6. 1/3 sendok makan garam
7. 1 gelas air hangat
8. 1 buah kuning telur untuk memoles

Cara membuat:
1. Seduhlah gula pasir dan garam dengan 1 gelas air hangat sampai larut
2. Campurkan semua bahan dan larutan air gula-garam menjadi satu.
3. Uleni sampai kalis (tidak lengket di tangan)
4. Tutup adonan dengan plastik, diamkan selama 20 menit
5. Kempiskan adonan lalu bentuklah menjadi beberapa bagian (12 - 14 bagian). Bisa diisi meses atau susu jika suka. Olesi permukaannya dengan kuning telur.
6. Siapkan loyang persegi, olesi margarin
7. Taruhlah potongan adonan yang sudah dibentuk di atas loyang dengan jarak cukup renggang.
8. Biarkan selama 10 menit untuk mendapatkan tahap pengembangan kedua
9. Oven di atas api sedang selama 10 - 15 menit.
10. Roti siap disantap. Kita bisa memasukkan tambahan susu atau selai ke dalam roti dengan cara membelah roti dan mengolesi bagian dalamnya.

Setidaknya resep ini sudah saya coba hari ini, dan anak-anak ketagihan mau nambah. Selamat ber-eksperimen!

Sabtu, 25 Oktober 2008

Mengapa Orang Lebih Senang Menanam Tanaman Hias daripada Tanaman Herbal atau Sayuran?

Kalau saya perhatikan, di sepanjang jalan di komplek tempat saya tinggal, hampir semua rumah menghiasi halaman depannya dengan tanaman hias. Euphorbia, aneka sansevieria, dan tanaman berdaun lebar seperti kuping gajah adalah jenis-jenis tanaman hias yang mendominasi hampir setiap halaman rumah.

Memang, hal itu cukup memberi arti untuk membuat pekarangan depan terlihat lebih asri, namun saya sendiri berpendapat, jika hanya tanaman yang berfungsi sebagai hiasan saja yang kita tanam di halaman rumah kita, sayang sekali ya... Terlebih jika kita hanya memiliki halaman sempit, saya pikir akan jauh lebih berguna jika tanaman yang kita tanam juga berupa jenis yang bisa dikonsumsi atau digunakan sebagai obat-obatan alami.

Selain tanaman hias, sirih, kunyit, kencur, melati, cabai keriting, tomat, cabe rawit, jahe, atau sayur-sayuran seperti bayam dan kangkung, rasanya tak kalah indahnya berada di teras rumah kita jika tanaman-tanaman tersebut ditata dan dirawat dengan baik. Entahlah, saya sendiri sedikit kurang mengerti, mengapa kebanyakan orang lebih suka menanam tanaman hias daripada tumbuhan obat atau sayur-sayuran? Mungkin ada yang bisa menjawabnya?

Minggu, 19 Oktober 2008

Buku: Kreasi Kertas Koran

Aktivitas sangat penting untuk manusia, tak terkecuali buat anak-anak. Salah satu aktivitas yang menarik, melatih motorik anak, sekaligus bernilai ekonomi adalah membuat aneka craft atau kerajinan. Buku berjudul Kreasi Kertas Koran, hasil karya Bapak Rubiyar, yang diterbitkan oleh Tiara Aksa dapat kiranya membantu memicu gagasan untuk kebutuhan tersebut. Mau lihat covernya dan juga salah satu contoh produknya? Berikut saya bagi fotonya:



Kamis, 16 Oktober 2008

Contoh Poster Untuk Stimulasi Membaca

Beberapa waktu lalu saya pernah memposting tulisan tentang manfaat poster untuk kegiatan belajar. Kali ini saya tampilkan beberapa contoh poster stimulasi kemampuan membaca yang bisa dipergunakan di rumah maupun di kelas-kelas prasekolah atau bahkan Sekolah Dasar. Semoga memberikan inspirasi dan bermanfaat.





Menggambar, Menggunting, Lalu Buatlah Cerita

Hobi anak-anak, terutama si kecil Luqman ( 4 tahun) sekarang ini adalah menggambar, menggunting, dan mendongeng. Kereta api, rumah, mobil, dan ikan adalah gambar favoritnya. Percaya dirinya lumayan tinggi. Dia bisa menggambar dengan cepat dan dengan cepat pula menggunting gambar yang dibuatnya, lalu dibuatlah cerita tentang gambar itu tanpa merasa minder gambarnya akan dibilang jelek.

Nah, karena hobinya itu, kertas-lah yang paling sering diminta. Sekarang koleksi gambarnya mereka kumpulkan dalam sebuah stoples. Sebagian gambar juga dihasilkan dari print out dari komputer. Tentu saja gambarnya sudah jadi, di-copy dari internet. Nggak apa-apa kan ya copy-paste dari internet, asalkan bukan untuk keperluan komersial.
Dan... Salah satu kebiasaan mereka saat menggambar dan menggunting adalah berceloteh, berisi dialog cerita apa saja yang mereka ingat. Hal itu bisa jadi tak mungkin dilakukan jika dia berada dalam sebuah kelas. Celotehan mereka bisa membuat anak lain terganggu, kan...

Saya kira, itulah kiranya salah satu kelebihan homeschool yang kami rasakan buat keluarga kami: Membuat anak-anak bisa mengeksplorasi gagasan dengan cara yang khas, tanpa khawatir gagasannya dicela atau dikomentari secara berlebihan. Keep homeschool buat yang menganggapnya cocok!

Selasa, 14 Oktober 2008

Berbagi Peran dalam Mendidik Anak

Cari uang urusan ayah dan ngurus anak bagian ibu!

Begitulah kira-kira pandangan lama tentang pembagian peran ayah dan ibu dalam keluarga. Apakah harus sedemikian mutlaknya cara suami-istri mengelola peran untuk mendidik anak-anak?

Saya melihat,paradigma tersebut justru akan membuat proses pendidikan menjadi berat sebelah. Bukan dalam konteks keadilan jender tapi dalam konteks kepentingan anak-anak.

Ada hal-hal yang khas pada sosok ayah dan ibu. Anak-anak perlu mendapatkan input positif dari keduanya agar mereka memiliki figur yang seimbang dalam pendidikan. Anak perempuan kelak akan menjadi ibu dan dari contoh yang diperlihatkan ibunya ia akan belajar tentang pendidikan anak-anak. Demikian pula anak laki-laki suatu saat akan menjadi ayah, sehingga ia perlu figur seorang ayah yang peduli dengan pendidikan anak-anaknya agar kelak ia pun bisa menjadi ayah yang bertanggung jawab.

Ayah yang jarang terlibat dalam kegiatan belajar anak-anaknya sesungguhnya telah menanamkan citra bahwa bukanlah tugas ayah mengajari anak-anak, itu adalah tugas seorang ibu. Nah, Bagaimanakah pembagian peran ayah dan ibu dalam keluarga Anda? Sharing pengalaman Anda di pendidikan_rumah@yahoogroups.com.

Senin, 13 Oktober 2008

Homeschooling dan Trend Profesi Masa Depan

Homeschooling (HS) sebagai pendidikan alternatif memang masih tetap diragukan orang. Kritik masyarakat terhadap HS tak hanya menyangkut sosialiasi dan legalisasi yang dianggap lemah, melainkan juga pesimisme terkait pekerjaan dan profesi anak-anak kelak setelah dewasa. Kekhawatiran akan hal itu wajar terjadi jika kita melihat pekerjaan dan profesi hanya dari kaca mata formal.

Akan tetapi, seperti kita ketahui era digital telah menyumbangkan informasi bak banjir tak terbendung bagi masyarakat dunia. Hal itu telah melahirkan beragam jenis profesi baru yang seringkali mampu menyingkirkan aspek-aspek formal sebuah pekerjaan. Profesi di masa yang akan datang bisa jadi akan sangat-sangat berbeda dengan definisi profesi yang ada hari ini. Setidaknya akan ada tambahan varian profesi dan pekerjaan selain apa yang kita kenal sekarang.

Oleh karena itu, bersekolah formal ataupun tidak, berijazah formal ataupun tidak, bisa jadi tak lagi berpengaruh banyak terhadap eksistensi seseorang di masa yang akan datang. Skill, wawasan, attitude, dan kemauan belajar adalah penunjang terpenting yang bisa menghapuskan parameter-parameter formal dalam memperoleh kesempatan bekerja dan berkarya serta memperoleh penghasilan yang memadai.

Sampai saat ini, tak dapat disangkal bahwa jaminan pekerjaan dan profesi masih menjadi alasan utama mengapa orang tua menyekolahkan anak-anaknya. Sayangnya, fakta menunjukkan, sekolah formal pun ternyata belum mampu memberikan jaminan itu. Hanya anak-anak yang memiliki kapabilitas bersaing yang akan bisa diserap oleh pasar kerja, yaitu anak-anak yang rajin menambah skill dan wawasan mereka di luar kegiatan akademik.

Anak-anak yang dididik dengan model HS masih mungkin dan bahkan lebih mungkin memiliki kriteria seperti tersebut di atas. Tanpa kurikulum yang mengikat, anak-anak bahkan punya kesempatan lebih banyak untuk menggali potensi terbaik mereka pada beberapa bidang yang disukai. Kita tentu menyadari bahwa bidang-bidang profesi yang digeluti seseorang pada akhirnya hanya satu atau dua saja dari banyak bidang yang ada dan pernah ia kenal dan pelajari secara sepintas di sekolah.

Hal itu menunjukkan bahwa sesungguhnya jika seorang anak mampu memaksimalkan potensi mereka pada bidang-bidang tertentu secara serius, tentu hasilnya juga tidak akan kalah dengan mereka yang bersekolah di sekolah formal, yang mempelajari serba sedikit dari banyak pelajaran yang diberikan.

Ketika seorang anak benar-benar mampu menjadi seorang ahli di bidang yang ia sukai, hasil dari proses belajar yang sangat dalam dari berbagai sumber dan guru terbaik di bidang tersebut, yakinlah bahwa ia akan dicari banyak perusahaan untuk menjadi ahli mereka. Selebihnya, jika anak-anak yang tumbuh menjadi ahli tersebut sekaligus juga memiliki kemampuan enterpreunersip maka ia bisa mempergunakan kemampuannya untuk melakukan usaha mandiri.

Karena pendidikan di negeri ini tengah mengalami banyak persoalan, kehadiran homeschooling mungkin lebih nampak seperti riak-riak protes dan keraguan akan pendidikan formal. Padahal lebih dari itu HS sesungguhnya sebuah pilihan untuk menikmati pendidikan secara merdeka dan berorientasi pada masa depan anak. Bahkan akhirnya anak-anak sendirilah yang dibimbing untuk menentukan masa depan mereka, sehingga mereka tahu harus mempelajari apa dan harus belajar pada siapa.

Minggu, 12 Oktober 2008

Maksimalkan Pendidikan Alternatif

Sudah terlanjur masyarakat menganggap, bahwa pendidikan itu mesti dilakukan di sebuah lembaga formal, seperti halnya sekolah. Sementara itu, serangkaian persoalan klise berkaitan dengan sekolah, seperti gedung yang ambruk, kelas yang rusak, SPP yang mahal, DSP yang membengkak, gurunya kurang, dan banyak persoalan lainnya, sampai saat ini masih sulit untuk dituntaskan. Mayoritas berujung pada persoalan dana, sementara di sisi lain sektor pendidikan disinyalir merupakan tempat yang rawan penyelewengan dana.

Memang ironis dan menyedihkan. Jika pendidikan bertujuan untuk meninggikan kualitas manusia, sehingga tercipta masyarakat yang positif, produktif, dan bertakwa, maka dunia pendidikan di negeri kita nampaknya jauh meninggalkan tujuan itu. Imam Ghazali dalam bukunya Ayyuhal Walad, menetapkan makna pendidikan (tarbiyah) itu, bagaikan seorang petani yang tengah mencabut duri dan membuang tanaman asing yang mengganggu di antara tumbuhan yang ia tanam, agar tanaman tersebut tumbuh dan berkembang dengan baik.

Kapitalisme secara berangsur-angsur memang telah berhasil membumbui hampir semua sisi kehidupan dengan tujuan-tujuan materil, tak terkecuali bidang pendidikan. Sementara itu, berbicara penyelesaian masalah pendidikan yang kompleks, kunci satu-satunya justru adalah kepedulian; dan itu jelas berseberangan dengan prinsip-prinsip kapitalisme.

Menggalang Kepedulian
Sejak subsidi pendidikan dikurangi, efek yang langsung terasa oleh masyarakat, adalah mahalnya biaya sekolah. Terlebih dengan kebijakan otonomi sekolah, maka sekolah tak jauh beda dengan perusahaan. Tidak bisa tidak sekolah harus bisa mencari dana sendiri untuk memenuhi kebutuhannya dan jika dimungkinkan tentu bisa meraih keuntungan yang besar sebagaimana layaknya perusahaan.

Hal itu terjadi bahkan sejak level prasekolah, di mana sekarang berjamur Taman Kanak-Kanak dan Play Group yang biayanya mahal bukan kepalang. Kisaran minimal 2 juta hingga mencapai lima atau 6 juta hanya untuk uang pangkalnya saja. Belum lagi SPP dan uang seragam.

Lantas apa yang akan pertama kali dipelajari oleh anak-anak bahkan di usia yang sangat dini? Yakinlah bukan kualitas kurikulumnya, melainkan perasaan ekslusif karena mereka belajar di sekolah yang mahal, fasilitasnya lengkap, dan gedungnya megah. Jadi tidaklah salah bukan, jika kita katakan, bahwa dengan format sekolah seperti yang ada hari ini, anak-anak sudah menampung benih kapitalisme.

Lalu bagaimana dengan nasib anak-anak yang orang tuanya tak punya uang untuk membayar biaya sekolah semahal itu? Bagaimana pula nasib sekolah yang murid-muridnya dari kalangan kelas akar rumput, yang gedungnya pun tinggal puing-puing? Kesenjangan itu hanya akan semakin menganga lebar andai kita tak menggalang kepedulian.

Kalau pengadaan dana untuk rehabilitasi ratusan bahkan mungkin ribuan gedung sekolah negeri memberatkan pemerintah, sehingga tidak semua sekolah bisa tersentuh dana rehabilitasi, maka sebenarnya pemerintah bisa menggandeng tangan-tangan masyarakat yang masih peduli akan pendidikan. Salah satu contoh yang mungkin patut dipertimbangkan adalah gagasan yang dipaparkan di Tajuk Rencana PR (Jumat, 5/5) tentang program Cinta Almamater. Para alumni setiap sekolah bisa bergotong royong menyumbang ke sekolahnya masing-masing untuk membangun kembali gedung yang roboh, dengan catatan penggunaan dananya diawasi.

Selain berupa dana, masyarakat pun bisa berpartisipasi, seperti yang dicontohkan para sarjana di Ciamis yang membuka sekolah terbuka untuk anak-anak petani.
Adapun kepedulian pemerintah yang diharapkan dalam hal ini, adalah menaungi kegiatan pendidikan alternatif itu dengan pengakuan terhadap legalitas lulusannya, sehingga mereka juga punya kesempatan untuk melanjutkan pendidikan formalnya ke jenjang yang lebih tinggi.

Alternatif Pengganti Gedung
Faktor penunjang mahalnya biaya sekolah biasanya dinisbatkan kepada biaya gedung. Setiap siswa baru pasti terkena beban untuk membayar uang bangunan, yang jumlahnya bisa jadi cukup besar. Jika pemerintah mendukung lahirnya sekolah-sekolah alternatif yang dikelola masyarakat, persoalan gedung sebenarnya bisa diminimalisir; dan secara otomatis pula, hal itu akan menekan angka DO (Drop Out) karena biaya sekolah bisa menjadi lebih murah.

Dengan kata lain, gedung bukanlah segalanya untuk mendidik anak. Bukankah sesungguhnya rumah, pantai hutan, taman bermain, dan seluruh permukaan bumi ini adalah sumber-sumber dan sekaligus tempat yang disediakan Tuhan untuk mendidik manusia? Oleh karena itu , terlepas dari persoalan politis, ‘tak punya gedung sekolah’ tidak bisa lagi dijadikan alasan untuk menghentikan kegiatan pendidikan atau melemahkan semangat para pendidik untuk membimbing.

Kehadiran Sekolah Alam telah membuktikan bahwa anak-anak bisa dan bahkan sangat antusias belajar di alam terbuka. Semangat mereka untuk pergi sekolah seolah tak terhentikan. Mereka selalu menemukan hal baru setiap hari. Karena begitu banyak rahasia di alam yang bisa dipelajari. Peran guru adalah membimbing untuk mengarahkan anak-anak didiknya agar mau melakukan penjelajahan dan pembelajaran terhadap seluruh media belajar yang tersedia di alam. Meskipun dari segi biaya tidak lebih murah dari sekolah konvensional, namun sebagai sebuah alternatif untuk memecahkan kekakuan format pendidikan, model sekolah semacam itu bisa dijadikan pilihan.

Sekolah alternatif untuk anak petani di Ciamis, yang pernah diberitakan di harian Pikiran Rakyat- Bandung, juga merupakan contoh , bahwa anak-anak tetap bisa antusias belajar meski mereka belajar tanpa seragam dan atribut-atribut formal lainnya.. Semangat mereka untuk belajar bisa jadi mengalahkan anak-anak sekolah di kota yang sepatunya berharga ratusan ribu, gedung sekolahnya megah, dan uang sekolahnya jutaan rupiah.

Sebenarnya sudah banyak sekolah-sekolah alternatif didirikan, dan tempat belajarnya bukanlah di dalam sebuah gedung sekolah, seperti umumnya kita temui. Ada orang yang membuat sekolah di kolong jembatan, gerbong kereta api, atau rumah-rumah penduduk. Di satu sisi hal itu mungkin tampak menyedihkan, karena sebenarnya banyak orang kaya yang kelebihan hartanya lebih banyak dipakai untuk berfoya-foya, dan tak tersalurkan untuk mereka yang kekurangan. Namun jika kita berpikir positif, maka keberadaan sekolah ‘darurat’ itu merupakan sumber inspirasi untuk membuat bentuk-bentuk kreatif tempat belajar, di saat kebutuhan menuntut demikian.

Bahkan jika konsep ini bisa diterima, maka murid-murid dari sekolah yang sudah berjalan pun, jika sekiranya gedung sekolah masih belum berfungsi, maka mereka bisa didistribusikan ke beberapa tempat belajar. Rasanya masih banyak juga, terutama di pedesaan, orang tua siswa yang bersedia menyiapkan halaman, teras, ataupun salah satu ruangan di rumahnya (kalau ada) untuk dijadikan tempat belajar sejumlah 5 atau bahkan 10 anak. Bagaimana dengan gurunya? Dengan semangat peduli, rasanya masih banyak juga sarjana pendidikan maupun non kependidikan yang mau menyumbangkan tenaga, pikiran, dan mendedikasikan ilmu pengetahuan yang dimilikinya untuk anak-anak. Dan masyarakat yang memiliki kekuatan dana juga bisa “dipanggil” kepeduliannya untuk membayar upah para tenaga sukarela yang mau mengajar. Andai situasi itu bisa terjadi, alangkah indahnya!

Jumat, 10 Oktober 2008

Ketika Anakku Belajar Sholat

Sedikit terharu, takjub, dan harap saya rasakan saat menyaksikan anak sulung saya Azkia begitu gembira dengan kegiatan barunya, yaitu sholat lima waktu. Mungkin beberapa orang tua lain sudah mengawali pelajaran penting ini jauh lebih dulu dibandingkan saya, saat anak-anaknya berusia jauh lebih muda.

Azkia sekarang sudah 6 tahun, tepatnya tanggal 7 Oktober yang lalu. Saya sudah meniatkan jauh-jauh hari untuk mulai menggarap proses belajar dan pembiasaan sholat secara konsisten setelah ultahnya yang ke- 6 ini. Alhamdulillah, mungkin karena saya memang bersungguh-sungguh, anak saya seolah bisa menangkap spirit itu, sehingga ia mau menjalankannya dengan senang hati.

Sebelumnya kegiatan berwudhu, rukuk, dan sujud hanyalah sebuah pengetahuan sepintas lalu, yang ia tahu karena sering dilakukan oleh orang tuanya. Tapi sekarang, dengan mukena warna pink, gadis kecil saya benar-benar diajak untuk melakukan itu semua untuk menjadi "habit" dan kebutuhan yang abadi sepanjang hidupnya, rukuk dan sujud, menyembah Tuhannya dan Tuhan seluruh makhluk berikut alam semesta ini. Kami kini melakukan sholat berjamaah.

Betapa saya merasakan berat sekaligus mulianya tugas menjadi orang tua kian menghunjam. Hal itu pula yang membuat saya makin banyak melakukan introspeksi diri. Saya belumlah menjadi orang tua yang bisa diteladani, tapi mau ataupun tidak, ditunda atau dipercepat, tugas sebagai orang tua untuk mendidik anak-anaknya harus ditunaikan. Disebutkan dalam sebuah peribahasa: Anak adalah cerminan orang tuanya. Ya Allah, semoga Engkau memberi hamba dan juga kaum muslimin kekuatan, pengetahuan, dan jiwa yang istiqomah, yang dapat memberi anak-anak kami teladan yang baik untuk bekal hidupnya kelak. Amin.

Rabu, 24 September 2008

Senangnya, Saat Anak Makin Mandiri

Kemandirian adalah salah satu tujuan pendidikan dan pengajaran. Hal itu tak bisa disangkal merupakan sebuah tolok ukur keberhasilan yang membanggakan bagi para pendidik di manapun.

Proses menuju mandiri berlangsung sejak anak-anak lahir. Tugas orang tua-lah untuk membimbing anak-anak untuk mencapai kemandirian sesuai dengan fase usianya. Hal pertama yang harus disadari adalah kenyataan bahwa belajar menuju kemandirian akan diawali dengan "kesalahan".

Cobalah kita cermati atau kita ingat-ingat perilaku bayi-bayi kita. Awalnya bayi-bayi hanya bisa terlentang dan perlu bantuan kita untuk telungkup, namun lama- kelamaan mereka bisa melakukannya sendiri dengan terus berlatih setiap hari. Seiring usia, bayi pun terus meningkatkan keterampilan fisiknya, dari duduk, merayap, merangkak, berdiri, hingga berjalan. Dan ternyata, ada beberapa hal yang jika sekiranya kita abaikan, perkembangan keterampilan fisik itu jadi terlambat atau bahkan kurang berkembang dengan baik.

Salah satu penyebab yang saya percaya bisa menghambat perkembangan gerak fisik adalah "kurungan" yang kita sediakan buat bayi-bayi kita. Apakah "kurungan" itu? Kurungan itu adalah hambatan-hambatan berupa ruang yang sempit untuk anak-anak bergerak, seperti misalnya roda bayi, kebiasaan sering digendong, dan televisi.

Dengan asumsi bahwa dengan alat bantu berupa roda atau baby-walker, bayi akan lebih cepat berjalan, hal itu kini mulai banyak ditentang secara empirik. Pada kenyataannya, "mobil" bayi itu hanya akan membuat bayi bisa membawa tubuhnya dari satu tempat ke tempat lain tapi tidak menggerakkan otot-otot kaki dan tangan mereka. Tanpa latihan gerak secara alami, justru membuat otot bayi menjadi kurang optimal perkembangannya. Boleh-lah dikatakan, bahwa memang BELAJAR YANG PALING EFEKTIF ADALAH DENGAN MELAKUKANNYA . Buat Anda yang pernah punya pengalaman membesarkan bayi, pasti bisa melihat efek-efek dari setiap pola yang terapkan kepada bayi-bayinya.

Dengan alasan khawatir anaknya akan terluka karena terantuk tembok saat merangkak atau terjatuh saat berdiri, beberapa orang tua memilih untuk terus menggendong bayinya, meski sang bayi sudah berumur 6 - 9 bulan. Dengan alasan tak mau kotor, beberapa orang tua juga terus-menerus memasangkan diapers pada anaknya hingga usia 5 tahun bahkan lebih tanpa melatih mereka untuk bisa buang air di kamar mandi. Dengan alasan kepraktisan, beberapa orang tua juga masih terus memandikan dan menceboki anak-anaknya hingga usia 7 tahun lebih. Dengan alasan tak mau banyak bicara dan agar anaknya tenang saat ia bekerja, beberapa orang tua mendudukkan anaknya di depan televisi hingga berjam-jam lamanya, padahal ia sendiri tahu bahwa acara televisi tidak semuanya baik untuk ditonton oleh anak-anak. Banyak hal, banyak alasan, sering dilontarkan orang tua untuk membuat "kurungan" pada anak-anaknya untuk tumbuh menjadi mandiri.

Benar, bahwa untuk membuat anak bisa melakukan semuanya sendiri membutuhkan pengorbanan, entah itu kotor dan basah saat mereka sedang belajar mengambil minuman dan makanan sendiri, atau kita harus sering mengepel lantai karena anak masih pipis di celana dalam fase latihan tanpa diapers, atau banyak kertas terpakai untuk latihan anak-anak mencorat-coret sampai mereka bisa menulis dan menggambar dengan baik, dan lain-lain.

Jangan remehkan kemandirian anak betapapun dalam hal-hal yang sederhana: Membuang sampah ke tempatnya, membaca buku tanpa disuruh, menyapu tanpa diminta, mengerjakan worksheet tanpa dinilai, merapikan mainan tanpa diperintah, dll. Tahukah, bahwa kemandirian begitu menakjubkan dan membanggakan, bukan hanya bagi para pendidik atau pengajar, melainkan juga bagi anak-anak itu sendiri. Kemampuan untuk mandiri akan membuat anak-anak memiliki rasa percaya diri yang luar biasa dalam menempuh kehidupan.

Sepanjang perjalanan pendidikan yang terus berlangsung, satu demi satu keterampilan hidup harus diperkenalkan dan diajarkan, hingga akhirnya kita akan melihat anak-anak tersenyum bahagia dan optimis menghadapi hidup. Betapa senangnya saat anak makin mandiri. Tidakkah demikian?

Jumat, 19 September 2008

Mengenal dan Mengolah Bahan Makanan

Salah satu fenomena di zaman serba instan ini adalah menurunnya minat anak untuk mempelajari keterampilan memasak. Remaja-remaja kita lebih suka jajan di luar dan mengonsumsi makanan instan daripada memasak. Selain berdampak pada meningkatnya pengeluaran finansial, kebiasaan jajan juga membuat anak-anak kita mengabaikan kesehatannya.

Kita tentu tahu bahwa banyak makanan yang dijual kurang memenuhi komponen gizi yang seimbang, terutama unsur serat. Selain itu, penambahan zat perasa dan pewarna makanan yang kadang berlebihan pada jajanan diluar sesusungguhnya tidak baik untuk kesehatan mereka.

Kini telah hadir buku berjudul Mengenal dan Mengolah Bahan Makanan yang mencoba memperkenalkan bahan-bahan makanan dan cara mengolahnya, ditujukan khusus buat anak-anak dan remaja usia 8 - 15 tahun. Buku ini diterbitkan oleh Chilpress - Imprint Salamadani Publishing Bandung.

Dukungan desain dan ilustrasi gambar juga foto dalam buku ini diharapkan bisa menggugah minat anak-anak untuk mulai mempelajari kegiatan mengolah makanan sejak dini sehingga mereka menjadi mandiri.

Selain berisi beberapa resep masakan, buku ini juga mengajak anak-anak untuk mengenal aneka bumbu masak, cara mencuci, mengupas, dan memotong sayuran; cara memotong dan mencuci daging serta ikan; cara membuat bumbu siap pakai, dan mengenal aneka sambal serta cara membuatnya.

Mau menghadiahkannya buat anak-anak, adik, atau keponakan Anda? Silakan kunjungi toko buku kesayangan Anda dan carilah cover buku yang saya tampilkan di sini.

Selamat membaca!

Jumat, 12 September 2008

Bermain Drama

Anak-anak menonton film pasti sudah biasa, tapi anak-anak menjadi pemain film, bahkan tanpa sutradara, itu baru luar biasa.

Itulah yang terjadi pada anak-anak saya. Sejak kami belikan VCD beberapa film ini: Fireman Sam (Si Pemadam Kebakaran), Postman PAT (Si Tukang Pos), dan Bob the Builder (Si Ahli Bangunan). Anak-anak akan memainkan tokoh-tokoh dalam film itu secara bergantian. Kadang-kadang mereka mainkan skenario pemadam kebakaran dan mereka jadikan benda-benda yang mereka mainkan sebagai tokoh-tokoh dalam film itu. Tentu saja benda-benda yang jadi tokoh film tidaklah menyerupai aslinya, melainkan hanya balok-balok atau kotak kardus yang mereka imajinasikan sebagai tokoh, dan merekalah yang menjadi pengisi suaranya.

Anehnya, mungkin karena mereka menonton dan memainkannya kembali, mereka jadi hafal dialog-dialog film itu secara persis. Sambil sibuk memindahkan kotak dan perlengkapan main, atau bahkan saat menggunting kertas dan mewarnai gambar biasanya mereka bergumam-gumam dalam sebuah dialog dengan intonasi yang persis sama dengan film aslinya.

Peralatan dan perlengkapan main yang mereka pakai hanyalah perlengkapan sederhana yang ada di rumah. Mereka pakai kardus bekas yang sengaja saya sediakan, kertas-kertas, gunting, pensil, buku-buku, dan lain-lain. Biasanya, buku dijadikan laptop, kursi kecil mereka jadikan mobil. Semua properti itu diubah-ubah sesuai keperluan skenario.

Nah, sudah jadi lah mereka para pemain drama. Orang dewasa mungkin sering kesulitan menghafal skenario, itu tidak terjadi pada anak-anak. Mereka menikmati setiap dialog dan ... nampaknya permainan itu demikian mengasyikkan sehingga selalu mereka lakukan setiap hari tanpa bosan. Hal positifnya, kosa kata mereka jadi bertambah dan kemahiran berbicara jadi meningkat. Mungkin mau mencobanya juga di rumah? Filmnya bisa apa saja asalkan bermuatan positif, tidak mengandung unsur kekerasan, dan tidak mengandung kata-kata yang negatif.

Selasa, 09 September 2008

Bertani Yuk!


Kegiatan pertanian cukup menarik untuk dilakukan bersama anak-anak. Tentu saja pertanian yang dimaksud dilakukan dalam porsi sederhana: Asal anak-anak terlibat dan kenal dan mudah-mudahan akhirnya jadi suka dan cinta pertanian. Buat keluarga yang tidak punya halaman yang luas dan bahkan mungkin sudah tidak menyisakan tanah kosong kecuali ruang bersemen di depan atau di belakang rumah, solusinya adalah memanfaatkan polybag atau pot sebagai tempat menanam.

Saat ini kami sedang menikmati pertumbuhan sawi putih yang kami tanam sekitar 1,5 bulan yang lalu. Kebetulan, sawi putih adalah sayuran kesukaan Azkia. Setelah kami coba menanamnya, banyak hal baru kami temukan. Sawi putih yang senang tempat lembab ini begitu cepat tumbuh. Dalam 3 hari benih yang kami tabur di atas semaian sudah bermunculan. Hampir tak percaya bahwa itu adalah bibit kecil sawi putih, karena bentuknya memang berbeda dengan sawi putih dewasa.

Setelah sawi cukup besar, mulailah muncul ulat sayur yang gemuk di salah satu helai daunnya. Wah, tentu saja itu jadi tontonan mengasyikkan buat anak-anak. Hal menarik lainnya adalah kemunculan banyak belalang kecil di halaman gara-gara sayuran kami itu. Meskipun anak-anak senang bukan main melihat belalang yang melompat-lompat saat di sentuh, tapi tentu saja fokus kami adalah sayurannya. Jadi, kami usir......

Sekarang sawi putih kami sedang menjalani masa pertumbuhan yang pesat. Setiap pagi selalu terlihat pertumbuhan yang berarti. Modalnya hanya menyirami mereka secara rutin pagi dan sore. O'ya. Media tanam yang kami pakai adalah tanah, pupuk kandang, dan sekam bakar dengan perbandingan 1:1:1.

Banyak tetangga yang ikut memperhatikan pertumbuhan sawi-sawi kami. Tahukah, ternyata mereka juga penasaran ingin melihat sawi-sawi itu mencapai bentuk sempurna, sama dengan sawi putih yang biasa mereka beli di warung sayur.

Sebagai salah satu kegiatan belajar praktis ala homeschooler, bertani kecil-kecilan seperti ini sangat menantang dan pastinya menghasilkan :) Mau mencoba?

Minggu, 07 September 2008

Cara Lain Membuat Playdough

Beberapa waktu lalu saya sempat memposting cara membuat lilin mainan atau playdough. Akan tetapi, ternyata cara saya itu kurang efisien, karena daya tahannya hanya bisa 1 minggu maksimal. Ada cara lain yang membuat playdough buatan kita bisa tahan lebih lama sampai 1 bulan. Ini dia resep dan cara membuatnya.....


Bahan

- Tepung terigu 200 gram (yang kualitasnya tidak terlalu bagus)
- Garam 1 cangkir
- 1 - 2 gelas air
- 2 sendok minyak goreng
- Pewarna makanan


Cara membuatnya
- Campurkan tepung dengan air, aduk sampai rata
- Masukkan garam dan minyak goreng
- Panaskan adonan di atas kompor dengan api kecil sampai kental dan kalis (tidak lengket di panci)
- Setelah dingin pisahkan gumpalan adonan menjadi beberapa bagian
- Warnai setiap bagian dengan warna berbeda
- Nah, playdough siap digunakan.
- Simpan kembali playdough di lemari es setelah dipakai. Gunakan wadah tertutup supaya adonan tidak tertetesi air.

Selamat mencoba!


Selasa, 02 September 2008

Kurikulum Tentang Obat dan Kesehatan

Suatu pagi saya membaca sebuah berita di salah satu koran terbitan Bandung, tentang jaminan kesehatan untuk rakyat miskin yang kini agak semakin sulit didapat. Terpajanglah foto antrian para pasien GAKIN yang penuh sesak di loket administrasi sebuah rumah sakit. Sebuah potret yang pasti juga akrab kita saksikan jika kita sesekali menyambangi rumah sakit pemerintah untuk menengok kerabat atau mungkin ada anggota keluarga kita yang dirawat di sana.

Di luar konteks bahwa memang ada strata sosial yang berlaku di sebuah lembaga pengobatan resmi, saya pikir masalah lainnya yang juga penting adalah paradigma masyarakat tentang obat dan kesehatan. Beberapa pertanyaan cukup mengganggu pikiran saya, di antaranya adalah: Tak adakah cara lain untuk mengobati sebuah penyakit selain ke rumah sakit, sehingga orang terkategori pasien miskin rela mengantri susah payah, harus pula membawa beberapa lembar surat, untuk sebuah diagnosis dan resep obat?

Malah dengan adanya tambahan persyaratan untuk askeskin, peluang untuk memperoleh pelayanan kesehatan di rumah sakit pun kian menyempit. Jika pun bisa, banyak hal yang harus dikorbankan, di mana salah satunya adalah waktu yang diulur. Tak jarang ada banyak pasien tak tertolong jiwanya hanya karena keterlambatan birokrasi di bagian administrasi.

Namun, tanpa harus menunggu jawaban mereka, saya bisa menebak jawabannya apa: Yaitu, karena mereka dan pada umumnya masyarakat bahkan mungkin termasuk kita, tidak mengerti bagaimana mendeteksi sebuah penyakit dan apa yang bisa dijadikan obat.

Ilmu Kesehatan
Kesehatan adalah bidang yang terpenting ke-dua setelah pangan atau pertanian. Mengapa begitu? Pasti kita tahu, karena hal itu terkait dengan jiwa manusia. Sayangnya, justru ilmu tentang kesehatan justru menjadi bidang yang eksklusif, yang hanya bisa dipelajari oleh orang-orang yang bersekolah di bidang kesehatan, entah itu kedokteran, kebidanan, ataupun keperawatan. Sebuah sekolah yang biayanya juga tak mungkin dijangkau oleh orang-orang "kebanyakan".

Jika kesehatan dianggap sebagai bidang yang penting bagi masyarakat, semestinya hal itu disosialisaikan dan diajarkan sejak seseorang mulai menempuh pendidikan, baik formal, informal, maupun nonformal.

Setidaknya, setiap orang tahu bagaimana menjaga kesehatan mereka dan tahu alternatif-alternatif obat yang bisa mereka usahakan jika tindakan medis modern tidak bisa dijalani karena mahalnya biaya berobat.

Obat-Obatan Alami
Banyak harapan bisa disandarkan pada obat-obatan dari bahan alami. Namun tantangannya lagi-lagi adalah paradigma dan juga pengetahuan. Kalau kita selalu berpikir bahwa sesuatu yang dinamakan obat adalah pil, kapsul, atau cairan dari rumah sakit atau dokter, dan selain itu tak bisa dijadikan obat, maka hal itu akan mensugesti pikiran kita setiap kali kita sakit. Selain itu, kenyataannya, pengetahuan tentang resep-resep pengobatan alami dari warisan orang-orang tua dulu tidak diwarisi oleh generasi sekarang.

Banyak tanaman yang tumbuh di sekitar tempat tinggal kita bisa dijadikan obat, bahkan untuk penyakit-penyakit berat. Namun karena ketidaktahuan kita, tanaman itu mungkin akan kita basmi habis karena dianggap mengganggu. Sebagai gantinya, kita pun kembali menyambangi rumah-sakit yang penuh sesak untuk mendapatkan obat saat kita sakit.

Ironis sekali jika kemiskinan menjadi dalih kita tak bisa sehat karena mahalnya biaya berobat ke rumah sakit, padahal di halaman rumah kita ada obat mujarab yang bisa kita peroleh secara gratis. Semua hanya disebabkan oleh kurangnya pengetahuan.

Lebih dari itu, budaya instan yang sudah menghinggapi hampir seluruh masyarakat hingga ke pedesaan. Hal itu menyebabkan kegiatan meracik obat dari bahan alami kurang diminati. Memang sangat wajar, karena dengan obat pabrik kita hanya cukup membuka bungkusnya lalu meminumnya, sedangkan obat-obatan alami membutuhkan beberapa tahapan proses yang tak semua orang telaten untuk melakukannya.

Sejak Dini
Tak kenal maka tak sayang. Ajari anak-anak kita sejak dini dengan pengetahuan tentang kesehatan, tentang obat-obatan hasil alam yang sudah dianugerahkan Allah pada manusia. Dengan begitu, mudah-mudahan ragam penghambat penggunaan obat alami yang dialami orang-orang dewasa saat ini tidak terjadi pada mereka kelak.

Setiap orang bisa berbeda pendapat, tapi inilah pendapat saya.
Salam pendidikan!

Jumat, 29 Agustus 2008

Aku Lakukan Maka Aku Ingat

Suatu pagi saya bercerita pada suami saya bahwa saya baru saja meminta batang pohon kenanga dari tetangga, untuk di tanam dengan cara stek. Mendengar hal itu suami saya langsung bertanya, "Stek itu apa?"Kontan saja saya tertawa, "Nggak tahu stek? Itu, kan pelajaran biologi SMP!"

Suami saya menggeleng, juga sambil ketawa geli, "Yah! Biologi sih memang nggak terlalu suka dari dulu. Jadi, maklum aja kalau nggak inget."

Kalau dipikir-pikir, mungkin benar juga ya... Hanya pelajaran yang kita sukai atau gurunya kita sukai biasanya akan membuat kita enjoy, sebaliknya jika pelajaran itu tidak atau belum kita minati, apalagi gurunya mengajar dengan cara yang kaku dan membosankan, dipaksa-paksa juga, paling-paling kita hafalkan demi ujian saja.

Selain itu, pelajaran yang kita praktekkan, biasanya itulah yang kita ingat: Tak hanya ketika ujian, tapi juga sepanjang hidup kita. Coba saja perhatikan di dunia kerja. Para editor penerbitan misalnya, meski bukan dari Fakultas Sastra, karena saking intensifnya dengan dunia penyuntingan kata, EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) jadi "nempel" di kepala tanpa harus buka buku lagi. Padahal ketika kuliah, mungkin banyak mahasiswa dipusingkan dengan materi EYD, meskipun bukunya sangat tipis jika dibandingkan buku Laskar Pelangi.

Lantas bagaimana relevansinya dengan Ujian Nasional yang sudah mulai hangat diobrolkan meski baru memasuki tahun ajaran baru? Anak-anak dari tingkat SD terlebih di tingkat SMU sepertinya sangat awas dan was-was menghadapi momentum penting ini. Saya tak melihat ada alasan untuk merasa demikian, kecuali bahwa mereka takut tak bisa memperoleh tanda lulus alias ijazah, sehingga mereka tak bisa melanjutkan pendidikan formal ke jenjang selanjutnya.

Belajar di sekolah formal tak boleh salah. Tak peduli bagaimana caranya anak-anak menghafal, semua harus benar, atau setidaknya prosentase benarnya harus lebih banyak dari prosentase salahnya. Jika tidak begitu, seorang murid akan dicap sebagai anak yang gagal. Memang wajar kalau kemudian anak-anak sekolah menjadi sangat tegang menghadapi ujian. Bayang-bayang kegagalan menghantui mereka. Standar lulus yang semakin naik menjadi ancaman. Sekian tahun menempuh pendidikan bisa jadi kandas di tahap akhir, yaitu ujian nasional.

Namun demikian, ujian nasional hanyalah sebuah kebijakan. Seiring waktu, dengan pergantian pemimpin, kabinet, dan sebagainya, masih selalu ada peluang agar UN ditinjau ulang fungsi dan mekanismenya. Setidaknya sejauh yang saya lihat, sampai saat ini UN tak berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan kualitas lulusan sekolah.

Selama jumlah belajar praktek di sekolah tetap minim dibandingkan teori, nampaknya sekian tahun ke depan lulusan sekolah memang masih tetap harus sangat awas melihat peluang kerja, karena nyatanya hanya sedikit lapangan pekerjaan yang tidak membutuhkan skill.

Kamis, 28 Agustus 2008

Arti Sebuah Mainan

Sesekali, jika kita perhatikan anak-anak, kita akan dapati mereka lebih asyik memainkan sepotong kayu, tali plastik, dan sebuah gelas air mineral bekas daripada mainan mahal yang kita belikan. Berjam-jam mereka bisa berinteraksi dengan mainan sederhana semacam itu tanpa bosan.

Setelah sebelumnya sempat menjadi "maniak" membelikan mainan edukatif, yang sebagiannya bahkan cukup mahal untuk ukuran kami, kini saya melihat kebutuhan akan mainan dari sudut pandang yang berbeda. Sebagai sebuah alat untuk mengeksplorasi kecerdasan anak, mainan edukatif sesungguhnya bertebaran di rumah kita: Tanpa harus kita beli secara khusus. Kenapa bisa begitu? Ya, tentu saja bisa, karena alat-alat bermain itu adalah juga perabotan dan benda-benda yang biasa kita pakai sehari-hari.

Karena saya memutuskan untuk berhenti dulu membeli mainan, tampaknya hal itu membuat anak-anak'terpaksa' jadi kreatif. Beberapa minggu terakhir ini mereka sering menyulap barang-barang yang ada di rumah menjadi mainan yang seru. Buku-buku hardcover berubah jadi laptop (menurut mereka), kardus bekas jadi rumah-rumahan, dan apapun benda yang ada di ruang tengah jadi apapun yang membuat mereka merasa punya mainan baru setiap hari.

Setelah saya pikir-pikir, memang ada hikmahnya juga tak lagi meanggarkan jatah biaya 'belajar' kami pada mainan, karena sebenarnya mainan buat mereka hanyalah salah satu alat belajar yang mereka sendiri tak pernah mendefinisikannya secara khusus.

Sebagai variasi, tentunya kita bisa ikut andil membantu mereka menyediakan bahan-bahan murah yang bisa memicu ide-ide kreatif mereka makin banyak lagi.

Minggu, 24 Agustus 2008

Kurikulum Homeschooling

Kurikulum selalu ditanyakan saat bersinggungan dengan homeschooling. Apa sebenarnya bahasa yang lebih mudah untuk menerjemahkan kurikulum? Saya lebih suka menyebutnya outline atau kisi-kisi. Kurikulum hanyalah peta yang memandu kita untuk menentukan topik yang ingin kita pelajari. Penjabarannya tentu sangat beragam. Setiap keluarga bisa menciptakan kegiatan belajar yang amat kaya dari sebuah kisi-kisi pelajaran.

Salah satu keunikan homeschooling terletak pada keleluasaan untuk menentukan urutan prioritas. Kalau kurikulum diknas memiliki urutan-urutan yang sudah baku, maka homeschooler bisa mengubahnya sama sekali. Mungkin istilah level-level kelas 1, 2, 3, dan seterusnya tidaklah berlaku dalam homeschooling. Anak homeschooling usia 8 tahun bisa jadi masih suka mewarnai sekaligus sudah menguasai pelajaran matematika kelas 6 SD. Belajar biologi bisa jadi tak berawal dari definisi biologi, tapi dari kegiatan mengamati kupu-kupu atau serangga di kebun belakang. Alasannya sangatlah sederhana, "Kita akan menyerap pelajaran lebih banyak ketika kita berminat dan antusias untuk mempelajarinya".

Kalau selalu dibingungkan dengan masalah kurikulum, maka carilah dengan pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
"Apa yang ingin aku tahu?"
"Apa yang kuingin anak-anakku tahu?"
"Apa yang ingin anak-anakku ketahui?"

Jawaban dari pertanyaa-pertanyaan di atas, ITULAH dia kurikulum, setidaknya kurikulum sementara sambil kita lakukan penyempurnaan dalam perjalanan. Selamat berwisata di alam belajar tanpa batas!

Sabtu, 23 Agustus 2008

Jadilah Fasilitator, Bukan Tutor

Hari ini (24 Agustus 2008) anak-anak antusias sekali untuk belajar menganyam. Mereka penasaran mengetahui bagaimana cara melakukan kegiatan itu, karena dua hari sebelumnya si sulung melihat barang-barang hasil anyaman dalam sebuah buku. Jadilah menganyam sebagai proyek belajar di hari minggu. Saya gunakan kertas sebagai bahan.

Homeschooling memberikan inspirasi pembelajaran yang sangat besar buat saya. Lewat homeschooling saya benar-benar bisa merasakan uniknya peran guru bagi seorang murid. Sejauh pendidikan yang pernah saya tempuh di sekolah formal, dan saya rasa sampai sekarang pun masih tak berubah, guru lebih sering bertindak sebagai tutor yang menggantikan buku bagi anak-anak. Malah dalam kasus yang ekstrem, beberapa guru hanya mengubah teks buku menjadi suara, tanpa dia benar-benar memahami apa yang sedang diajarkannya. Guru mendiktekan, murid-muridnya menulis. Saat bel berbunyi, kegiatan "belajar" itu pun selesai. Bertemu lagi keesokan harinya, acara dikte itupun dilanjutkan pada halaman berikutnya. Tak ada waktu untuk anak-anak bertanya atau mungkin mereka pun tak sempat terpikir untuk bertanya karena tidak tahu apa yang harus ditanyakan.

Berbeda dengan anak-anak homeschooling, setidaknya yang sudah pernah saya jumpai, hampir semuanya memiliki karakter belajar yang sama, yaitu MANDIRI. Saya kira, hal itu bukanlah tanpa sebab. Karakter belajar seperti itu terbentuk karena iklim belajar mengajar yang diciptakan di rumah memang membuat mereka jadi mandiri. "Guru-guru" homeschooling (dalam hal ini tentu saja orang tua sebagai centralnya) memang nyaris tak bisa menjadi tutor.

Anak-anak akan membaca beberapa buah buku dalam sehari dengan topik yang beraneka ragam ketika mereka memang ingin melakukannya. Mereka akan meminta lembaran-lembaran worksheet matematika ketika mereka sedang berminat. Mereka bisa menanyakan arti dari begitu banyak kosa kata yang mereka temukan dalam buku yang mereka baca: apa itu majelis ulama? Apa arti kata "menyongsong", "kenapa kita harus memasang bendera di hari kemerdekaan?", "kemerdekaan itu apa?", dll. Mereka akan memutar VCD dan menonton berulang-ulang film tentang pernapasan atau ilmu tentang benih sampai puas. Mereka belajar setiap hari tanpa harus ada instruksi khusus, apalagi instruksi untuk duduk rapi dengan tangan di atas meja.

Sampai saat ini, jujur saja saya jarang menjadi guru (jika guru yang dimaksud adalah seseorang yang selalu memberi tahu dan mengajari) buat anak-anak saya. Mereka lebih sering mengajari diri mereka sendiri lewat media-media yang kami sediakan. Terlebih saat anak sulung saya bisa membaca, dia bisa mengeksplorasi pengetahuan sendiri lewat bahan-bahan bacaan dan sekaligus menjadi asisten untuk mengajari adiknya. Dia hanya bertanya kalau dia menemukan sesuatu yang tidak dimengerti. Buat kami, sangat penting anak-anak mengetahui bahwa kami bukanlah gudang ilmu pengetahuan atau perpustakaan berjalan yang serba tahu. Jika kami tak bisa menjawab pertanyaan mereka, mereka sendiri-lah yang harus mencari tahu. Peran kami hanyalah membantu memfasilitasi mereka, menunjukkan pada mereka di mana bisa mendapatkan informasi.

Perbedaan terbesar yang akan tampak pada anak-anak dengan guru yang menjadi tutor dan guru yang menjadi fasilitator adalah kemandirian. Anak-anak yang dididik oleh guru secara tutorial akan terlihat lebih tergantung pada guru. Mereka belajar hanya jika ada guru yang mengajar di depan kelas. Mereka tidak terbiasa untuk mencari tahu sendiri, sehingga minat untuk belajar sendiri menjadi terkikis seiring pembiasaan yang terbentuk selama bertahun-tahun.

Kalau para guru di sekolah formal memahami dan mau belajar banyak tentang dampak metode pengajaran ini, sangat mungkin karakter belajar siswa di sekolah formal pun akan beranjak lebih mandiri. Semua akan berubah jika kita MAU mengubahnya. Dan sebenarnya, kemandirian dalam belajar bukanlah monopoli anak-anak homeschooling. Ketika pola ajar di rumah tidak mengarahkan anak untuk mandiri, hasilnya pasti sama saja.

Nah, peran apa yang hendak kita pilih? Yang jelas, menjadi guru itu akan sangat menyenangkan jika kita tidak menganggap murid-murid kita sebagai kotak kosong yang harus diisi, melainkan sebagai manusia yang dibekali otak cerdas sejak dalam kandungan. Tugas kita sebenarnya hanyalah menyalakan minat belajar mereka dan membantu mereka menemukan sumber-sumber belajar, sehingga di manapun anak-anak akan selalu tertarik belajar dan apapun yang mereka lihat dan mereka dengar akan menjadi magnet yang menarik mereka untuk mengetahui dan mempelajarinya.

Salam pendidikan!

Jumat, 15 Agustus 2008

Model Pendidikan Yang Nyaman Buat Anak (2)

Tentang bagaimana membangkitkan kreatifitas anak, saya jadi ingat dengan salah seorang guru SD saya dulu. Beliau mengajar kami di kelas 5 dan kelas 6. Sekolah saya dibangun dengan program SD INPRES, yang sebentar-sebentar kembali rusak dan bahkan roboh karena kualitas bahan bangunannya menyedihkan. Tapi hebatnya, guru saya yang honorer ini tetap gembira mengajar dan menurut saya sangat kreatif. Belajar bersama beliau membuat kami tidak bosan di dalam kelas dan bahkan cenderung malas untuk pulang ke rumah.

Guru saya selalu punya media yang menarik untuk menjelaskan sebuah materi pelajaran. Beliau pancing rasa ingin tahu dan ketertarikan kami dengan media-media visual yang kami buat sendiri. Sering sekali beliau memberikan tugas-tugas praktis secara berkelompok ataupun perorangan untuk membuat sesuatu, yang kini saya baru sadar, ternyata dimaksudkan untuk mempermudah visualisasi sebuah materi pelajaran. Misalnya saja, beliau tugaskan kami untuk membuat poster dengan model kliping: Gambar-gambar dari potongan koran atau majalah bekas ditempelkan di atas selembar karton putih. Poster itu lalu dipasang di dinding. Setiap kelompok kebagian topik yang berbeda-beda. Ruangan kelas kami pun menjadi semarak. Minimalnya, ada sesuatu yang enak dipandang mata saat berada di dalam kelas.

Selain itu, beliau juga mengajak kami untuk melengkapi dan meperindah sekolah dengan membuat pagar bersama-sama dari bambu. Karena kami tinggal di desa, tentu tak sulit untuk mendapatkannya. Kami bawa batang-batang bambu yang sudah dipotong-potong dengan ukuran yang sama dan siap untuk disusun dan digabungkan dengan bambu-bambu yang dibawa oleh seluruh anggota kelompok. Di sekolah kami memaku bambu-bambu itu, dan jadilah pagar-pagar buatan kami sendiri. Sungguh membuat kami bangga, lho!

Saat musim hujan tiba, kami juga punya jadwal untuk berkebun. Karena halaman sekolah kami tidak bersemen alias tanah merah yang kosong, jadi kami bisa menanaminya dengan macam-macam sayuran. Setiap hari Jumat kami membawa peralatan berkebun dari rumah. Setiap kelompok diberi jatah lahan sama rata. Supaya kami termotivasi, guru kami yang inovatif ini memberikan tantangan agar kami berlomba dalam mengurus kebun sampai kebun kami menghasilkan tanaman yang bisa dipanen.

Satu hal lagi yang masih saya ingat adalah ketika kami berlomba membuat dan menghias tumpeng dari nasi uduk yang harus kami buat dengan cara diliwet. Di halaman belakang kelas, kami membuat tungku-tungku untuk memasak. Alatnya hanya panci kastrol dan wajan. Keterampilan memasak nasi liwet adalah pelajaran yang remeh tapi menurut saya menarik dan tentunya bermanfaat. Tragedi menimpa saya saat itu. Nasi liwet yang saya buat masih mentah, padahal waktu yang diberikan sudah habis(he he). Meskipun sudah banyak konsep hiasan yang saya siapkan dari rumah,tapi semuanya tidak berarti karena nasinya nggak bisa dimakan sama sekali. Duh, sedih sekali rasanya waktu itu!

Nah, kembali ke guru saya: Saya menyimpulkan bahwa apa yang beliau lakukan dulu tidaklah tercantum dalam silabus atau kurikulum pendidikan yang diperoleh dari diknas. Buktinya, guru-guru lain di sekolah saya tidak pernah melakukan hal itu pada kelas yang dipegangnya. Apa yang beliau lakukan adalah murni hasil inovasi beliau sendiri.

Jadi, yang akan membuat anak-anak kreatif, menurut saya juga dipengaruhi oleh semangat guru-gurunya. Buat para homeschooler, maka orang tua-lah guru utamanya, dan buat anak-anak di sekolah formal, maka guru-lah yang menjadi pembimbingnya.

Selamat berkreasi buat para guru di manapun berada. Jangan lupa untuk selalu belajar dan terus belajar tanpa henti, karena pintar dan kreatifnya anak didik kita juga tergantung dari peningkatan kualitas guru-gurunya.

Kamis, 14 Agustus 2008

Model Pendidikan Yang Nyaman Buat Anak (1)

Tulisan ini saya buat berdasarkan sebuah pertanyaan yang dilontarkan salah seorang pembaca blog Pendidikan Rumah ke email saya. Pertanyaannya adalah: "Bagaimana membuat konsep pendidikan yang nyaman buat anak didik serta menumbuhkan minat dan kreatifitas anak?"

Saya bukanlah pakar pendidikan. Jawaban saya hanyalah berdasarkan pengetahuan otodidak yang saya dapat dari buku-buku yang saya baca dan pengayaan yang saya lakukan saat berinteraksi dan mengamati anak-anak saya belajar.

Secara singkat bisa dikatakan: konsep pendidikan yang nyaman buat anak adalah model pendidikan yang sesuai dengan dunia mereka, karakter mereka, dan kebutuhan mereka. Adapun dunia anak bisa saya jelaskan sebagai berikut:

1. Anak-anak hidup dalam dunia bermain. Kalau kita ingin memasukkan nilai atau muatan pelajaran apapun pada mereka, masuklah dari dunia bermain. Contohnya: Ajari mereka memasak dengan membawa mereka ke dapur, dan biarkan alat-alat dapur sekaligus menjadi alat-alat mereka untuk bermain.

2. Bagaimanakah karakter anak-anak? Banyak teori memang terkait karakter ini. Tapi secara umum saya bisa menyimpulkan bahwa hampir semua anak terbuka terhadap hal-hal baru jika orang tuanya membuka kran untuk itu. Kalau seandainya kita adalah guru di sebuah sekolah formal, prinsipnya tidaklah jauh berbeda. Ciptakan suasana gembira dan BEBAS DARI RASA TAKUT UNTUK BERTANYA, MELAKUKAN, dan MENCOBA HAL-HAL BARU di kelas kita.

CATATAN: Hal-hal baru buat anak-anak bisa jadi merupakan sesuatu yang nggak penting buat orang dewasa. Di situlah kita harus bijak dan mengerti. Seekor ulat mungkin nggak ada hebatnya buat orang dewasa, namun begitu menarik untuk diamati dan diteliti oleh anak-anak.

3. Apakah kebutuhan anak-anak? Kebutuhan anak-anak pada setiap fase pasti berbeda dan juga amat beragam antara satu anak dengan anak lainnya. Bagi seorang guru di sebuah kelas yang terdiri dari beberapa anak, hal ini memang agak rumit. Butuh kesabaran dan kejelian mengamati semua anak dan melayani semua kebutuhan mereka. Ilmu tentang Multiple Intelligence akan membantu kita untuk mengatasi kesulitan ini.

Sabtu, 09 Agustus 2008

Membuat Anak Suka Membaca

Teknik Mengajar Balita Membaca adalah topik yang selalu dicari oleh para orang tua pemula. Saat anak sudah mencapai usia 3 tahun, new parents pasti mulai melirik banyak model yang ditawarkan untuk membuat anak bisa membaca di usia lebih dini. Alasannya memang sangat beragam. Saya sendiri melakukannya, lebih karena ingin agar anak saya bisa mandiri dalam belajar. Rasa senang dan bangga, pasti juga tak terelakkan. Keberhasilan anak memecahkan misteri gabungan huruf, yang sebenarnya abstrak buat mereka, adalah pintu pembuka untuk membawa anak-anak mengenal dan menguasai keterampilan lain.

Sayang, banyak orang tua puas sampai pada tahap "Membuat Anak BISA MEMBACA". Setelah segala upaya dilakukan, dari mulai mengenalkan huruf, menggabungkannya menjadi suku kata dan kemudian kata, daya dorong anak untuk mau membaca secara sukarela tak jarang malah menguap begitu saja. Mereka tampak tak berminat dengan bahan-bahan bacaan yang mungkin melimpah di rumah. Lalu, kecewakah kita?

Sangat wajar kalau kemudian kita agak sedikit kecewa. Tapi, tak perlu patah arang. Kita masih bisa mendorong atau tepatnya membangkitkan rasa suka anak terhadap kegiatan membaca kapan saja. Caranya?

1. Mulai sekarang berikanlah contoh positif dari kita. Lakukanlah kegiatan membaca, walau mungkin hanya satu halaman buku sehari.

2. Walaupun anak-anak sudah bisa membaca, tak ada salahnya sesekali membacakan mereka buku untuk memberikan nilai rasa pada bahan bacaan. Suguhkan irama membaca yang menarik dan penuh motivasi, supaya anak-anak menangkap kesenangan dalam membaca buku.

3. Berikan umpan balik atau studi kasus terhadap apapun yang dibaca anak, sehingga mereka merasa bahwa kegiatan membaca memang ada manfaatnya buat mereka. Caranya adalah dengan menghubungkan setiap isi bacaan dengan kegiatan kita sehari-hari atau apapun yang kita temui dalam keseharian. Misalnya, setelah anak membaca tentang pentingnya membuang sampah pada tempatnya, kita bisa ingatkan anak tentang hal itu saat melihat selokan mampet dan airnya luber ke jalan.

Meskipun anak-anak BELUM BISA MEMBACA, mereka bisa jadi sudah memiliki kesenangan dari kegiatan membaca yang dilakukan orang tuanya untuk mereka. Hal itu terjadi pada anak kedua saya. Berbeda dengan kakaknya yang sudah bisa membaca di usia 3 tahun, anak laki-laki saya LUQMAN (4 tahun) memang belum secara sengaja diajari membaca. Namun saya melihat ada kelebihan pada anak yang sudah suka membaca sebelum ia bisa, yaitu sikap mau diajar, mau bertanya.

Saat salah satu di antara kami, saya, suami, atau kakaknya membacakan buku, dia pasti memberikan respon, baik berupa pertanyaan ataupun penegasan terhadap apa yang dibacakan. Misalnya saja, saat papanya membacakan salah satu cerita tentang Marcopolo, dia bertanya, "Papa, Marcopolo itu siapa? Tinggalnya di mana?" dan sebagainya. Sisi auditori (pendengaran) pun jadi lebih terasah, sehingga setiap informasi berupa suara akan cepat diserapnya. Kosa katanya pun menjadi sangat kaya, tak kalah dengan anak-anak yang sudah bisa membaca.

Selamat bereksplorasi, amati dan dengarkan, betapa anak-anak adalah makhluk yang pintar dan mereka bisa menjadi apapun yang mungkin tak pernah terpikirkan oleh kita. Modali mereka dengan kesukaan terhadap belajar, di manapun dan dari siapapun. Insya Allah, mereka akan tumbuh mandiri bersama rasa haus mereka untuk menimba ilmu dari para ahli ilmu.

Salam pendidikan!

Selasa, 05 Agustus 2008

Adu Argumentasi

Percakapan menarik terjadi di antara kedua saya. Si sulung Azkia (mau 6 tahun Oktober nanti), membeli biskuit better waktu diajak ke mini market, sedangkan adiknya Luqman(4 tahun) membeli coklat cair. Sesampainya di rumah, sang adik mengeluh, "Mana better punya Ade?"

Ya, kumat lagi kebiasaannya. Maklum anak kecil, kadang-kadang dia merasa nggak mau sewaktu belanja, tapi sampai di rumah jadi kepengen juga. Untung kakaknya bijak, "Nanti dikasih sama Kakak, De" katanya.

Beberapa lama kemudian, entah apa yang terjadi, terdengar kakaknya protes, "Kata Papa, kita nggak boleh ngambil punya orang lain!"

Adiknya pun tak mau kalah, dia keluarkan "dalil" yang lain, "Kita harus berbagi dengan sesama!" He he.... Lucu juga. Punya jurus masing-masing untuk membenarkan tindakannya. Ternyata, bukan cuma partai dan aliran pemikiran yang bisa beradu argumentasi, anak kecil pun sudah bisa.

Kamis, 31 Juli 2008

Sempitnya Ruang Bermain

Kasihan anak-anak zaman sekarang. Ruang terbuka kian sulit ditemui. Sejak dari rumah hingga ke sekolah, khususnya di perkotaan, ruang yang mereka temui nyaris semuanya berupa tembok-tembok. Lantai tempat mereka berpijak juga terbuat dari semen-semen permanen, itupun sudah sangat sempit, karena sebagian besar orang kota lebih senang menjadikan tanahnya sebagai ruangan bertembok daripada ruang terbuka hijau.

Anak-anak kota dan anak-anak pedesaan, sebenarnya tetap saja sama. Mereka membutuhkan ruang bermain yang memadai. Bedanya, di pedesaan masih tersisa banyak lahan untuk berlari mengejar layangan atau bermain petak umpet, sementara anak-anak di perkotaan harus bersaing dengan motor, mobil, seliweran kabel-kabel listrik atau telpon, dan juga ratusan atap dan tembok rumah untuk sekedar bermain layangan.

Saya sangat sedih, karena kecenderungan orang untuk mendirikan bangunan daripada menanam pohon juga mulai terjadi di desa saya. Orang-orang kaya baru seolah berlomba membangun rumah dan toko di setiap jengkal tanah yang mereka miliki. Kebanggaan hidup memang telah bergeser maknanya. Mereka yang bisa membangun banyak gedung, itulah yang dianggap paling terhormat. Orang desa mulai terpengaruh oleh budaya orang kota yang kurang peduli lingkungan. Padahal sudah jelas, akibat berkurangnya jumlah "ruang hijau" telah membuat suhu di desa mereka juga meningkat dan air makin sulit ditemukan di saat kemarau.

Bagi masyarakat perkotaan yang sudah terlanjur tinggal di lahan terbatas, sesungguhnya seminimal mungkin bisa menciptakan ruang bermain anak-anak sejak dari rumah. Caranya adalah dengan meminimalkan jumlah perabotan besar, terutama buat mereka yang rumahnya berukuran kecil atau sedang.

Kalau kita peduli dengan ruang gerak anak-anak, sebaiknya koreksi sejenak keinginan untuk membuat rumah kita full furniture. Terutama di masa-masa balita, anak-anak butuh ruangan yang cukup untuk bergerak mengeksplorasi lingkungannya. Kasihan kan, kalau wilayah "kekuasaan" mereka cuma kasur dan ruang tengah yang penuh lemari dan kursi-kursi.

Bahkan jika anak kita masih dalam masa merayap dan merangkak, ruangan yang mereka butuhkan justru lantai keras yang lapang, yang membuat mereka bisa leluasa melatih kemampuan motoriknya.

Seorang teman, yang kebetulan belum punya anak tapi suka mengumpulkan anak-anak di rumahnya, sengaja menyediakan hanya kursi lipat di ruang tamu. Tujuannya, agar ia bisa lebih mudah melakukan bongkar pasang. Jika di rumahnya sedang berkumpul banyak anak-anak, dia lebih memilih karpet yang digelar. Hanya pada saat ada tamu dewasa dia pasang kursinya.

Seberapa besar kita berempati pada anak-anak? Mulailah dari penataan ruang di rumah kita masing-masing. Jangan lupa menyediakan ruang bermain yang cukup buat mereka.

Intermezzo 2: Kalo Udah Gede Jadi Buaya

Pagi ini semua sibuk. Saya punya bertumpuk-tumpuk cucian, suami saya ngoprek website yang error, si sulung lagi betah-betahnya naik sepeda, tantenya sibuk nge-print , dan.... dari jendela dapur saya melihat si kecil tumben asyik mengamati tanaman. Satu per satu daunnya dipegang.

Wah, melihat tingkah si bungsu ini saya agak-agak khawatir. Soalnya dia kadang-kadang iseng menarik daun-daun tanaman. Saya dekati dia dan menyiapkan serangkaian kalimat peringatan super halus.

"Ade, hati-hati ya. Daun-daunnya jangan dipetik," ujar saya.
Seperti biasanya dia akan berkilah untuk mengalihkan perhatian saya kalau agak dilarang-larang, "Kalau yang ini, Mama?" katanya sambil menyentuh daun sambiloto.
"Iya," jawab saya.
"Ini juga? Ini juga? Itu juga? Lidah buaya juga?" kata dia lagi.
"Iya. Semuanya," jawab saya sambil berlalu membelakangi dia.

Tapi setelah beberapa detik, saya mendengar dia berbicara lagi, "Oh, Mama. Lidahnya penuh duri-duri"
"Lidah apa?" tanya saya
"Lidah buaya. Nanti kalau sudah besar dia pasti jadi buaya!" serunya sambil beranjak keluar pagar.
Dia tak tahu kalau kami yang mendengar tak kuat menahan tawa.

Dasar anak kecil!

Selasa, 29 Juli 2008

Makin Asyik Sekolah di Rumah

Semua orang tua pasti pernah merasakan moment yang sangat berkesan saat bersama buah hati. Bagi saya, terutama akhir-akhir ini, momentum itu terjadi saat saya dan anak-anak melakukan kegiatan yang membuat mereka antusias dan penasaran. Dan yang menarik, kegiatan itu sendiri bisa jadi hanyalah kegiatan biasa yang tidak khusus diperuntukkan untuk mereka.

Dulu, semasa saya sekolah, sering sekali saya dengar kalimat guru seperti ini setelah mereka selesai menerangkan di kelas, "Anak-anak, siapa yang mau bertanya, acungkan tangan!" Sayangnya, jarang sekali saya lihat anak-anak yang mau mengacungkan tangan untuk bertanya. Kalaupun ada, isi pertanyaan hanyalah basa-basi.

Sekarang, seiring dengan bertambah besarnya anak-anak, saya menyaksikan fenomena yang terbalik di "sekolah" mini saya di rumah. Kedua anak saya, tanpa harus diminta, bisa langsung bertubi-tubi mengajukan pertanyaan atas apapun yang sedang saya kerjakan. Modal saya tentu saja adalah "MAU MENJAWAB". Karena tanpa jawaban dari mulut saya, lama kelamaan keinginan mereka untuk bertanya juga akan sirna dengan sendirinya.

Saya memang sedang menikmati asyiknya belajar di rumah bersama keluarga. Saya bisa merasakan benar perbedaan situasi belajar saat saya sekolah dulu dengan situasi belajar anak-anak saya saat ini. Ada rasa penasaran terhadap sesuatu, bisa mereka tanyakan langsung segera tanpa harus menunggu hari berganti esok.

Hari ini, anak-anak melihat proses perbaikan klep pompa air di rumah kami yang sedang rusak. Luar biasa tatapan mata mereka saat melihat si tukang pompa bekerja. Pertanyaan-pertanyaan pun meluncur, "Itu apa?", "Kenapa semennya harus dikasih air?", "Kenapa lubangnya harus dikasih semen?", dll.

Kalau kita libatkan anak-anak untuk melakukan kegiatan bersama kita, maka bahan ajar untuk mereka sungguh tak terbilang dan tak ada habisnya. Hebatnya, kegiatan-kegiatan nyata kehidupan ini bisa sangat komprehensif: Sekaligus berdimensi matematis, bahasa, fisika, biologi, dan lain-lain, tanpa harus dipecah-pecah dalam satuan pelajaran secara khusus. Mau mencoba?

Rabu, 23 Juli 2008

Tapi Nggak Pengen Ketawa

Saat kita berdialog dengan anak-anak, seringkali kita temukan hal-hal lucu dalam dialog itu. Begitu pula yang terjadi dengan saya dan anak laki-laki saya beberapa hari yang lalu.

Malam itu saya menyempatkan diri memasak. Rencananya, saya mau membuat sambal goreng kentang, yang sejak pagi belum bisa saya lakukan. Si bungsu Luqman mengikuti saya ke dapur. Dia duduk di bangku kecil, memperhatikan saya yang sedang memotong kentang dengan pisau bergerigi (orang Sunda bilang peso gobed). Seperti biasa dia mulai bertanya perihal pekerjaan yang sedang saya kerjakan.

"Mama, kenapa kentangnya dipotong pake itu?"
"Supaya kentangnya jadi bergerigi." Jawab saya.
"Bergerigi itu seperti apa?" tanya dia lagi.
"Kayak gini nih." jawab saya sambil menunjukkan salah satu potongan kentang.
"Kenapa kentangnya harus bergerigi, Mama?" lanjut dia.
Saya bingung juga jawabnya. Tapi akhirnya saya bilang, "Yaa... supaya lucu aja."
Tahukah apa komentar dia berikutnya?
Dengan ekspresi wajah yang datar dia bilang, "Mama, tapi Ade nggak pengen ketawa."

Untuk Kreatif Butuh Pengorbanan

Banyak orang mengira, jiwa kreatif itu terlahir dari alam. Artinya, seseorang itu menjadi kreatif atau tidak sudah ditetapkan sejak dalam kandungan. Benarkah begitu? Sebagaimana orang punya bakat menyanyi lalu jadi penyanyi atau orang yang sudah berbakat melukis lalu ia jadi pelukis?

Kenyataannya, kreativitas, profesi, dan juga bakat tidaklah bisa dipandang secara absolut. Semua orang sejak ia di dalam kandungan sudah memiliki berbagai potensi. Lagi-lagi, lingkungan, orang-orang terdekat, dan momentum mengambil alih pemicu untuk tumbuh dan mekarnya beragam potensi itu. Berbicara tentang kreativitas, maka saya menyimpulkan, itu pun sudah dimiliki oleh manusia sejak lahir, siapapun orang tuanya. Namun membuat daya kreatif mereka terasah dan bersinar cemerlang membutuhkan sentuhan pengorbanan orang tuanya.

Mengapa saya sebut sebagai pengorbanan? Ya, karena orang tua harus mengalihkan sudut pandang dirinya pada sudut pandang anak-anaknya, berempati dengan pemikiran-pemikiran polos mereka, dan memberi mereka kesempatan untuk menyentuh wilayah-wilayah kehidupan yang lebih luas. Bukan hanya memberi mereka balok kayu berwarna-warni, puzzle beraneka motif, sepeda roda tiga yang mewah, atau aneka mainan khusus anak-anak yang bertebaran di toko; anak-anak juga membutuhkan ijin dari orang tuanya untuk mengucek adonan terigu, mengupas kulit wortel, memeras jeruk, membuat kegiatan sendiri dari dinginnya air yang dituang ke dalam wadah beraneka bentuk, dilengkapi potongan pipa bekas, sedotan jus, dan benda-benda lain yang yada di rumah.

Jika kita bertanya pada mereka apakah itu, jawabannya mungkin sangat mengejutkan: "Ini adalah pompa air Mama. Ini pipanya dan ini pompanya. Pipa ini ditahan oleh dua buah gelas supaya tidak jatuh. Tadi waktu Ade coba dengan satu gelas, pipanya jatuh Mama".

Eksperimen mereka kadang-kadang sangat cermat, dan mereka menemukan prinsip-prinsip kerja sebuah benda lewat kegiatan tidak terstruktur semacam itu. Pastinya, satu hal yang mereka butuhkan untuk melakukan semuanya, yaitu pengorbanan orang tua untuk melihat celana mereka basah, lantai di halaman depan berantakan, dan jejak-jejak kaki kecil mereka yang basah bercampur debu tak terelakkan harus membekas di ruangan tamu atau dapur kita yang bersih.

Saya bisa merasakan, bagaimana susahnya merelakan anak-anak bermain dengan cara mereka sendiri dengan bahan-bahan bermain hasil imajinasi mereka sendiri, yang sebenarnya sangat mudah dan murah. Masalahnya, kita tidak rela mengijinkan mereka menyentuhnya karena kita tak mau repot dan tak mau melihat ruangan berantakan. Tapi, setelah sekian lama saya memperhatikan perkembangan mereka, cara mereka berpikir, dan antusiasme mereka yang luar biasa saat mereka bermain dengan cara itu, saya sadar, sesungguhnya anak-anak sudah belajar banyak justru lewat kegiatan yang tak terbukukan, tidak terjadwalkan, dan tidak terkurikulumkan secara hitam putih.

Kreativitas tumbuh dari banyak mencoba dan rasa aman serta merdeka dari larangan yang berlebihan. Saya kira itulah pengorbanan terbesar buat orang tua manapun, untuk membuat anak-anak mereka mampu berpikir dan bertindak kreatif dalam menyelesaikan masalah kehidupan.

Rabu, 09 Juli 2008

Perbanyak "Sekolah" Informal

Kebijakan tentang ditambahnya peluang pendidikan informal memang tengah gencar-gencarnya disosialisasikan oleh pemerintah. Jika saja kita mampu mengapresiasi kebijakan itu secara positif, maka tak harus ada lagi istilah putus sekolah karena kekurangan biaya, tak punya baju seragam, gedung sekolahnya jauh di gunung atau mungkin nyaris roboh. Sekolah informal bisa dilakukan di mana saja dan oleh siapa saja yang memiliki pengetahuan.

Pendidikan bukanlah monopoli sekolah formal. Terlebih jika terkait dengan "masa depan" finansial, hubungan antara pendidikan formal dan pekerjaan seringkali tak beriringan. Semuanya sangat tergantung pada kemauan belajar, kerja keras, dan adaptasi anak-anak terhadap perkembangan zaman.

Seorang petani lulusan sekolah dasar, karena kegigihannya bisa hidup berkecukupan hanya dengan menanam sayuran, TAPI sarjana yang sudah dua tahun lebih lulus dari perguruan tinggi, karena tak punya skill yang memadai untuk memasuki pasar kerja atau mungkin terlalu pilih-pilih pekerjaan, bisa jadi masih saja jadi pengangguran. Semua sangat relatif jika ukurannya adalah kesuksesan masa depan finansial.

Sayangnya, sekolah informal selama ini sering dianggap sebagai sekolah kelas 3 setelah pendidikan formal dan non formal. Sekolah informal lebih berkesan sebagai pilihan paling akhir dari model pendidikan yang ada, yaitu hanya ditujukan bagi mereka yang putus sekolah, ekonomi lemah, kecerdasan rendah, berkebutuhan khusus, dan hal-hal yang marginal lainnya.

Sesungguhnya, sekolah informal bisa berperan lebih dari sekedar alternatif dari pendidikan formal. Namun patut diakui, hal itu akan sangat dipengaruhi oleh kualitas para penyelenggaranya. Sekolah informal bisa menjadi wahana baru bagi tumbuhnya kreativitas pendidikan yang selama ini terlalu dikerangkeng oleh aturan-aturan yang kaku. Sekolah informal bisa menjadi wadah untuk melihat pelajaran dari sudut pandang yang berbeda, yang lebih heterogen, dan juga adaptif terhadap perkembangan yang ada.

Kalau di sekolah formal tumbuhan hanya dipandang sebatas makhluk hidup yang tidak bergerak, memiliki daun, batang, dan akar, maka di sekolah informal seorang pendidik bisa membawa anak-anak pada realitas tumbuhan yang sebenarnya, yang fungsinya bagi kehidupan begitu substansial, sehingga memelihara dan membudidayakannya menjadi sebuah kebutuhan bersama, sehingga menyemai biji dan kemudian menanamnya menjadi pekerjaan lanjutan yang mengasyikkan dan bahkan bisa menghasilkan sesuatu.

Sekolah informal. Semoga siapapun yang peduli, tertarik, dan merasa memiliki kemampuan akan tetap bersemangat untuk menumbuhkannya di wilayah-wilayah terdekat. Hal itu insya Allah akan menjadi amal sholeh tiada terputus yang bisa kita berikan dalam kehidupan ini. Selamat berkarya! Stop dreaming start Action Now!

Tentang Saya

Saya, ibu dua anak. Anak-anak saya tidak bersekolah formal. Blog ini berisi pemikiran, hasil belajar, dan beberapa pengalaman.

Jika Anda menggunakan tulisan di blog ini sebagai referensi: (1) HARAP TIDAK ASAL copy paste, (2) Selalu mencantumkan link lengkap tulisan. Dengan begitu Anda telah berperan aktif dalam menjaga dan menghargai hak intelektual seseorang.