Artikel lain

Jumat, 28 Januari 2011

Heran

Menstimulasi anak-anak untuk menceritakan kembali sebuah cerita yang didengar atau dibaca dari buku memang membuat kita jadi tahu apa yang mereka serap. Tak jarang ada hal-hal konyol saat anak-anak ternyata mampu menemukan sisi yang tidak rasional dari sebuah cerita. Hal ini terjadi suatu sore di dapur rumah kami.

Luqman memeluk saya. Penyebabnya hanya sepele. Saya memberinya satu biskuit 'cadangan' yang paginya saya beli tanpa sepengetahuan dia. Dianggapnya sebagai surprise. Nampaknya itulah yang membuatnya berekspresi demikian.

Saya pun memangkunya dan bilang, kalau kita qanaah (sekalian saya jelaskan apa itu qanaah) Allah seringkali memberi kita rejeki yang tidak kita sangka. Tapi kalau merengek, berarti kita selalu merasa tidak puas atau tidak qanaah. Akibatnya hati kita selalu saja kesal.

Tak lama kemudian papanya menimpali, mengingatkan Luqman pada cerita yang mereka baca sebelumnya tentang Nabi Sulaeman. Luqman pun diminta untuk cerita. Mulailah ia bercerita:

Nabi Sulaeman berniat memberi makan seluruh binatang di dunia, tapi Allah SWT mengingatkan bahwa Nabi Sulaeman tidak akan sanggup. Maka Nabi Sulaeman meminta, biarlah untuk satu hari saja. Dikumpulkanlah para jin dan bala tentaranya untuk memasak makanan di sebuah tempat yang sangat luas, yang jarak dari ujung ke ujungnya harus ditempuh selama satu bulan. Tak lama kemudian, datanglah satu ekor ikan besar, dan ternyata makanan yang tersedia itu langsung habis olehnya tanpa tersisa.Begitulah, Luqman menyudahi ceritanya.

Tapi Out of Topic, tiba-tiba Luqman nyeletuk, "Tapi ada satu yang bikin Ade heran," katanya. Kami, saya dan papanya, serempak bertanya, "Apa?"

"Iya kenapa ikan besar itu kok bisa naik ke darat?". Ha ha ha.....
Tentunya, itu adalah pe er buat penulis bukunya. ^_^.


Kamis, 20 Januari 2011

Minat dan Toleransi

Mungkin tidak semua, karena saya belum pernah melakukan survey, namun dari beberapa kawan yang saya kenal, latar belakang pendidikan dan minat mereka (sebagai orang tua) tanpa sadar ikut mewarnai prioritas pelajaran yang 'harus' ditekuni anak-anaknya.

Yang suka sains dan berlatarkan sains, mendorong anak-anaknya memperbanyak porsi sains; yang senang matematika, juga mengarahkan anak-anak menuju suka matematika; yang suka sastra memacu anaknya suka baca-tulis dan sedapat mungkin memacu anak mereka untuk mempublikasikan tulisan sedini mungkin.

Ini bukan persoalan salah atau benar, namun menjadi cermin, bahwa apa yang menurut sebuah keluarga dianggap penting, maka belum tentu demikian juga di keluarga lain. Kita tidak bisa memaksa, baik secara implisit ataupun eksplisit, keluarga-keluarga di luar keluarga kita untuk menyenangi prioritas kita. Apalagi seolah menganggap bahwa minat yang kita geluti juga penting dikuasai oleh semua anak tanpa kecuali.

Saya memandang, semua itu hanyalah persoalan minat dan momentum. Setiap anak akan antusias belajar pada saat yang tepat, yang ternyata tidaklah sama antara satu anak dengan anak lainnya.

Mengajarkan toleransi bisa berawal dari sini. Bukankah dunia ini menjadi ramai dan menyenangkan karena banyak keragaman. Menghargai keragaman, berarti membiarkan orang lain merdeka dengan ciri khas yang mereka miliki tanpa kita harus ikut-ikutan meniru orang lain hanya demi bisa diterima di tengah-tengah mereka.

Menurut saya, itulah ciri manusia independen.

Tentang Saya

Saya, ibu dua anak. Anak-anak saya tidak bersekolah formal. Blog ini berisi pemikiran, hasil belajar, dan beberapa pengalaman.

Jika Anda menggunakan tulisan di blog ini sebagai referensi: (1) HARAP TIDAK ASAL copy paste, (2) Selalu mencantumkan link lengkap tulisan. Dengan begitu Anda telah berperan aktif dalam menjaga dan menghargai hak intelektual seseorang.