Artikel lain

Jumat, 31 Desember 2010

Belajar Menyulam

Mengawali tahun 2011. Bismillah. Ingin lebih banyak menulis, merekam banyak peristiwa kehidupan supaya pelajarannya bisa diambil. Salah satunya adalah kegiatan anak-anak pada akhir Desember 2010.

Mengalir. Mungkin agak tepat mewakili gambaran aktivitas belajar kami. Meskipun saya tak sepenuhnya setuju dengan kata 'mengalir' jika konotasinya tak tentu tujuan, namun mengalir dengan membawa visi, jelas itu sangat menyenangkan.

Saya punya cita-cita, anak-anak tetap memiliki keterampilan 'klasik'seperti menyulam, menjahit, menganyam, merajut, dan sejenisnya. Kini sedikit orang masih menganggapnya penting,namun bagi saya hal itu tetap dibutuhkan supaya peninggalan budaya tak punah begitu saja. Apalagi, sebenarnya menurut saya aktivitas semacam itu jauh lebih bermanfaat daripada anak-anak keluyuran tak tentu di luaran. Mudah-mudahan akan menjadi bekal alternatif bagi anak-anak dalam melewatkan masa remajanya nanti.

Alhamdulillah, perlahan-lahan, meski awalnya tak terlalu tertarik, Azkia dan Luqman mulai mau belajar menyulam. Nenek mereka yang sedang bersama kami menjadi sumber belajar yang penuh kasih sayang. Usai nenek mengajar anak-anak anggota perpustakaan yang juga antusias belajar menyulam, anak-anak kami mengambil sisa waktu setelahnya di saat senggang.

Keterampilan klasik lainnya secara bertahap mudah-mudahan bisa juga mereka pelajari. Selain menjadi terapi kesabaran dan ketelitian, keterampilan klasik menurut saya bisa melembutkan jiwa, membuat anak-anak lebih terlatih mengontrol dirinya. Karena itulah, saya tak hanya menstimulus anak perempuan saya untuk mempelajari keterampilan ini, tapi juga anak laki-laki saya. Toh dia tetap tak kehilangan identitas gender-nya dengan melakukan kegiatan ini. Ia tetap bersepeda, memanjat, main bola. Keterampilan dipilah-pilah berdasarkan gender sudah bukan zamannya lagi.

Mudah-mudahan semua usaha ini tak sia-sia. Dan kita semua tahu, pendidikan bukanlah pekerjaan yang setahun atau dua tahun bisa diperoleh hasilnya. Pendidikan adalah proses panjang. Semoga saya tetap konsisten. Amin.

Rabu, 22 Desember 2010

Jalan Pagi

Olah raga itu penting, karena itulah mungkin olah raga dijadikan salah satu mata pelajaran di sekolah. Sayang, semasa sekolah dulu saya dan sebagian besar teman-teman di kelas tidak terlalu menyukai pelajaran ini. Apalagi kalau jam pelajaran olah raga pas kebetulan di jam 10 ke atas, di mana matahari sudah mulai naik. Suasana jadi tak nyaman. Panas, itu sudah pasti. Berolah raga ya karena terpaksa takut nilai di rapor jadi jelek.

Semua itu terjadi di masa lalu. Saat kini saya menjalankan pendidikan di rumah, di mana waktu beraktivitas bisa diatur sendiri, maka jalan pagi adalah olah raga murah yang agak sering saya lakukan bersama anak-anak dibandingkan olah raga lainnya. Anak-anak memang akan bersepeda sampai siang baik ada ataupun tak ada acara jalan kaki. Namun saat jalan pagi adalah saat yang istimewa. Ketika itulah ada unsur rekreasi, belajar, menjauhkan pandangan untuk kesehatan mata, dan mencari benih-benih tumbuhan.

Beberapa acara jalan pagi kami tidak semua terekam di blog ini, tapi sekedar mengingatkan diri sendiri, hasil jalan pagi kini sudah terlihat. Azkia (8 tahun) sekarang jadi kuat berjalan jauh, begitu juga Luqman (6 tahun). Anak-anak juga jadi peka dengan tetumbuhan atau segala sesuatu yang unik di perjalanan. Selain itu, beberapa tanaman yang kami temukan benihnya di perjalanan, kini sudah mulai tumbuh. Ada pohon kersen yang benihnya kami ambil dari selokan; dahlia mulai berbunga, bunga kenikir/cosmos 3 warna sudah mampu mengundang serangga bertamu ke pekarangan, tanaman tekokak dari selokan tumbuh tinggi hampir berbunga. Begitulah sepanjang tahun ini acara jalan pagi memberi manfaat buat kami.

Catatan terbaru jalan pagi kami adalah tanggal 22 Desember 2010. Setelah berkali-kali menunjukkan tumbuhan yang akarnya berbau seperti balsam, saya ajak anak-anak mencabut tumbuhan itu di sepanjang jalan yang kami temui. Menunggu saat lapang saya ingin mencoba mengajak anak-anak 'meneliti' tanaman tersebut. Sungguhkah itu memang tanaman yang jadi bahan dasar balsam?? Bahkan saya juga penasaran ingin tahu ^_^.

Jalan pagi, meski melewati jalanan yang hampir sama, kami menemukan hal-hal baru yang berbeda. Karena itulah, akan coba kami pertahankan itu sebagai sarana belajar murah yang menyehatkan. Sekalian sebagai 'pelajaran; olah raga. ^_^



Senin, 20 Desember 2010

Mendekatkan Anak dengan Al Quran

Sebenarnya saya tidak pe de menulis soal ini karena saya pun masih belajar untuk menghidupkan rumah dengan Al-Quran. Terlebih lagi dalam hal mempraktikkan akhlaq Quran, waah, jauh sekali! Saya masih belepotan. Akan tetapi, tentunya bukan berarti harus menyerah. Tetap saja kami sebagai seorang muslim berkewajiban untuk membuat anak-anak mengenal, tertarik, dan menyukai kitab sucinya.

Selain merutinkan belajar setiap ba'da Maghrib, saya coba menggunakan media-media lain, seperti buku, film, dan memasang kembali poster-poster yang bertemakan Al-Quran. Kumpulan poster berisi nama-nama surat dalam Al-Quran berikut artinya saya simpan juga di sini. Poster tersebut berukuran A4 dalam format PDF. Anda yang membutuhkan poster-poster tersebut bisa mengunduhnya tanpa meminta ijin terlebih dulu.

Belajar hafalan Quran dengan metode isyarat juga kami coba. Memang masih bolong-bolong, tapi kami tetap menyimpan niat untuk melanjutkannya. Insha Allah. Mudah-mudahan diberi kemudahan untuk konsisten.

Yang paling penting, tetaplah memiliki keinginan untuk dekat dengan Quran, walau tantangannya mungkin tak terbilang. Mudah-mudahan Allah SWT meneguhkan setiap niat baik dan memberi kita kekuatan untuk istiqomah mengusahakannya. Amin.


Minggu, 12 Desember 2010

Menonton Film bersama YPBB dan Museum Care

Minggu, 12 Desember 2010. YPBB (Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi) bekerja sama dengan Museum Care dan Museum Geologi menyelenggarakan acara yang bertajuk Markinon (Mari kita nonton), dan menayangkan film dokumenter berjudul Addicted to Plastic: The Rice and Demise of The Modern Miracle. Kami sekeluarga menghadiri acara tersebut, sekalian bertemu teman-teman sesama praktisi Home-Education(HE).

Kami memang terlambat datang, tapi sekilas pada scene-scene terakhir alhamdulillah ada pesan yang bisa kami tangkap. Film ini menjelaskan tentang zat-zat apa saja yang terkandung dalam plastik dan prediksi-prediksi jika plastik akhirnya dibuang menjadi sampah, baik ketika tertimbun tanah maupun dibakar. Zat-zat beracun yang terkandung di dalamnya bisa mencemari lingkungan. Jika zat itu ikut larut dalam makanan/minuman yang kita konsumsi atau asap hasil pembakarannya terhirup, dampak bagi tubuh manusia juga ternyata tidak main-main. Beberapa di antara akibat racun plastik adalah kemandulan bagi pria dan memicu munculnya sel kanker.

Film ini secara umum bertujuan agar kita jadi lebih bijak menggunakan plastik dalam kehidupan sehari-hari. Sekalipun dalam banyak hal kita membutuhkannya namun sesungguhnya tetap memiliki alternatif lain untuk mengurangi jumlahnya. Misalnya saja:
1. Kita bisa mengurangi pembelian minuman dan makanan yang memakai kemasan plastik sekali pakai dan menggantinya dengan wadah yang bisa dipakai secara berulang.
2. Kita bisa mengurangi penggunaan kresek dan membawa tas belanja sendiri dari rumah.
3. Kita bisa mendaur atau memakai ulang beberapa sampah anorganik.

Ada satu sindiran kecil di bagian akhir film itu, "Yang paling banyak menghasilkan sampah adalah orang-orang kaya (baca: berpenghasilan cukup tinggi dan menjadi konsumen produk-produk instan), namun yang menerima dampaknya adalah orang-orang miskin yang tinggal di sekitar TPA.

Terkait pendidikan rumah, buat saya pengetahuan dan pembiasaan hidup pro lingkungan adalah pe er buat kami. Sedang terus belajar untuk bergaya hidup zero waste dan menularkannya sejengkal demi sejengkal dengan cara yang kami bisa.

Saya berterima kasih kepada YPBB dan Museum Care serta Museum Geologi yang sudah menyelenggarakan acara ini. Berharap mendapat copy film-nya untuk diputar di lingkungan komplek kami, minimal oleh anak-anak member perpustakaan ^_^.



Selasa, 23 November 2010

Buletin: Sarana Murah Menyebarluaskan Pengetahuan

Ada ketimpangan pengetahuan dan informasi antara anak-anak kota dan desa. Harus diakui, di kota kita lebih mudah menemukan sumber-sumber pembelajaran dibandingkan di desa. Bahkan di daerah dengan perbedaan jarak 1 atau 2 jam perjalanan saja dari kota, kita akan temukan 2 hal yang tidak setara. Kota kecil tidak punya toko buku dan juga sulit ditemukan bahkan juga kios-kios buku bekas di sana, sedang di kota yang lebih besar kita bisa temukan dengan mudah buku-buku bagus dengan harga diskon.

Kehadiran internet yang mampu menjadi gudang informasi sesungguhnya kini bisa mengentaskan ketimpangan itu. Akan tetapi, ternyata masih sedikit keluarga dan anak-anak yang terakses dengan internet di daerah pinggiran. Jika pun mereka melakukan aktivitas virtual, kebanyakan masih pada taraf penjelajahan tanpa arah.

Karena itulah, melalui perpustakaan, saya terpikir untuk kembali melakukan hobi lama, yaitu membuat buletin 8 halaman. Salah satu tujuannya adalah untuk 'membumikan' informasi-informasi dari dunia virtual yang mungkin tidak bisa terakses oleh semua anak.

Pembuatan buletin tidaklah terlalu sulit, cukup dengan layout sederhana, menggunakan printer skala rumah, lalu diperbanyak dengan foto copy. Namun saya percaya manfaatnya dalam jangka panjang jauh lebih besar daripada biaya alakadarnya yang kita sisihkan. Buletin, dengan jumlah halaman yang sedikit lebih mengundang rasa ingin membaca ketimbang lembaran buku tebal. Jika isinya benar-benar dibuat berkualitas, maka kelebihan format buletin bisa menjadi daya dorong minat anak-anak pada ilmu pengetahuan.

Penerbitan perdana, 24 November 2010. Naskah masih assembling dan masih saya yang mengisi rubrik. Secara bertahap, Azkia dan juga teman-temannya akan saya coba stimulus untuk mengisi buletin ini, terutama untuk tulisan imajinatif.

Mudah-mudahan langkah ini bisa terus berlanjut. Bagi para pembaca yang punya sumber daya memadai, mungkin juga bisa melakukan hal yang sama. Mengeluh dengan sistem pendidikan yang kurang memuaskan pasti tak akan pernah ada habisnya. Lebih baik kita ciptakan kepingan-kepingan solusi sesuai kapasitas kita masing-masing.

Salam pendidikan!

Minggu, 14 November 2010

Recycling Day di Perpustakaan Kami

Tulisan ini saya anggap sebagai portofolio kegiatan anak-anak saya bersama teman-temannya, member taman bacaan. Setelah lama ingin membuat acara rutin di luar kegiatan meminjam dan mengembalikan buku, akhirnya kesampaian juga niat itu Sabtu, 13 November 2010. Alhamdulillah. Walaupun saya sedang melawan flu, melihat anak-anak bersemangat, jadinya ketularan ikut bersemangat.

Karena projek belum selesai seluruhnya sampai jam 5 sore, acara recycle kertas bekas ini pun setuju dilanjut pada keesokan harinya. Lewat kegiatan perdana ini saya juga jadi belajar bagaimana mengajar dengan teknik yang efisien, mudah dimengerti, dan mudah pula dipraktikkan anak-anak. Tentunya masih belum maksimal, tapi luar biasa senang karena punya kesempatan untuk melatihnya lewat kegiatan ini.

Target jangka pendek, anak-anak harus merasa mampu. Karena itulah latihan awal diusahakan berupa benda yang paling mudah dibuat, dan tuntas minimal 1 masing-masing. Dan anak-anak berhasil membuat tempat pensil duduk dari kotak bekas minuman, dikombinasikan dengan kepangan kertas koran. Karya mereka bisa dibawa pulang.

Target jangka panjang, anak-anak jadi kreatif memanfaatkan barang-barang bekas yang biasanya hanya menjadi sampah. Mereka jadi kelompok anak-anak yang peduli lingkungan. Duh, sungguh harapan yang mungkin terlampau tinggi. Semoga diberi anugerah untuk istiqomah.

Hari ke-2
Ahad, 14 November 2010, pukul 10-an anak-anak datang lagi dengan formasi yang sedikit berbeda dengan hari sebelumnya. Kali ini mereka membawa berbagai macam kotak bekas, dari mulai kotak bekas pasta gigi sampai kardus bekas minuman ringan.

Supaya mereka memiliki goal, saya coba tanyakan, apa yang paling ingin mereka buat. Ups! Ternyata jawabannya hampir seragam, kotak pensil yang ada tutupnya, yang bisa dibawa ke sekolah.

Meskipun mereka harus melipat kertas bahan anyaman sebanyak 30 buah, ternyata dengan membuat goal, mereka begitu pantang untuk menyerah. Berkali-kali saya tanya, "Sudah capek? Belum menyerah?". Jawabannya tetap sama, "Belum! Nggak akan menyerah!". Salut juga. Meskipun tetap masih belum rampung semuanya, karena hari sudah gelap mau hujan, tapi sudah ada juga yang dihasilkan. Coba saja lihat suasana dan ekspresi wajah anak-anak yang begitu antusias, fokus. Nggak nyangka, awal recycling day menyenangkan. ^_^.




Bahkan sampai menjelang pulang sisa rasa pensaran masih nampak. Maka saya ijinkan mereka membawa bahan-bahan yang diperlukan, seperti lem lilin dan pewarna, supaya projeknya bisa mereka lanjutkan di rumah. Seminggu sekali nampaknya akan kurang pada tahap awal ini. ^_^.

Kamis, 11 November 2010

Mengolah Kertas Bekas Menjadi Barang Berguna

Mengolah kertas bekas menjadi barang yang berguna. Ide tersebut sudah lama bersemi. Makin berkembang setelah membeli buku kreativitas berikut ini dan ikut acara ibu PKK RW.













Setelah saya search di google, ternyata sudah banyak yang mengaplikasikan ide Pak Rubiyar ini. Bahkan tak sedikit yang bisa menjadi lahan pekerjaan, membangkitkan ekonomi kerakyatan. Salah satunya bisa dilihat di sini www.suaramedia.com.

Kami di rumah juga telah mencoba menggabungkan inspirasi dari buku Kreasi Kertas Koran ini dengan kreativitas kami sendiri. Mau melihat hasilnya? Ini dia:















Teknik dasarnya adalah melipat kertas bekas (baik HVS ataupun koran) menjadi lipatan memanjang sehingga mirip dengan irisan bambu tipis yang biasa dipakai sebagai bahan baku anyaman, melinting koran sehingga menyerupai tali tambang, membuat kepangan seperti kepangan rambut (bisa dengan 3 helai atau 4 helai kertas yang sudah digunting seperti pita lebar).

Bahan pendukung selain kertas bekas sangatlah sederhana. Hanya berupa lem putih FOX (supaya lebih kuat), lem tembak (glue gun), dan pewarna makanan atau pelitur berbahan campuran air. Alatnya cukup gunting dan kuas.

Banyak benda bisa dibuat dari bahan kertas bekas ini. Secara bertahap insha Allah saya share di blog ini untuk bahan membuat prakarya bersama anak-anak. ATAU silakan beli buku Pak Rubiyar. Kreativitas lainnya akan mengalir dengan sendirinya. ^_^



Kamis, 28 Oktober 2010

Belajar Sejarah Lewat Film dan Buku

Pelajaran sejarah biasanya kurang diminati anak-anak, terlebih sejarah nasional. Sejarah seolah identik dengan kesan membosankan, penuh dengan hafalan, dan banyak lagi alasan lainnya. Padahal sejarah adalah salah satu media agar anak-anak belajar dari peristiwa di masa lalu, menelusuri benang merah peradaban yang membentuk jati diri bangsanya ataupun keyakinannya.

Awalnya, kami pun sedikit ragu, jangan-jangan anak-anak kami juga sulit menyukai sejarah, apalagi mereka tidak bersekolah formal. Akan tetapi, saya cukup terpana, ketika kami mencoba memulainya dari film.Beberapa waktu lalu, kami mengunduh film Tjut Njak Dhien di sini, dan menontonnya bersama anak-anak.

Tayangan filmnya memang sedikit mengandung unsur kekerasan, tapi dengan pendampingan dan penjelasan pada bagian tersebut, efek negatifnya bisa diantisipasi. Bagaimana kami tahu intisari film itu yang mereka cerna dan bukan adegan kekerasannya? Karena kami mengajak mereka mengobrol, menceritakan ulang, dan mendiskusikannya. Dan alhamdulillah, mereka ternyata mampu mencerna semuanya sesuai harapan kami.

Setelah itu? Beruntung kami juga menemukan buku serial pahlawan yang ditulis dengan gaya populer, terbitan Bee Media Indonesia. Salah satunya adalah seri tentang Cut Nyak Dien dan Teuku Umar. Buku tersebut menjadi penguat data dan mampu membuat rasa kesejarahan lebih nyata.

Belajar sejarah tidak lagi menjadi masalah. Anak-anak menyukainya sebagai bagian yang perlu diketahui. Buat saya, hal itu sudah cukup menyenangkan. Karena jika minat belajar sudah tumbuh, anak-anak akan mencari tahu sendiri bahan-bahan yang ingin mereka ketahui.

Salam Pendidikan!

Senin, 25 Oktober 2010

Bertenda di Kebun

Ide selintasan yang bikin ceria anak-anak hari ini. Awalnya kami melakukan 2 hal berbeda. Anak-anak tergoda menjadikan kain sprei yang dijemur dipagar sebagai tenda mainan, sedangkan saya meratakan tanah di sekitar pohon kersen.

Ups! Saya juga melihat banyak batang singkong menganggur tergeletak. Dua ide pun bersambungan.Saya ajak anak-anak pasang tenda di tanah yang sudah saya ratakan. Perlengkapan alakadarnya. Hanya dibutuhkan 2 batang singkong yang bercabang ujungnya sebagai tiang. Tiang darurat itu pun dipasang di dua tempat. Lalu Luqman melintangkan sebatang bambu bekas rambatan kacang panjang di atasnya. Ikat dengan tali biar kuat. Bentangkan kain terpal biru yang ada digudang, pancangkan pasak. Jadi deh!

Luqman yang memalu pasak dari sisa batang singkong. Semangat sekali. Membuat tenda berdiri tak lebih dari 15 menit. Setelah karpet karet dipasang, mereka bisa asyik baca buku di bawah naungan tenda biru, bertiangkan batang singkong. Have a nice day, Kids! Bersyukur kalian bisa bersenang-senang dengan sesuatu alakadarnya, murah tapi meriah.^_^

Kamis, 30 September 2010

Pengajaran Digital atau Manual?

"Jika kita tidak memanfaatkan sepenuhnya komunikasi elektronik dalam pendidikan, kita akan seperti nenek moyang kita yang gagal menggunakan alfabet, menolak mencetak buku, atau masih menggosok-gosokkan batang kayu untuk menciptakan api" (Revolusi Cara Belajar, Gordon Dryden & Jeanette Vos:93)


Pernyataan di atas mungkin terlihat sangat kontroversial. Dimuat dalam sebuah buku yang terbit dalam bahasa Inggris tahun 1999, tentunya menjadi catatan tersendiri. Karena kenyataannya dunia komunikasi elektronik pada 11 tahun setelah buku itu terbit, yaitu saat ini, memang sudah sebegitu meluas jangkauannya. Tak terelakkan, kita semua tersentuh kemajuan teknologi tersebut. Akan tetapi, akankah kalimat sarkastis itu benar-benar sebegitu meyakinkan bisa terjadi?

Beberapa hari terakhir ini saya memang sering memikirkan tentang mana yang lebih penting didahulukan bagi anak-anak, mengenal dunia digital dan memperdalamnya sejak dini ataukah lebih dulu mengajak mereka mengeksplorasi dunia nyata? Kesimpulan saya, dua-duanya bisa berjalan beriringan. Meski saya tetap melihat interaksi dengan dunia nyata perlu diperbanyak porsinya, namun saya anggap kedua-duanya adalah penting.

Dunia digital memang akan selalu menunggu sambil dia maju, tapi jika terlalu ekstrim untuk tidak mengenalkan anak-anak pada teknologi digital, maka beberapa manfaat edukatif bermediakan alat ini tentu menjadi luput. Jika tujuannya untuk edukasi, mengapa tidak? Bukankah tanpa disadari, anak-anak sebenarnya tetap akan bersentuhan dengan dunia elektronik dan digital dalam kehidupan sehari-hari, minimalnya dengan alat paling sederhana yaitu handphone (meski hanya 'mengoprek' HP milik orang tuanya) atau televisi. Apa yang mereka akses atau lakukan dengan alat-alat tersebut? Tanpa panduan pastinya bisa segala hal (baik negatif maupun positif) mereka terima.

Yang terpenting menurut saya adalah: (1) Porsi yang seimbang antara belajar di dunia nyata dengan belajar secara digital dan bahkan virtual. Hal ini tak hanya warning untuk anak-anak tapi juga orang dewasa. (2) Pendampingan orang tua.

Tentang pernyataan Dryden dan Vos di atas, tentunya hanya perjalanan waktu yang bisa membuktikannya. Setuju atau tidak setuju dengan pernyataan tersebut, pada akhirnya kita tidak akan bisa memaksa orang lain memilih jalan yang kita tempuh. Setiap orang akan mengambil pilihan yang paling sesuai dengan keyakinannya masing-masing.

Selasa, 28 September 2010

Menangkap Kupu-Kupu Lagi

Dulu saya pernah memposting tulisan berjudul, Mengejar Kupu-Kupu. Tulisan itu saya buat ketika kami baru 26 hari tinggal di rumah baru di Tanjungsari. Tak terasa sekarang sudah hampir mendekati masa 2 tahun kami menempati kawasan ini, dan anak saya Luqman ternyata masih menyimpan rasa penasaran terhadap kupu-kupu yang tidak terlalu jinak. Ia ingin mencoba menangkapnya, walau kemudian dilepaskannya kembali.

Berbekal jaring penangkap ikan (lamit kalau kata orang Sunda ^_^), sejak kemarin ia terus tertarik untuk mengubahnya menjadi penangkap kupu-kupu. Ia terinspirasi dari buku yang memperlihatkan alat itu dipakai anak-anak untuk berburu kupu-kupu. Awalnya saya membeli 'lamit' memang hanya untuk menangkap ikan yang ada di kolam kecil kami. Kemudian berubah jadi penjaring kupu-kupu, sepertinya bukanlah ide yang perlu ditolak.


Satu hal yang menarik, kupu yang biasanya sangat liar dan terbang cekatan itu bahkan bisa terdiam di tangan anak saya selama kurang lebih 3 menit. Caranya hanya dielus-elus dan "memakai kekuatan pikiran" (begitu kata Luqman ^^).

Waah, sebenarnya mungkin juga ada pengaruh film MATILDA (anak yang memiliki kekuatan imajinasi sehingga bisa membebaskan teman-temannya dari seorang kepala sekolah yang jahat). Luqman menontonnya hingga beberapa kali dan begitu takjub dengan kehebatan MATILDA. Dengan pendampingan, film itu bisa sekalian mengajarkan pada anak-anak tentang hebatnya pikiran yang pantang menyerah. Tokoh Matilda yang sangat mandiri dan percaya diri membuat anak-anak belajar tentang kebalikan dari imperior.

Nah, setelah kemahiran menangkap kupu-kupu ini makin baik, dan pasti besoknya dan besoknya lagi diulang, rencananya saya akan membuatkan penangkaran kupu-kupu mini buat anak-anak. Setidaknya untuk mempertahankan benih kecintaan belajar sains sejak dini?

Minggu, 19 September 2010

Obrolan Sebelum Tidur (2)

Papa bertanya pada Luqman, "Apa yang akan Ade lakukan jika di rumah seseorang yang Ade datangi ada makanan enak yang paling Ade sukai? Apakah akan mengambilnya?"

Luqman: "Tentu saja tidak."
Papa: "Tapi nggak ada siapa-siapa lho di situ. Nggak ada yang liat kalaupun Ade mengambilnya,"
Luqman: "Ah, tetap saja tidak akan Ade ambil,"
Papa: "Walaupun Ade sangat menginginkannya?"
Luqman: "Iya, karena Ade tahu, kalau mengambilnya tanpa ijin berarti Ade kan mencuri."
Papa: "Terus apa yang akan Ade lakukan?"
Luqman: "Ade mungkin akan melihatnya, tapi Ade akan menaahan kuat-kuat rasa sangat ingin itu".


Kami tertawa dan memberi jempol untuknya.

(Apakah Luqman benar-benar akan mempraktikkan apa yang ia katakan saat berhadapan dengan kasus semacam itu? Kami tidak bisa menjamin. Tapi lewat obrolan itu minimal kami tahu bahwa dia telah mengerti sebuah nilai penting, yaitu: Sekalipun sangat menginginkannya, ia tidak-lah berhak mengambil sesuatu yang bukan miliknya.)

Kamis, 16 September 2010

Hadiah Lebaran

Bersyukur. Mungkin itulah kata yang paling tepat harus saya ucapkan. Puasa Ramadhan tahun ini (1431 H/2010 masehi), dengan karunia Allah Yang Mahapemurah, telah memberi saya banyak pelajaran. Dan hebatnya, pelajaran itu justru datang dari anak-anak saya.

Ramadhan tahun ini Azkia (kini 8 tahun), nyaris berhasil menamatkan puasanya kalau saja tidak terpotong oleh safar ke kampung pada hari terakhir. Padahal pada bulan Ramadhan tahun sebelumnya ia hanya puasa sekitar dua hari, itupun hanya sampai dzuhur. Keinginan berpuasa datang dari dirinya sendiri, sama sekali tanpa paksaan. Itikadnya yang kuat membuat saya merasa bangga sebagai orang tua. (Semoga tidak terjerumus pada takabur, insha Allah).

Satu kemajuan lagi pada Azkia adalah kemauannya mengenakan kerudung sepanjang hari saat keluar rumah. Awalnya sejak beberapa minggu sebelum bulan Ramadhan. Suatu hari Azkia berbisik, "Mama, ternyata Kakak berhasil lho seharian ini tidak buka kerudung saat di luar". Sebagai ibu yang juga masih belajar merespon dengan baik, saya berusaha mengekspresikan pujian yang normal padanya atas kemajuan itu. Dan alhamdulillah, hingga kini ia tetap mengenakan kerudungnya.

Adapun Luqman, yang sebelumnya masih sangat sulit diajak sholat, saat Ramadhan kemarin terlihat berusaha sungguh-sungguh untuk melawan rasa malasnya. Ia ikut sholat bersama kami walau bertahap hanya konsisten sholat shubuh dan maghrib. Dan itu masih berlangsung sampai hari ini.

Selain itu, yang paling mengherankan tapi sekaligus membuat saya bersyukur adalah sikap mereka yang jadi lebih sabar, tak banyak mengeluh, dan pandai mengibur diri.

Saat mudik kami naik kendaraan umum. Sejak berangkat memang saya berulang kali mengatakan pada mereka, "Kita akan melakukan perjalanan agak jauh. Mungkin sekali kita akan bertemu hal-hal yang tidak menyenangkan. Mungkin akan bertemu macet, panas, dan banyak lagi. Kita harus siap bersabar menghadapi semua itu. Mau berusaha sabar, kan?" Anak-anak mengangguk, menyanggupi.

Anak-anak memang sangat ingin bertemu nenek dan saudara-saudara sepupunya. Karena itulah, sepertinya mereka mau berusaha berkompromi dengan kemungkinan yang kurang enak, yang biasanya selalu membuat mereka sedikit rewel atau mengeluh.

Perjalanan pun dimulai dan kami sudah meniatkan perjalanan ini memang untuk sebuah latihan kesabaran. Bukan hanya untuk anak-anak tapi juga untuk kami semua. Jadi, mulut dijaga rapat-rapat untuk tidak bicara tentang keluhan. Kami berjuang untuk membincangkan hanya hal-hal yang positif.

Fase demi fase kami lewati. Tibalah kami di terminal terakhir menuju kampung. Cuaca sangat panas, debu beterbangan, bejubel orang-orang hendak berbelanja lebaran. Sebuah keadaan yang sangat mengganggu sebenarnya. Setelah sekitar 1 jam anak-anak menunggu di mesjid bersama papanya (karena saya membeli beberapa keperluan pesanan ibu saya) akhirnya kami mencari angkutan ke kampung. Kebetulan angkutan sederhana ala desa ada yang kosong. Kami pun naik.

Di dalam pick-up angkutan barang yang disulap jadi angkutan manusia kami dinaungi terpal. Seketika setelah kami naik, hawa panas menyengat. Saya bilang ke Luqman, "Agak panas ya, De? Mungkin juga akan agak lama kita menunggu". Mengejutkan, Luqman menjawab, "Enggak terlalu, Ma. Memang panas sih, tapi Ade bisa tahan. Dan tidak apa-apa lama ataupun sebentar. Kalau Ade mah, yang penting nyampe".

Saya dan papanya tertawa. Ajaib sekali! Luqman biasanya paling gampang mengeluh dan ternyata bisa berubah? Bahkan di tengah perjalanan, saat mobil yang kami tumpangi juga dimuati kayu bakar, rumput, dan dua karung jengkol hasil hutan, anak-anak saya tetap menikmati semuanya dengan relatif santai.

Ah, saya pun menerawang. Tampaknya memang tidak-lah sia-sia jika kita berusaha keras untuk memberikan teladan. Saya akui, sebagai ibu saya juga termasuk orang yang kurang sabaran selama ini. Sedikit impulsif dan kadang juga pengeluh. Jadi, sebenarnya tak harus heran jika anak saya menunjukkan perilaku seperti itu ^_^. Dan saat Ramadhan tahun ini, entah mengapa ada desakan yang sangat kuat untuk mengubah karakteristik diri yang kurang baik itu. Berjuang deh, pokoknya!:)

Saya tahu, pastinya usaha saya belum-lah maksimal. Tapi dengan perubahan yang saya lihat pada anak-anak, saya jadi yakin bahwa berawal dari usaha memperbaiki diri (sekecil apapun), semua ada pengaruhnya pada perkembangan mereka. Mereka adalah cermin diri saya (Setidaknya itulah yang selalu saya coba dengungkan dalam diri saya).

Ketika kami pulang, di mana kami harus menunggu hampir 3 jam di halte, dan juga terpaksa berdiri di bis selama kurang lebih 1,5 jam karena bisnya penuh, luar biasa! Anak-anak bisa melewati semua kondisi itu dengan riang.

Walau setiba di rumah badan saya remuk redam rasanya karena sesekali harus gantian menggendong anak-anak saat mereka terlihat lelah, tapi Puji syukur kepada Allah SWT. Kepingan-kepingan perjalanan latihan yang kami lewati dengan baik adalah hadiah lebaran yang sangat berharga buat saya.

Semoga kami sebagai orang tua juga diberi Allah sikap yang istiqomah/konsisten, sehingga anak-anak juga konsisten berjalan menuju kemajuan. Berbagai kemajuan yang tak hanya berwujud kepintaran akademis semata, melainkan juga mentalitas dan kepribadian mereka. Amin ya Allah ya Robbal 'aalamiin.

Sabtu, 28 Agustus 2010

Panen Ubi


Hari ini kami "pesta" ubi. Setelah kemarin saya memanen sendirian, kali ini anak-anak diajak. Ruang tanam seluas kurang lebih 6 meter persegi dipanen dua anak kecil kami yang takjub bukan kepalang. Hanya dengan tangan, ubi berhasil dicabut karena tanahnya sangat gembur.



Menanam ubi tidak-lah sulit. Cukup dengan menggunakan stek batang, ubi menjalar ke mana-mana dan bisa dipanen dalam waktu 3 bulan. Ubi yang kami panen ada yang kecil, ada juga yang besar.Kali ini baru percobaan. Kayaknya boleh juga dilanjutkan sebagai alternatif bahan pangan.



Setelah dikumpulkan, ubi lalu ditimbang. Eits! Karena wadah timbangan yang kami punya nggak muat, jadinya pakai baskom. Tentu saja terlebih dulu di-stel ke angka nol untuk menyesuaikan dengan bak timbang.




Hasilnya 1,8 kg. Lumayan juga. Bisa dibuat gorengan ubi atau kolak untuk berbuka puasa ^_^. Dan yang terpenting, anak-anak jadi belajar untuk terlibat dalam sebuah proses, betapapun remehnya. Suatu hari, entah kapan, setiap pengalaman praktis yang mereka lewati akan ada gunanya.

Senin, 23 Agustus 2010

Menjelajah

Menjelajah mungkin terdengar terlalu keren ya. Tapi biarlah disebut begitu, supaya terasa sebagai sesuatu yang menakjubkan. Kegiatan ini menjadi sering kami lakukan dalam satu tahun terakhir.

Anak-anak saya ajak berjalan menyusuri pesawahan, sungai, dan perkampungan di belakang komplek perumahan kami. Meski sudah berulang-ulang kami lakukan, selalu saja ada hal baru yang kami temui.

Kalau merujuk pada konsep Charlotte Mason dalam menjalankan home-education, kegiatan menjelajah alam ini adalah bagian penting yang sangat ia anjurkan.

Salah satu tujuannya adalah melatih mereka untuk terbiasa berinteraksi dengan alam sekitar, sehingga tumbuhlah rasa memiliki dan rasa ingin menjaga alam tempat mereka hidup. Selain itu, menurut Charlotte, dengan mengajak anak-anak memperhatikan aneka tetumbuhan dengan seksama, akan melatih mereka untuk memiliki rentang perhatian yang panjang terhadap sesuatu.

Sekarang ini, malah anak-anak bisa mengajak teman mainnya untuk ikut serta. Menjelajah jadi kegiatan murah yang tak kalah serunya dengan bermain di arena bom bom car di mall.

Di perjalanan kadang-kadang kami berhenti melihat-lihat para petani bekerja di sawah. Hari Minggu, 22 Agustus kemarin, malah Luqman minta berhenti untuk melihat pembuatan bata merah. Pengalaman baru buat anak-anak.

Jumat, 16 Juli 2010

Hikmah dari Sebuah Perpustakaan Mini

Tidak terasa, pada tanggal 16 Juli 2010 sudah masuk bulan ke-lima perpustakaan mini yang dikelola Azkia (7 tahun 9 bulan) dibuka. Dengan jadwal buka rutin 2 kali seminggu (RAbu dan Sabtu) perpustakaan ini menjadi ajang latihan praktis buat Azkia mengembangkan beberapa kemampuan dan keterampilan, serta mengenalkan arti sebuah konsistensi secara nyata.

Melalui aktivitas sederhana ini, ada beberapa hal yang sepertinya Azkia sadari memberi nilai plus untuk dirinya, sebagai anak yang tidak bersekolah formal, di antaranya:

1. Karena mau tidak mau dia harus mencatat semua pengembalian dan peminjaman buku, maka otot menulisnya menjadi makin terlatih. Pelajaran penting yang saya rasakan: Karena saya tidak terlalu banyak memberi koreksi dan menilai tulisan dia, ternyata hasilnya justru di luar dugaan. Tulisan Azkia sekarang makin rapi dan bagus.

2. Dia jadi belajar untuk tenang/tidak gugup saat menghadapi antrian para peminjam yang ingin bukunya dicatat. Kadang-kadang, anak-anak yang datang tidaklah sendirian, melainkan berombongan antara 5 - 10 orang. Awalnya Azkia terlihat tegang, tapi sekarang dia enjoy aja dengan hal itu.

3. Mulai tumbuh sikap bertanggung jawab dalam hal ini, karena saya nyaris melepaskan hampir seratus persen tanggung jawab mengurus perpustakaan pada Azkia. Dari mulai merapikan buku-bukunya, mendata bukunya (termasuk jika ada buku baru), sampai mencatat pengembalian dan peminjaman, semua dia yang mengerjakan dengan senang hati. Hari Rabu dan Sabtu menjadi hari penting buat dia, dan dia selalu ingat dengan tanggung jawab itu.

4. Perpustakaan kami tidak memungut biaya peminjaman dan Azkia juga tidak dibayar. Hal itu menjadi sebuah sarana mengenalkan konsep volunteer pada dirinya, sebelum nanti dia berkenalan dengan kegiatan yang bermotif ekonomi ^_^.

5. Perpustakaan membuat Azkia berinteraksi dengan banyak anak dari berbagai usia. Saya kira, hal itu menjadi ajang dia melatih kepercayaan diri dan juga cara berkomunikasi. Apalagi sekarang jumlah anggota perpustakaan sudah mencpai 50-an anak. Saya kira itu bukanlah jumlah yang sedikit.

Hal yang masih belum mulai kami kembangkan adalah memberdayakan perpustakaan mini ini menjadi sekaligus tempat anak-anak (para anggota) menambah keterampilan dan wawasan. Suatu hari nanti, insha Allah akan bergerak ke arah sana.

Sabtu, 19 Juni 2010

Memberi Nilai Lebih pada Sampah Anorganik

Sudah menjadi cita-cita saya, ingin mandiri dalam pengelolaan sampah. Langkah awal adalah berusaha memilah sampah organik dan anorganik sejak dari rumah. Dengan beberapa pilihan alternatif, sampah organik bisa diolah menjadi pupuk kompos dengan model takakura ataupun menggunakan wadah kedap udara (ananerob, sehingga menghasilkan gas yang bisa dipakai sebagai bahan bakar kompor dan juga pupuk cair untuk tanaman.

Dampaknya ke depan buat anak-anak juga pasti sangat bermanfaat. Jika selama ini sampah selalu jadi masalah, ke depan saya berharap anak-anak bisa melihatnya justru sebagai potensi yang bisa bernilai, entah dari segi ekonomi maupun kelestarian lingkungan.

Anak-anak akan selalu belajar dari orang tuanya. Karena itulah, untuk mengajarkan pada mereka tentang konsep pemanfaatan sampah, saya coba mempelajari lebih dulu dan mempraktikkan lebih dulu.

Setelah mencoba meng-komposkan sampah organik, saya juga belajar tentang pemanfaatan limbah anorganik berupa kertas dan plastik sehingga bernilai lebih dari sekedar sampah. Tentunya kita semua tahu, sampah anorganik tak bisa dengan cepat terurai dengan tanah. Membuangnya sembarangan hanya akan menyumbang kerusakan lingkungan.
Beberapa hasil kreasi yang sudah saya coba adalah membuat kerajinan dari kertas bekas, baik koran maupun kertas HVS bekas.

Anak-anak juga sudah bisa dilibatkan membuat kreasi-kreasi ini. Insya Allah, saya berniat menyusun tutorial pembuatan kreasi limbah kertas ini dan membuatnya dalam format ebook. Mudah-mudahan bisa terwujud. Tentu saja hal itu sebagai usaha untuk lebih meramaikan wacana pemanfaatan sampah anorganik, yang juga sudah banyak dibuat menjadi buku. ^_^

Kamis, 10 Juni 2010

Kelomang dan Gunanya Ilmu

Sering, setelah kini saya melewati masa sekolah, menjadi ibu, dan membelikan anak-anak buku-buku ilmu pengetahuan muncul pertanyaan pada diri sendiri, buat apa ya sebenarnya belajar ini dan itu? Kalau tidak relevan dengan apa yang kita geluti dan kita butuhkan, ilmu biasanya jadi tidak menarik untuk dipelajari. Biologi misalnya. Apa ya gunanya mengetahui daur hidup hewan? Mengetahui makanan mereka ataupun habitat tempat mereka hidup? Pertanyaan-pertanyaan itu tak pernah terjawab sampai kemudian terjadi sebuah peristiwa, yang entah kebetulan atau mungkin juga disengaja diberikan 'alam' untuk menjawab pertanyaan saya ^_^.

Suatu hari, menjelang sore saya masih membereskan benda-benda yang berserakan di halaman. Sepintas, sudut mata saya menangkap sebuah gerakan kecil di atas paving block, tapi setelah dilihat hanya ada sebutir batu putih lonjong di sana. Setelah terdiam sebentar, ternyata gerakan itu muncul lagi. Rupanya, benda berbentuk batu lonjong itu-lah yang bergerak.

Saya pun panggil anak-anak. Seperti biasa, ini sering saya lakukan saat menemukan hal-hal baru yang menarik. Tentunya supaya mereka juga tak melewatkan keajaiban-keajaiban yang ada di sekitarnya.

Azkia dan Luqman berseru, "Itu kelomang, Mah!". Malah saya juga belum tahu apa nama hewan itu, tapi anak-anak dengan yakin justru langsung mengenalinya. Seingat saya, kelomang hidup di laut, tapi sekarang ada di darat? Sebuah keanehan. Pikir saya.

"Tapi betul, Mah. Itu memang kelomang," kata Azkia lagi.
"Ya sudah, coba cari di internet, apa ini memang benar kelomang." Anak-anak pun mengganggu papanya untuk dicarikan info tentang kelomang. Setelah searching, ternyata benar, hewan itu memang kelomang.

Sayangnya, kami tidak terlalu membaca dengan detail tentang hewan ini lebih jauh. Karena pengetahuan awal kami, kelomang itu berasal dari laut dan pastinya suka hidup di air, kami pun memasukkannya ke dalam stoples dan diberi bebatuan kecil. Kami beri pisang sebagai makanannya, karena katanya kelomang suka makan tumbuhan.

Setelah semalaman kelomang menginap di stoples, di dapur kami, penasaran saya cari lagi info tentang kelomang di internet. Terkejut juga. Ternyata, kelomang tak hanya hidup di laut. Ada juga jenis kelomang yang hidup di darat dan tidak terlalu menyukai air, sehingga tak boleh direndam terlalu lama di air supaya tetap hidup.

Hampir meloncat, saya periksa stoples kelomang. Ups! Ternyata kelomang kecil itu memang sudah tiada. Sayang sekali! Sejak saat itu-lah saya mulai mengerti apa gunanya mengetahui kehidupan hewan secara spesifik. Salah satunya adalah untuk menjaga kelestarian mereka. Keberuntungan kami menemukan kelomang memang tinggal kenangan, tapi hikmahnya, saya tak lagi meremehkan gunanya ilmu pengetahuan. Ilmu (apapun itu), pasti berguna, meski kita tidak tahu kapan itu akan digunakan.

Salam pendidikan!

Selasa, 11 Mei 2010

Makan Ubi, Siapa Takut?

Sekitar 2 tahun yang lalu, saat anak-anak saya, Luqman masih 4 tahun, dan Azkia 6 tahun, saya mencoba memperkenalkan makanan paling mudah olah pada mereka, yaitu ubi kukus. Hasilnya? Mengecewakan. Mereka hanya melihat sekilas, mencicip sedikit, lalu pergi.

Sesaat saya menganggapnya sebagai hal biasa, karena memang mereka tak pernah makan makanan seperti itu sebelumnya. Akan tetapi, setelah saya renungkan lebih jauh, sepertinya hal ini tak hanya sebuah fenomena biasa, tapi juga merupakan tantangan pengasuhan dan pendidikan. Orang Indonesia, orang Sunda lagi. Masak iya nggak mau makan ubi kukus?

Ubi kukus hanyalah satu kasus kecil, tapi yang saya khawatirkan adalah sikap mereka terhadap makanan sederhana seperti ini, yang mungkin melebar ke jenis makanan lain, entah singkong rebus, pisang kukus, urap talas, dll. Tanpa diajari, kemungkinan nantinya mereka akan berpikir bahwa makanan seperti itu tidak layak dijadikan makanan. Maunya roti, biskuit, atau makanan pabrik lainnya. Sungguh saya sangat tak berharap hal itu terjadi.

Walau bagaimanapun, makanan hasil olahan sendiri jauh lebih sehat dibandingkan makanan produksi pabrik, yang pasti memakai pengawet, mungkin memakai pewarna buatan, dan bahan kimia lainnya untuk membuat makanan menarik dan tahan lama.

Selain itu, sebagai orang Indonesia saya berharap, anak-anak harus kenal dan akrab dengan makanan ala Indonesia. Jangan sampai hanya kakinya saja yang menjejak di bumi pertiwi tapi gaya hidupnya jauh dari nilai-nilai ke-Indonesiaan dan justru lebih bangga dengan budaya asing.

Ubi terdepak oleh roti, burger, dan hotdog hanyalah sebuah contoh kecil bahwa anak-anak kini telah terjauhkan dari salah satu produk budaya negerinya sendiri.Betapa banyak hal lain yang sudah tak lagi membawa serta ke-Indonesiaan dalam keseharian anak-anak Indoensia, dari mulai tontonan, mainan, berbahasa, berpakaian, dll. Oh, malangnya Indonesia. Identitasmu tak lagi nampak jelas :(

Kembali ke soal ubi. Akhirnya saya memutuskan untuk memperkenalkan makanan itu lagi dan lagi, dengan memberi mereka contoh bagaimana menikmatinya dan mensyukuri kelezatan alami yang ada di dalamnya. Lega. Tak sampai satu bulan, terapi yang saya lakukan menunjukkan hasilnya. Acara cicip mencicip melebar ke umbi-umbian dan makanan minim olah lainnya, seperti talas kukus, singkong urap, kecipir rebus, kolak labu, dan lain sebagainya. Alhamdulillah, kini mereka mulai akrab dan menyukainya sebagai penganan di sela makanan pokok. Modalnya hanyalah kepercayaan mereka bahwa makanan baru yang diperkenalkan ibunya adalah makanan yang sehat dan tak ada salahnya mereka mencoba.

Sungguh sedih, saat saya mengajak anak-anak berjalan-jalan ke perkampungan di Tanjungsari dan mendatangi beberapa warung kecil, ternyata jajanan anak yang dijual di situ bukan lagi makanan tradisional kayak pisang goreng, kue lapis, jalabria, atau kue apem. Produk yang mereka jual adalah snack buatan pabrik berkemasan yang siap beli dari pasar. Ke-khasan sebuah kampung yang identik dengan kekayaan sumber alam dan kuliner menjadi seolah lenyap. Masyarakat kampung kini hanya menjadi konsumen produk industri tanpa mengimbangi dirinya dengan juga memasarkan produk hasil rumah tangga khas daerah mereka. Semoga ini hanya terjadi di satu atau beberapa kampung dan tidak di semua kampung.

Lanjut ke masalah terapi memperkenalkan makanan minim olah dan makanan tradisional, saya berdoa, mudah-mudahan hal itu juga akan membuat anak-anak menjadi orang yang luwes. Di manapun mereka tinggal, janganlah sampai persoalan makanan menjadi sangat mengganggu. Jangan sampai mereka menjadi anak-anak yang hanya kenal kelezatan yang "direkayasa" manusia dengan bumbu dan aneka proses olah yang rumit. Mereka juga harus kenal kelezatan alami karya cipta Allah Yang Maha Besar, yang tersuguh gratis pada segala jenis bahan makanan hasil bumi.

Mudah-mudahan, dengan mengenal makanan tradisional anak-anak juga terhindar dari sikap mengkastakan makanan. Makanan orang biasa dan makanan orang luar biasa? Meski bagaimanapun kondisi perekonomian keluarga kami, jangan sampai mereka mencitrakan dirinya atau orang lain sebagai orang-orang yang hebat hanya karena mereka makan makanan modern, dan menilai seseorang jadi nggak keren kalau mereka lebih suka makan makanan 'kampung'.

Setiap orang tua punya cara pandang sendiri-sendiri tentang hal ini. Tentunya boleh tidak setuju :)

Senin, 03 Mei 2010

Review Buku: Anakku Tidak (Mau) Sekolah

Anakku Tidak (Mau) Sekolah,
Jangan Takut – Cobalah Home Schooling!


Penulis : Maria Magdalena
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 208 hlm.
Tahun terbit : 2010


Great!
Mungkin itu kata yang paling tepat untuk mengungkapkan secara singkat tentang buku ini. Setelah banyak buku tentang home schooling diterbitkan, baik yang ditulis oleh praktisi maupun pemerhati home schooling, bisa saya katakan, buku ini lebih transparan menggambarkan latar belakang dan praktik nyata sehari-hari seorang praktisi home-education/home schooling.

Meski setiap keluarga home-ed memiliki ciri khas yang berbeda-beda, namun apa yang digambarkan penulis dalam buku ini setidaknya akan menjadi contoh bagaimana realitas umum sebuah keluarga home-ed/schooler. Mereka, dengan segala kelebihan dan kekurangannya mencoba untuk memberikan yang terbaik untuk pendidikan anak-anaknya dengan cara yang sedikit berbeda dari kebanyakan orang.

Satu dari banyak hal menarik yang saya temukan pada buku ini adalah kejujuran penulis untuk mengungkapkan proses yang penulis jalani layaknya bayi dalam menempuh fase motoriknya. Mereka merayap, merangkak, dan terus beranjak mencapai kemajuan dengan banyak belajar dari kesalahan dan bersemangat untuk memperbaiki hal-hal yang kurang.

Inilah ungkapan yang sangat saya suka dari buku Mbak Maria Magdalena, “ Waktu itu saya belum memahami bahwa sebaiknya anak dipandang dari kompetensi dan keunikannya, bukan pada kemampuannya berkompetisi atau menyamakannya dengan teman sebayanya. Lagipula, lebih memandang kompetisi akan membuat kita terjebak pada ketidakpedulian akan kebahagiaan anak serta terjebak dalam pemikiran yang lebih mementingkan hasil daripada proses.” (hlm. 30-31)

Dengan sebuah kesadaran bahwa tak ada orang tua yang sempurna, dan demikian juga setiap anak punya kekurangan dibalik kelebihannya, penulis mencoba meyakinkan pembacanya, bahwa sesungguhnya tak perlu takut untuk mencoba meski kemudian salah, dan tak perlu patah semangat hanya karena belum berhasil. Maju terus! Dengan belajar semuanya akan berubah menjadi lebih baik.

Pengalaman penulis dalam belajar mengatur waktu antara mendampingi anak, bekerja (di rumah) untuk kebutuhan ekonomi, aktualisasi diri dengan berkarya dan bermasyarakat, serta berkomunitas, juga dapat menjadi inspirasi bagi para ibu yang berniat menjalankan home-education/home schooling. Jempol 2 buat buat Mbak Maria untuk upaya kerasnya.

O’ya, karena buku ini lebih banyak berbasis pengalaman daripada teori, pembaca juga bisa mengetahui langsung bagaimana pengaturan biaya dalam menjalankan home-education. Terlebih jika bergabung dengan komunitas praktisi home-ed, baik di dunia maya maupun support grup di dunia nyata, orang tua home-ed akan mendapatkan banyak informasi tentang sumber pembelajaran yang murah tapi bermutu. Tentunya, karena tak semua peminat home-ed memiliki dana banyak untuk membayar fasilitas dan kurikulum yang mahal-mahal.

Pada akhirnya, saya menyimpulkan buku ini sangat layak dibaca oleh peminat home-education/schooling untuk memperoleh gambaran (bagaimana memulai, seperti apa tingkat kesulitan, tingkat manfaat, dan kemudahan-kemudahan home-ed). Dan buku ini juga bagus dibaca oleh mereka yang sudah menjalankan home-ed untuk memperkaya inspirasi.

Jadi, cermati baik-baik cover bukunya. Hapalkan judulnya, dan ingat nama penulisnya. Anda tak tak rugi membeli buku ini. Happy hunting! ^_^

Senin, 26 April 2010

Belajar dari Sampah

Beberapa hari lalu, anak-anak saya ajak ikut pertemuan ibu-ibu di RW kami untuk belajar membuat kerajinan dari sampah anorganik. Ternyata, kegiatan itu menjadi ajang belajar yang menarik, khususnya buat Luqman. Sejak kami duduk di sana, dia terus mengamati sekeliling terutama balon plastik besar yang berisi gas dari instalasi bio gas sampah.

Pertanyaan pun mengalir, "Ma, apakah kalau plastik itu ditusuk beberapa kali di beberapa tempat, gasnya nggak akan meledak? Dari mana gas-nya datang?" dan pertanyaan lainnya, tak terkecuali rak piring di sana yang nampak berubah fungsi menjadi rak sepatu.

Saat melihat kumpulan bahan baku kerajinan berserak di tengah-tengah ruang pertemuan Luqman pun terus berbisik, "Mama, Ade pengen ikutan juga bikin itu. Fotoin dong tas sama kotak tissue-nya, semuanya." Kalau saja, para ibu di sana akan nyaman-nyaman saja melihat anak kecil ikut nimbrung, mungkin saya ijinkan Luqman ikut bergabung, tapi khawatir orang nggak nyaman akhirnya saya janji mengajaknya berkreasi di rumah.

Besoknya, kami menghamparkan tikar di teras. Tak disangka, sambil membuat pola-pola, bisa juga disisipkan stimulasi matematis: Penambahan, perkalian, pengukuran. Hasilnya, sekarang ada satu gerobak sayur dari kertas koran jadi hiasan meja :D

Belajar, bisa di mana saja dan lewat apa saja. Mungkin model belajar seperti ini belum tentu cocok dengan keluarga lainnya, namun saya justru semakin menikmati pembelajaran terintegrasi seperti ini. Bersyukur kami bisa menjalaninya :)

Kamis, 18 Maret 2010

Anak Usia Dini dan Komputer


Belajar menggunakan komputer di usia dini. Beberapa orang tua mungkin kurang setuju dan justru menundanya. Beberapa alasan penundaan adalah karena takut anak ketagihan dan jadi kurang banyak bergerak.

Tapi bagi keluarga kami, komputer justru sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan belajar. Luqman (5,5 tahun) yang senang menggambar terakomodasi dengan program corel draw. Hanya dengan mengajari sedikit pengetahuan teknis, ia terus berkreasi sendiri. Hobinya adalah menggambar aneka dinosaurus. Adapun kakaknya, Azkia (7,5) tahun, menggunakan komputer untuk menuliskan gagasan, cerita-cerita, atau apapun yang ingin ditulisnya. Mereka berdua punya folder sendiri-sendiri.

Selain itu, komputer juga jadi sarana menonton CD/DVD film-film kesukaan mereka atau sesekali bermain game edukatif dari internet. Kami sengaja tidak menyediakan TV khusus di rumah. Kalaupun mau sesekali menonton, kami hanya memiliki TV tuner yang tersambung ke monitor komputer.

Tentang rasa khawatir mereka ketagihan, sampai saat ini kami tidak melihat gejala itu. Bergerak dan beraktivitas di luar tetap jauh lebih banyak durasinya dibandingkan berada di depan komputer.

Satu hal yang menarik, mereka belajar tanpa tutorial khusus. Mereka belajar hanya dengan banyak melihat kami (orang tuanya) bekerja. Tak terasa, kemampuan menggunakan komputer mereka jauh sekali dibandingkan saya pada saat sudah menginjak semester 8 kuliah. Saya kira, anak-anak sekarang memang diuntungkan dengan teknologi yang semakin mudah dan canggih, dan hampir semua anak sangat cepat belajar dengan bantuan teknologi.

Tentang Saya

Saya, ibu dua anak. Anak-anak saya tidak bersekolah formal. Blog ini berisi pemikiran, hasil belajar, dan beberapa pengalaman.

Jika Anda menggunakan tulisan di blog ini sebagai referensi: (1) HARAP TIDAK ASAL copy paste, (2) Selalu mencantumkan link lengkap tulisan. Dengan begitu Anda telah berperan aktif dalam menjaga dan menghargai hak intelektual seseorang.