Artikel lain

Jumat, 06 September 2013

Belajar Sepanjang Hayat

Punya laptop baru setahun lalu adalah momentum untuk mengganti sistem operasi komputer dengan OS opensource secara total. Meski tetap masih kagok menggunakannya, namun lama-lama terbiasa.

Bertemanlah saya dan anak-anak dengan GIMP sebagai pengolah foto, inkscape untuk bikin gambar vektor, libre office word untuk pengetikan dokumen, libre office calc untuk perhitungan keuangan, scribus untuk membuat layout, pitivi untuk mengedit video, GeoGebra untuk anak-anak bermain geografi, stellarium untuk anak-anak belajar astronomi, tuxmath untuk latihan matematika, dll.

Setiap kali mentok dalam menggunakan "tools" dari program-program tersebut, google menjadi tempat bertanya dan hampir selalu pasti saya mendapatkan jawabannya. Lama kelamaan, satu demi satu rahasia setiap "tools", meski belum semua, terungkap. Dan itu berarti, satu demi satu ilmu datang pada saya.

Pada akhirnya saya menyadari sekarang, untuk melakukan perubahan (apapun bentuknya) memang selalu harus melewati 3 tahapan: 1. Tujuan dan niat 2. Aksi 3. Konsisten, ketiganya akan membawa kita pada "ghirah" (semangat) untuk mencari solusi dan Allah tidak akan menyia-nyiakan usaha hamba-hambaNya. Ilmu itu akan datang ketika kita memang mencarinya dan haus akan itu.

Terima kasih kepada Mbak Maria Magdalena Husain yang telah memperkenalkan OS opensource kepada saya dengan semangat "komporter" :D dan bahkan mengirimi saya CD software mandriva sebagai modal awal bagi saya memulai penjelajahan di dunia opensource. Tengkyu, tengkyu, tengkyu ^_^.

Setiap orang yang telah mengenalkan kepada saya sebuah ilmu, mereka adalah guru. Mereka mungkin hanya memberikan benih yang membuatnya bertunas kecil di benak saya, namun lewat benih itulah saya punya bahan baku untuk mengembangkannya.

Hakikatnya, Dialah yang mengantarkan ilmu-ilmu itu sehingga kita memahaminya. Namun salah satu bentuk syukur kepada-Nya adalah dengan berterima kasih terhadap orang-orang yang telah mengajarkannya.

Jumat, 23 Agustus 2013

Fokus

Akhir-akhir ini saya memang sedang tertarik memperdalam makna fokus. Harus saya akui, saya masih belum bisa fokus dalam mengerjakan banyak rencana, terutama berkaitan dengan pengelolaan belajar anak-anak saya. Sementara itu, fokus adalah salah satu bentuk sunatullah yang harus diperhatikan untuk mencapai keberhasilan. Kalau konsentrasi kita terpecah, semudah apapun aktivitas yang kita kerjakan, biasanya akan berakhir tidak optimal.

Satu obrolan menarik membuat mata saya tambah menyala, menatap si fokus dengan penuh takjub. Kita tahu, sinar matahari itu mengandung energi yang luara biasa besar. Andai bukan karena perlindungan Allah, apapun bisa terbakar. Akan tetapi, mengapa energi sebesar itu tidak membuat makhluk bumi hangus, namun justru memperoleh kehangatan secara merata. Jawabannya, karena sinar matahari itu menyebar dan tidak difokuskan ke satu titik. Hal itu akan berbeda, ketika kita mengambil sebuah loop, letakkan kertas di bawahnya, lalu fokuskan sinar matahari persis menembus loop. Tak lama kemudian, kertas pun akan terbakar. Itulah efek fokus.

Dalam sebuah peribahasa Sunda saya pun pernah mendengar, “Cikaracak ninggang batu, laun-laun jadi legok.” artinya kurang lebih, “Tetesan air menimpa batu, lama-lama menjadi cekung.” Itulah efek fokus.

Dalam dunia usaha, fokus adalah kata yang mutlak. Ia akan senantiasa dibincangkan karena merupakan salah satu perangkat mental yang sangat penting dan bahkan utama. Saya membaca salah satu artikel terkait, dan menemukan kesimpulan, "Seorang enterpreneur sukses bukanlah mereka yang berpindah-pindah haluan atau mengubah-ubah jenis produk, melainkan mereka yang tekun mengelola produk yang dipilihnya dengan tingkat fokus yang besar, tanpa mudah tergiur sesuatu yang di luar jangkauannya."

Dan kalau kita mau jujur, semua bidang pekerjaan menuntut pelakunya untuk fokus jika mengharapkan hasil maksimal. Mahasiswa saat mengerjakan skripsinya kudu punya satu topik yang difokus dan menggeluti topik itu hingga beres, dokter bedah saat melakukan operasi mesti fokus dengan apa yang sedang dibedahnya, demikian juga saat seorang ibu akan melahirkan bayinya, dia harus fokus untuk mengeluarkan bayi itu kendati sakit menderanya.

Kalau semua aktivitas masih berserak-serak tak karuan, sampai bingung mau mulai yang mana dulu, tidak ada salahnya untuk memeriksa kembali semuanyanya bermula dari visi. Kadang-kadang, dari sekian banyak aktivitas yang kita kerjakan, sebenarnya sebagiannya bisa ditangguhkan, dialihkan, atau malah dihapus dari daftar pekerjaan. Semuanya merupakan upaya agar kita bisa fokus pada sesuatu yang benar-benar penting dalam pandangan kita masing-masing.

Tetapi untuk memutuskan fokus kadang kita harus mengorbankan sesuatu, penghasilan, kesenangan, atau apapun yang selama ini kita anggap berharga. Hal itu nyaris tak akan bisa kita hindari dan kita harus siap menerima konsekuensinya. Namun jika niat kita tulus, saya selalu yakin, segala yang tak menentu suatu saat akan menemukan keseimbangannya kembali.

Undangan dari Sumenep

Meski ada yang bilang, momentum tidak terduga itu adalah kebetulan, namun ketika direnungkan lagi, tidaklah ada kebetulan di dunia ini. Semua momentum yang kita lewati adalah lahan garapan, dalam rangka mengisi detik-detik kehidupan. Semua ada dalam rentang pengetahuan dan rencana Allah Yang Maha Mengetahui. Hanya saja, kita, dengan pengetahuan yang terbatas dibandingkan ilmu Allah, menganggapnya sebagai sebuah kebetulan.

Begitulah, sayapun mengalami peristiwa semacam itu di pertengahan bulan Mei hingga Minggu pertama bulan Juni 2012. Secara tidak terduga, seseorang dari kabupaten Sumenep, Madura, yang membeli ebook saya, “Cara Kreatif Mengajar Anak Balita Membaca"“, mengundang saya datang ke sekolahnya untuk sharing seputar pendidikan anak usia dini. Entah apa yang mendorong beliau ‘berani’ mengundang saya yang jelas-jelas bukanlah tokoh penting dunia PAUD. Beliau siap bertanggung jawab dengan akomodasi yang pastinya tidak sedikit dan seolah siap juga dengan kemampuan saya berbagi pengetahuan, padahal beliau tidak mengenal saya.

Selama ini, berulang kali saya meyakinkan diri bahwa saya tidak cocok berbagi pengetahuan dengan model ceramah, menjadi pembicara. Saya bukan tipe orang yang kuat lama-lama “berceramah”. Suara saya pasti ‘kabur’ dalam hitungan lebih dari 30 menit. Itulah sebabnya saya lebih suka menulis daripada ‘ceramah’. Tapi, suara telepon di seberang sana, seolah memiliki kekuatan’ magis’. Beliau sangat serius dan antusias. Setelah dipending selama seminggu, akhirnya dengan izin suami, saya memutuskan untuk berangkat.

Itulah awal perjalanan yang ingin saya ceritakan, mungkin dalam beberapa seri tulisan, di mana akhirnya saya temukan hal-hal luar biasa. Sesuatu yang seolah merupakan bayangan nyata dari beberapa kalimat menarik dalam sebuah buku inspiratif yang pernah saya baca, “Stones into Schools” karya Greg Mortenson. Kita bisa berbuat sesuatu untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik dengan tekad dan keberanian untuk menghadapi risikonya.

Ilmu dan Amal

Belajar dari risalah ilahi akan mensucikan tujuan, belajar dari pengalaman manusia memperkaya wawasan; sedangkan belajar dari pengalaman sendiri mengukuhkan keyakinan, seperti mengakarnya serabut pencari makanan pada tetumbuhan. Sembari aktif mencari sumber makanannya, akar menguatkan cengkeraman, sehingga batang tanaman semakin kokoh berdiri.

Dari manapun sumber pelajaran berasal, dengan kesadaran bahwa ilmu semata milik Allah dan bukan berasal dari diri kita, maka mudah-mudahan kita senantiasa berendah hati dan tidak menjadikan ilmu yang dimiliki sebagai penghalang untuk menjadikan kita mulia. Karena kemuliaan seorang berilmu ternyata bukan pada banyaknya ilmu yang dikuasainya, melainkan pada pengamalannya dan kerendahan hatinya.

Sungguh indah apa yang diungkapkan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berikut ini: ”Janganlah sekali-kali engkau tidak mengamalkan apa yang telah engkau ketahui. Sebab setiap orang yang melihat akan ditanya tentang perbuatannya, ucapannya, dan kehendaknya.”

“Bagian terpenting dari ilmu adalah kelemahlembutan, sedangkan cacatnya adalah penyimpangan.”

Rabu, 21 Agustus 2013

Mengentaskan Kemiskinan Kosa Kata

Sering saya bertemu beberapa anak SD, SMP, atau SMA, di desa atau di kota, saat mereka berkumpul, kata-kata yang mereka lontarkan nyaris seragam. Nama hewan dan umpatan meluncur deras berulang-ulang, seolah tak ada kata-kata lain. Dulu, saya hanya sampai pada kesimpulan, “saya tidak menyukainya”, tapi kini saya mulai prihatin dan penasaran mencari penyebabnya. “Why?”

Suatu hari saya obrolkan fenomena itu dengan seorang ibu. Mengejutkan, ia bilang, “Anak saya juga begitu, Bu. Tapi kan bukan saya yang ngajarin. Memang susah kalau sudah terpengaruh teman. Saya pengennya dia seneng baca, tapi susah sekali.” Saya manggut-manggut dan merasa salut juga pada si ibu. Dia terlihat berusaha keras agar anaknya senang membaca, meski ia tahu sudah tidak mudah lagi untuk menanamkan kebiasaan itu. Usia anaknya sudah beranjak remaja dan “habit” tidak suka baca sudah terlanjur terbentuk.

Usai obrolan pendek itu, saya “kok” terhubung dengan catatan Charlotte Mason (CM) tentang “Menyuplai ide-ide di benak anak lewat bacaan bermutu.” CM percaya, lewat buku yang menghadirkan ide-ide yang luhur, anak-anak dan orang dewasa sekalipun akan menyerap kosa kata yang beragam dan berharga, sehingga mereka akan mengeluarkan buah pikiran dan aksi yang berguna bagi masyarakatnya.

Dan sepertinya, saya melihat benang merah antara gagasan CM dengan masalah yang saya saksikan nyaris setiap hari itu. Dengan bermodalkan kosa kata yang kaya mudah-mudahan anak-anak akan berkomunikasi dengan sesama mereka dengan bahasa yang lebih baik.

Jadi, saya tidak ragu lagi, memang solusinya adalah meluaskan akses bagi masyarakat dari berbagai lapisan ekonomi untuk membaca buku-buku bermutu. Tidak mudah, itu jelas, tapi jika di setiap penjuru kampung atau komplek atau kota akses terhadap buku dibuat mudah, maka minimal 1% saja ada yang berubah menjadi pembaca buku setiap bulannya, maka jumlah anak/remaja yang “miskin” kata-kata akan semakin berkurang. Insya Allah.

Kita bisa lho mengentaskan kemisikinan kosa kata ini bersama-sama, minimal di lingkup kecil kita masing-masing. Caranya tak selalu harus dengan membuka Taman Bacaan. Jika punya buku berlebih di rumah, bukankah kita bisa meminjamkannya kepada saudara atau anak-anak tetangga yang tidak memiliki akses terhadap bahan bacaan. Meski nampak kecil, tapi insya Allah akan berpengaruh besar secara kolektif dalam jangka panjang.

Tentang Saya

Saya, ibu dua anak. Anak-anak saya tidak bersekolah formal. Blog ini berisi pemikiran, hasil belajar, dan beberapa pengalaman.

Jika Anda menggunakan tulisan di blog ini sebagai referensi: (1) HARAP TIDAK ASAL copy paste, (2) Selalu mencantumkan link lengkap tulisan. Dengan begitu Anda telah berperan aktif dalam menjaga dan menghargai hak intelektual seseorang.