Artikel lain

Senin, 28 November 2011

Belajar Fokus

Begitu banyak bahan belajar bertebaran di internet, link-link bagus yang canggih-canggih menggoda untuk dicoba, tapi dari sekian banyak sumber yang kita kumpulkan nyatanya hanya beberapa persen saja yang benar-benar bisa kita tekuni dalam waktu bersamaan. Ketika kita paksakan diri mempelajari semuanya atau menggunakan semuanya, muncul kebiasaan belajar yang tidak tuntas, dan otomatis juga tidak mendalam.

Ketika anak-anak dianggap cukup siap untuk menekuni bidang pelajaran yang mereka minati secara terstruktur, saya pikir itulah saat yang tepat bagi saya untuk menyusun prioritas jadwal. Tidak menggarap semua hal dalam rentang waktu bersamaan, tapi saya mendorong anak menuntaskan pelajaran-pelajaran yang dianggap utama sampai pelajaran itu menginternal dalam diri mereka. Saya melihat hasil yang jauh lebih baik saat menerapakan model tersebut daripada mencekoki anak-anak terlalu banyak topik tapi hanya sekilas-sekilas.

Fokus, menjadi target utama saya menerapkan gaya ini. Saya, dengan background pekerjaan yang berbasis rumah, yang sebagian besar porsi supervisi adalah diri sendiri merasakan pentingnya sikap tersebut. Pekerjaan saya memang fleksibel, namun fleksibilitas juga bisa menjebak kita menjadi tidak biasa berdisiplin. Hal itu tentu saja bisa menggandakan potensi gagal menjadi lebih besar dalam menghasilkan sesuatu secara maksimal.

Tidak ada kebiasaan baik tanpa latihan. Semakin anak-anak beranjak besar saya yakin kebiasaan-kebiasaan yang nanti mereka butuhkan harus dilatih sedari sekarang. Oleh karena itu, saya pun berusaha lebih keras untuk mendisiplinkan diri dalam proses belajar ini. Saya berharap anak-anak menangkap spirit yang saya rasakan dan mengadaptasikannya secara alami ke dalam diri mereka. Insya Allah.


Selasa, 22 November 2011

Perjalanan di Bulan Ramadhan 4

Lelahnya perjalanan dari Bukittinggi-Singkil sedikit sirna ketika mengetahui bahwa sisa perjalanan tinggal 4 jam lagi. Dan, kami betul-betul harus melewati jalanan yang berbukit-bukit. Turunnya turun sekali, naiknya juga tak tanggung-tanggung mendaki. Hampir sama dengan medan di hutan Tapanuli, namun bedanya jalanan di Aceh mulus sekali, hampir tak kami temui jalan berlubang keculi di sedikit titik.

Anak-anak tertidur sampai kakek berseru, "Tuuh, laut sudah kelihatan!" Luqman terbangun dan mulai memandang ke depan. Biru samar-samar dari kejauhan. Makin lama makin jelas. Namun jalanan yang berkelok-kelok membuat sesekali pemandangan laut tertutup. Kami terus menuruni lembah hingga akhirnya kami benar-benar menyusuri jalanan di lereng bukit yang jaraknya hanya ratusan meter dari laut.

Anak-anak seperti kehilangan rasa lelahnya. Makin terus berjalan, kami pun berjumpa dengan semakin banyak pemandangan khas laut yang begitu memesona. Barisan pohon kelapa berjejer di tepi pantai, ikan-ikan yang dijemur, perkampungan nelayan, membuat Azkia memekik kecil, "Rasanya seperti mimpi!". Anak 'gunung' yang baru melihat laut, begitulah ^_^.

Jalan berkelok ke bawah makin mendekati tepi pantai. Saat itulah saya menyadari, mengapa papa mertua saya begitu bersikeras mengajak kami pergi ke kampung halamannya, "Setidaknya sekali seumur hidup", begitu beliau berkata. Ternyata, kampung tempat beliau menghabiskan separuh masa kecilnya memang luar biasa. Kami beruntung bisa berkunjung ke sana.

Tiba di rumah, di hadapan membentang barisan kelapa menjulang tinggi, dan ujung pandangan benar-benar hamparan laut. Tinggal menyeberang jalan raya, 50 meter setelahnya kami sudah bisa merendam kaki di pantai, mencari cangkang siput, kerang, dan tentu saja pasir putih dan pecahan batu karang yang terpahat secara alami.

Lima hari kami di Aceh, dan sungguh tak akan terlupakan. Azkia dan Luqman selalu ingin balik lagi ke sana suatu hari nanti. Berenang di laut, bermain ombak, membuat istana pasir, merasakan desau angin pantai, dan pengalaman melihat orang menangkap ikan

dengan bilah bambu, dan badai yang menjatuhkan buah-buah kelapa kering,tak akan bisa dilakukan di rumah kami yang ada di perbukitan. Jadi, meski kesan tentang Aceh selama ini lekat dengan tsunami dan getaran bumi, buat Azkia dan Luqman Aceh adalah tempat terindah yang pernah mereka datangi.

Senin, 21 November 2011

Perjalanan di Bulan Ramadhan 3

Memasuki wilayah Tapanuli, terlebih Tapanuli Utara, medan perjalanan mulai berat. Jalannya berlubang-lubang dan berundak-undak naik-turun. Turunannya curam, demikian juga tanjakannya 'patah' sekali. Pada beberapa ruas, malah terasa cukup mengkhawatirkan. Selain jalannya berlubang dalam, di kiri-kanan terbentang jurang dangkal yang dipadati pohon kelapa sawit dan rawa-rawa yang entah isinya apa. Yang jelas, di sepanjang jalanan di Tapanuli Utara babi hutan wara-wiri bebas bahkan di tengah-tengah manusia. Luar biasa!

Dan peristiwa yang mungkin sedikit sulit dilupakan adalah ketika ban mobil kami slip di tengah-tengah tanjakan yang benar-benar patah (kemiringan nyaris 30 derajat). Saat mobil kami melaju dengan sekuat tenaga untuk mencapai puncak jalan, serombongan mobil dari arah berlawanan juga sedang menuju jalanan yang sama. Jalan itu luas, namun yang masih tersisa aspal keras hanya bagian tengah. Para pengemudi menghindari bahu kiri ataupun kanan jalan karena di bagian itu aspal sudah tergerus air, dan yang tersisa tinggal tanah lempung yang becek di saat hujan. Mobil kami yang sedang berkonsentrasi naik akhirnya terpaksa mengambil jalur kiri supaya tidak beradu dengan mobil dari atas. Akibatnya, ban slip dan perjalanan terpaksa harus tertunda di situ. Kami semua turun. Ibu-ibu dan anak-anak berjalan ke atas sambil menunggu ban mobil berhasil keluar dari kubangan tanah liat itu. Kami berada di hutan Sumatera Utara.

Beruntung datang bantuan dari pemiliki kendaraan yang berpapasan, namun mobil tak juga berhasil diangkat apalagi di dorong. Para penolong pun menyerah dan mereka terpaksa melajutkan perjalanan karena dikejar waktu. Atas inisiatif kakek, ibu-ibu dan anak-anak akhirnya ikut mobil penolong yang kebetulan kosong karena akan menjemput penumpang di Meulaboh. Tak dinyana, ternyata kami telah jauh meninggalkan bapak-bapak, termasuk sopir di tengah tanjakan. Kami pun sudah meninggalkan perbatasan Sumatera Utara dan tiba di tanah rencong. Rasanya seperti mimpi ^_^.

Luqman nampak sangat kelelahan dan terpaksa harus turun dari mobil tumpangan itu. Kami berhenti di sebuah Mesjid sambil menunggu mobil kami datang menjemput. Nyaris merasa, kami tak akan pernah sampai di tujuan karena kelelahan. Tapi, dengan niat menyambungkan silaturahim dengan keluarga besar kakek di Aceh, kami menjaga semangat. Alhamdulillah semua bisa kami lewati.

Tak lama kemudian, mobil kami datang dengan belepotan tanah. Mobil berhasil dibebaskan dari kubangan dengan bantuan 6 orang pengangkut kayu yang kebetulan sedang lewat dengan bayaran cukup mahal (jika diukur dengan kebiasaan orang-orang di tanah Sunda), tapi mungkin tak seberapa jika dibandingkan dengan waktu dan keselamatan kami semua.

Alhamdulillah kami berkumpul lagi. Setelah istirahat sebentar di kota Singkil, kami menuju tahap terakhir perjalanan menuju tujuan. Menurut kakek, lamanya kurang leih 4 jam dari kota Singkil tersebut. Kami pun bersiap. Saat itulah kami disuguhi pemandangan yang cukup membuat nelangsa. Hutan Aceh itu dulu nampaknya luas sekali. Bentangannya seujung pandangan. Sayang, pemandangan yang kami lihat waktu itu, hutan alami ternyata sudah dirusak dengan 'kasar'. Sisa-sisa pohon yang batang bawahnya di bakar bergelimpangan tak menentu. Sebagian besar lahan di sepanjang tepian jalan sudah ditanami kelapa sawit. Dalam hati saya bergumam, "Apa mungkin, ini juga salah satu penyebab bumi di Aceh tak lagi seimbang? Alamnya memang telah dirusak dan akibatnya bumi mencari keseimbangannya sendiri dengan senantiasa bergerak dan berguncang. Wallahualam".

BERSAMBUNG


Tentang Saya

Saya, ibu dua anak. Anak-anak saya tidak bersekolah formal. Blog ini berisi pemikiran, hasil belajar, dan beberapa pengalaman.

Jika Anda menggunakan tulisan di blog ini sebagai referensi: (1) HARAP TIDAK ASAL copy paste, (2) Selalu mencantumkan link lengkap tulisan. Dengan begitu Anda telah berperan aktif dalam menjaga dan menghargai hak intelektual seseorang.