Artikel lain

Kamis, 24 September 2009

Ketika Anak-Anak Ingin Tahu Hal-Hal Ghaib

Rasa ingin tahu anak-anak terhadap hal-hal yang berbau metafisik akhir-akhir ini meningkat. Mereka bertanya tentang surga, tentang azab, tentang malaikat, tentang nabi, tentang iblis, tentang kiamat dan hakikat kematian. Buku-buku dengan tema agama sekarang jadi lebih dominan dibaca anak-anak. Pertanyaan-pertanyaan pelik pun mulai bermunculan: Apakah Allah itu suka berpindah-pindah? Di mana Allah tinggal? Apakah kita bisa bertemu dengan Nabi Muhammad? dll

Sambil menyimak dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka dalam hati saya terkejut. Tapi kemudian hal itu menyadarkan saya dan suami bahwa sepertinya memang telah tiba saatnya untuk mulai memperkenalkan Tuhan dan segala fenomena kehidupan kepada anak-anak. Mereka nampaknya telah siap menyerap pengetahuan tentang itu untuk menjadi bekal mereka mengarungi hidup.

Suatu hari Azkia menangis dan berkata, "Kakak nggak mau mati!". Saya terkejut mendengarnya. Setelah tangisnya reda saya bertanya kenapa dia berkata seperti itu. Rupanya Azkia membaca sebuah buku yang menceritakan pengalaman anak-anak yang tersesat ke "alam lain" saat bermain ke hutan. Di bagian akhir digambarkan tentang kembalinya anak-anak itu ke dunia nyata dengan menenggelamkan diri di sebuh danau di "negeri ghaib".

Saat itulah kami menjelaskan tentang apa itu kematian dan kenapa kita tak perlu takut dengan kematian. Sesungguhnya ketika orang itu mati, maka ia tidaklah mati, melainkan hidup kembali, hanya alamnya saja yang berbeda. Ketika orang mati, sebenarnya ia sedang menemui Allah. Di alam akhirat itulah ada tempat bernama Surga, yang disediakan untuk orang-orang yang baik. Karena itulah kita harus menjadi orang yang patuh kepada Allah, jadi orang yang baik.

Luqman bertanya, "Tapi di Surga kan nggak ada mainan! Ada balok-balok nggak? Ada ayunan nggak?"
Papanya berkata, "Wah, De... di Surga malah ada sungai susu!" Anak-anak tertawa terbahak-bahak, "Masak sih ada sungai susu!".

Waktu saya bilang bahwa setelah orang itu mati dia hidup lagi, Luqman bertanya, "Mama, bagaimana kalau setelah hidup lagi manusia mati lagi. Hayooo gimana?" He he he... saya ketawa dibuatnya.

Dialog pun menjadi panjang. Anak-anak terlihat antusias mendengar cerita tentang alam akhirat dan kaitannya dengan dunia ini.

Menjelang usai perbincangan Azkia lalu bertanya, "Apakah kita akan bertemu lagi setelah mati?" Kami bilang ya Insya Allah. Kalau kita jadi orang-orang yang sholeh, maka semua orang sholeh akan dipertemukan kembali dengan keluarganya.

Azkia terlihat berpikir, lalu bertanya lagi, "Apakah kalau kita dikubur di tempat yang berbeda, kita tetap bisa berkumpul lagi?" ya Insya Allah... saya bilang. Azkia tersenyum setelah itu dan memeluk saya.

Pelajaran agama mungkin menjemukan jika disajikan dalam sebuah buku pelajaran terstruktur yang harus dihapal. Tapi saya menemukan anak-anak begitu antusias mempelajari semua itu justru lewat dialog-dialog spontan di tempat tidur.

Rabu, 23 September 2009

Mencari Seorang Guru

Bayi yang sehat, gemuk, dan cantik lahir pada bulan Oktober 2002. Di antara kegembiraan karena kehadiran putri pertamanya, ibu si bayi merasa masalah lain telah datang. Mau diapakan bayinya selain diberi ASI, dimandikan, dan diganti popoknya setiap hari? Sepertinya, meski ia seorang sarjana, demikian kosong pengetahuan tentang bagaimana mengisi hari-hari bayinya dengan hal-hal berkualitas.

Saat usia bayi mencapai kurang lebih 6 bulan, desakan untuk mencari tahu banyak hal tentang pengasuhan dan pendidikan bayi semakin kuat. Diperoleh-lah kabar tentang seorang penulis buku yang biasa mengisi siaran di sebuah radio swasta. Penulis buku itu adalah seorang ibu yang kabarnya sangat kompeten dalam hal mendidik anak. Nomor teleponnya pun didapat dan sang ibu memberanikan diri untuk menghubunginya.

Suara yang ramah pun terdengar, dan obrolan ditelepon itu pun berlanjut dengan janji
bertemu. Si penulis mengusulkan untuk bertemu di masjid sebuah kampus supaya sang ibu tak perlu jauh-jauh ke rumahnya yang ternyata tak terjangkau angkot. Harus naik ojek mendaki untuk mencapai rumahnya.

Hari bertemu pun tiba, sang ibu begitu bersemangat, bahkan berusaha untuk datang lebih awal. Setibanya di pelataran masjid yang dijanjikan, sang ibu mengedarkan pandangannya ke sekeliling masjid kalau-kalau 'guru' yang hendak ditemuinya sudah ada di sana. Namun, 30 menit pun berlalu, dan tak ada tanda-tanda sama sekali kalau di sekitar masjid ada seseorang yang sedang menunggu untuk bertemu.

Langkah terakhir pun diambil. Berbekal nomor HP si penulis, sang ibu menuju wartel terdekat. Telepon akhirnya terhubung, dan dengan penuh penyesalan, terdengar suara si penulis, "Mbak, maafkan saya... Saya kehilangan nomor telepon rumah Mbak. Tadi pagi tiba-tiba saya dipanggil datang ke studio karena ada acara mendadak. Saya mau kabari tapi saya benar-benar kehilangan nomor kontak. Kita mungkin bisa janjian lain kali yaa... Sekali lagi mohon maaf."

Dengan lesu dan kecewa, sang ibu pun mengiyakan. Mau bagaimana lagi. Dan ia pun tahu, untuk membuat janji bertemu lagi adalah hal yang tidak mudah. Kemungkinan akan terjadi lagi hal seperti ini sangat besar, karena sepertinya si penulis adalah orang yang sibuk.

Sejak saat itu, di tengah kekecewaannya yang sangat besar, sang ibu pun akhirnya terlecut untuk belajar lewat media yang lain. Ia memutuskan untuk berburu banyak referensi bacaan, buku, majalah, ikut seminar-seminar yang berbicara tentang dunia parenting. Ia banyak menyempatkan waktu untuk membaca buku-buku sulit dan berdiskusi dengan suaminya. Ia sadar, untuk mendapatkan pengetahuan tak bisa mengandalkan orang lain. Ia sendirilah yang harus mencari tahu, belajar sendiri. Bukankah memang dunia mendidik anak-anak, ilmu menjadi orang tua tidaklah ada sekolahnya? Kita harus belajar secara autodidak.

Tanpa sadar, pengalaman sang ibu mencari seorang guru membuatnya bertemu dengan banyak pengetahuan baru setelahnya. Wawasan-wawasan yang selama ini terpendam akhirnya ditemukan. Guru' ternyata tak selalu harus berwujud manusia. Karya-karya tulis yang dibuat banyak guru di dunia ini justru begitu mudah diakses dengan kehadiran buku. Siapapun bisa menjadi muridnya asalkan dia mau membaca. Ayo membaca!

Sabtu, 12 September 2009

Tokoh Idola Anak-Anak

Saat berumur 3 tahun anak saya Luqman (sekarang 5 tahun) sempat mengidolakan N**uto, karena anak tetangga kami yang sebaya dengannya sering memakai atribut-atribut sang hero itu. Meskipun tidak pernah menonton filmnya di rumah, rupanya sempat sesekali ia ikut menonton saat main ke rumah temannya itu. Akibatnya, ia jadi suka main tembak-tembakan walaupun pura-pura. Keluar pula kata-kata serampangan, "Bodoh! baong!" dan lain sebagainya.

Karena khawatir tokoh itu terus hidup di kepalanya, saya stop acara kunjungan ke rumah tetangga buat anak saya. Ia hanya boleh main di halaman dan tidak boleh main di dalam rumah temannya. Saya coba ganti sosok tokoh idola buat anak saya dengan memberikan jadwal nonton film animasi lain, waktu itu ada Barrenstein Bear di Space Toon. Alhamdulillah berhasil. Ceritanya sangat bagus, tapi sayang kemudian berhenti penayangannya.

Waktupun berlalu, dan sepertinya tokoh idola itu memang selalu dicari oleh anak saya. Entah mengapa, ia pun jadi nge-fans dengan spiderman. Sampai-sampai ia ingin dibelikan baju bergambar sang hero yang satu ini. Bajunya langsung cepat lecek, karena hampir selang sehari langsung dipakai, kecuali kalau dicuci. Secara reflek dia akan bergerak bak pahlawan yang menyerang musuhnya. Tali dan benang terikat ke sana kemari, dari kaki meja ke kursi, dari rak buku ke lemari. Semua menyerupai jaring laba-laba. Saya sering jatuh kalau tanpa sengaja kaki tersandung tali-tali itu.

Spiderman cukup awet mempengaruhi pikiran Luqman hingga beberapa lama, hingga muncul tokoh baru yang ia lihat dari stiker-stiker pemberian seorang teman untuk anak-anak saya. Lelaki gagah, bersayap kain panjang yang menjuntai di punggungnya. Akibat mengidoalakan tokoh itu, kerudung ibunya pun jadi sasaran. Dengan mengikatkan dua ujung kerudung di lehernya, anak saya sudah berubah jadi seorang superman kecil yang berlari dan kadang melompat dari atas meja.

Namun akhir-akhir ini, sejak saya belikan serial kisah nabi-nabi sepertinya tokoh idola anak saya sudah berubah sama sekali. Dia tidak mau lagi disebut spiderman ataupun superman, tak lagi membuat sayap tiruan di punggungnya, ataupun menjalin tali temali di kaki meja. Tokoh panutannya sekarang adalah sosok anak lelaki yang pemberani yang ada dalam kisah nabi dan sahabat.

Tokoh pertama adalah Nabi Daud a.s. Buku berjudul Daud Sang Penakluk, mengisahkan perlawanan Bani Israil yang dipimpin Raja Thalut terhadap kesewenang-wenangan Jalut. Saat itulah hadir Daud kecil menunjukkan keberaniannya melawan Jalut yang bertubuh besar dan kuat, hingga akhirnya Jalut kalah di tangan Daud. Buku ini minta dibacakan hingga berulang-ulang, dan bahkan Luqman berusaha keras membaca sendiri, padahal sebelumnya agak malas melancarkan bacaannya.

Dan tokoh berikutnya yang kini sedang digandrungi Luqman adalah Ali bin Abi Thalib. Berbagai kisah tentang Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kelihatannya banyak mempengaruhi dia. Memang, awal kekaguman Luqman pada tokoh idolanya selalu dimulai dengan kisah heroik. Dalam film Muhammad The Last Prophet yang ditontonnya berulang-ulang, digambarkan tentang Ali kecil yang tidur di ranjang Nabi untuk mengelabui para pemuka Quraisy. Sungguh itu merupakan keberanian yang sangat menakjubkan di mata anak saya. Apalagi sewaktu membaca kisah perobohan benteng khaibar oleh Ali bin Abi Thalib dengan pedang Zulfikar pemberian Nabi, sepertinya, kekaguman itu semakin hari semakin terpatri.

Dan sekarang Luqman jadi lebih rajin ikut shalat berjamaah bareng papanya dan juga kakaknya, padahal biasanya dia bolong-bolong. Seringnya absen untuk ikut sholat. Saat kami tanya kenapa dia jadi rajin sholat, Luqman pun menjawab, "Karena Ade ingin seperti Ali bin Abi Thalib. Ali kan anak yang rajin sholat!".

Rupanya karena kami sering bercerita bahwa Ali bin Abi Thalib sudah ikut sholat bersama Nabi sejak ia masih kecil, anak saya jadi terus memikirkannya dan ingin menirunya juga. Subhanallah! Betapa hebat pengaruh seorang tokoh idola yang hidup di pikiran anak-anak kita.

Walaupun mungkin agak terlambat, karena harus menunggu hingga anak lelaki saya berumur 5 tahun, saya baru mengerti dan menyadari sekarang bahwa kita, para orang tua, sesungguhnya ikut andil dalam menghadirkan tokoh yang akan digandrungi oleh anak-anak kita. Negatif atau positifnya tokoh idola mereka, tergantung dari apa tayangan, bacaan, dan kisah yang kita sajikan buat mereka. Semoga kita semua diberi kemampuan untuk konsisten memberikan hanya yang baik untuk anak-anak kita. Amin.

Rabu, 02 September 2009

Gempa dan Anak-Anak

Gempa di sore 2 September 2009 memang mengejutkan seperti halnya gempa pada umumnya. Yang berbeda saya rasakan pada gempa kali ini adalah sikap anak-anak saya.

Siangnya, entah mengapa Azkia terus berbicara saat kami sedang di halaman. Sepertinya ia mengafirmasi ulang kata-kata yang ia baca di buku dan pernah diceritakan papanya, "Langit dan bumi milik Allah, Allah-lah yang menciptakannya. Manusia tidak akan pernah tahu kapan ia akan kembali kepada Allah.... dan seterusnya hingga adiknya pun menimpali dengan kalimat-kalimat yang nyaris sama".

Saya dengarkan saja sambil hati sedikit "kecut" mendengarnya. Mungkin karena mendengar dari ocehan anak kecil yang jiwanya masih relatif bersih dibandingkan saya orang dewasa.

Saat gempa mulai terasa di sore harinya saya tersentak. Kami memanggil anak-anak untuk keluar. Luqman sepertinya sedang di dapur. Dia agak lama datang sewaktu dipanggil. Baru setelahnya saya tahu. ternyata dia sedang memanjat meja untuk mengambil plastik saat getaran mulai terjadi.

Di jalanan depan rumah kami berkumpul dengan hati was-was. Anak-anak dipeluk sambil terus berdzikir. Luqman belum menyadari apa yang terjadi, sehingga dia terus bertanya, "Mama, kenapa buminya berguncang begini? Kenapa Mama? Ade takut!". Kami pun katakan padanya bahwa ini adalah gempa bumi, kita berdoa saja.

Setelah getaran akhirnya mereda, kami mulai naik ke teras rumah sambil tetap waspada. Setelah itulah banyak kejutan terjadi. Anak-anak masih kami minta untuk tetap di luar selama beberapa saat. Setelah merasa cukup aman, baru mereka masuk rumah.

Azkia meminta ikut shalat ashar sama papanya, sedangkan Luqman bersama saya. Dia terus berceloteh, "Mama, Ade takut kalau malam-malam ada gempa lagi. Gimana kita keluarnya kan gelap"
"Tadi Ade pikir ada manusia yang terbang ke atas lalu mengguncangkan bumi" katanya lagi penuh imajinasi dan rasa penasaran.

Sehabis sholat ashar Azkia berbisik, "Mama, sehabis sholat tadi Kakak berdo'a kepada Allah, Kakak ingin jadi anak yang baik, patuh pada Allah, selalu sholat, patuh pada orang tua". Saya nggak tahan untuk tidak memeluk dan mencium dia.

Sambil menunggu saya mulai memasak di dapur, anak-anak di teras bersama papanya dan mulai mengobrol tentang topik gempa. Mereka jadi penasaran mengapa gempa terjadi. Saya ambilkan satu buku lama yang berbicara tentang pergerakan bumi dan membiarkan mereka membaca dan membahasnya. Luqman bertanya, "Lalu siapa yang bisa menghentikan gempa?", dan Azkia menjawab dengan tangkas, "Allah De... Allah yang menciptakan bumi ini, bukan manusia. Jadi Allah saja yang bisa menghentikan gempa" ujarnya sebijak seorang alim.

Tak lama kemudian, Luqman tergopoh-gopoh ke rak buku. Sepertinya mencari sesuatu. Lama-lama dia minta tolong dengan setengah memaksa pada papanya untuk mengambilkan Al Qur'an terjemahan, karena ia tak juga menemukannya. Setelah diberikan Luqman menarik papanya duduk, meminta dibacakan ayat Al Quran tentang guncangan bumi. Sedikit heran memang, tapi kemudian suami saya memenuhi permintaan Luqman karena si kecil itu seperti hampir menangis karena ingin sekali mendapat berita tentang semua yang barusan terjadi.

Subhanallah, sambil memasak hati saya terus tak henti memuji kebesaran Allah, karena telah menganugerahi anak-anak saya dengan kepekaan spiritual jauh melampaui apa yang saya bayangkan. Dulu, saat saya seusia mereka, saya hanyalah anak kecil yang tak banyak tahu dan tak punya sensitivitas ketuhanan seperti mereka.

Ya Allah, semoga mereka benar-benar jadi anak yang tidak hanya pintar, tapi juga shaleh. Amin

Tentang Saya

Saya, ibu dua anak. Anak-anak saya tidak bersekolah formal. Blog ini berisi pemikiran, hasil belajar, dan beberapa pengalaman.

Jika Anda menggunakan tulisan di blog ini sebagai referensi: (1) HARAP TIDAK ASAL copy paste, (2) Selalu mencantumkan link lengkap tulisan. Dengan begitu Anda telah berperan aktif dalam menjaga dan menghargai hak intelektual seseorang.