Artikel lain

Sabtu, 24 Januari 2009

Mengajari Anak Membaca: Sebuah Seni

Pengalaman ini bisa jadi tidaklah terlalu istimewa buat Anda, tapi saya pikir tak ada salahnya untuk dibagi, karena bukan tak mungkin ada para bunda atau ayah yang mengalami kesulitan serupa jadi terinspirasi setelah membaca cerita saya ini.

Putera saya Luqman (4,5 tahun) memang berbeda dengan kakaknya - Azkia (6,5 tahun). Pada usia 3,5 tahun Azkia sudah bisa membaca, sedangkan Luqman, di usianya yang mau menjelang 5 tahun masih belum terlihat berminat untuk bisa membaca. Dia memang senang dibacakan buku, tapi saya belum menemukan metode yang tepat, yang membuat dia antusias untuk belajar membaca.

Setiap hari saya selalu berpikir keras bagaimana caranya membuat Luqman mau belajar membaca, dengan metode apapun lah! Entah Glenn Doman, suku kata, atau yang lainnya. Terpenting dia mau secara sukarela tertarik untuk belajar. Beberapa kali saya rancang model belajar untuk anak bungsu saya ini, tapi hasilnya belum memuaskan. Mood dia untuk belajar yang satu ini sepertinya menguap sebelum dimulai.

Nah! Sore ini saya seperti dikejutkan oleh ide kecil yang tiba-tiba melintas. Sambil istirahat sehabis bersih-bersih halaman, saya jadi teringat bahwa anak saya ini sebenarnya gampang mengingat sebuah informasi jika disampaikan secara lisan. Meski ia sangat aktif bergerak, tapi dia mampu menyerap info lisan yang dia dengar. Artinya, dia seorang pembelajar haptik - auditori!

Saya panggil si kecil untuk sekedar bermalas-malasan dan mencoba satu model belajar yang terpikir begitu saja. Saya coba sampaikan pendekatan prinsip suku kata secara lisan tanpa teks terlebih dulu. Saya bilang, "De, kalau B ditambah A dibacanya BA, C ditambah A dibacanya CA, dan D ditambah A jadi DA". Lalu saya tes dia untuk membaca tiga suku kata itu sekaligus BA CA DA. Entah mengapa dia jadi tertawa.

Langkah berikutnya, saya masuk ke gabungan 3 konsonan di atas dengan vokal i, u, e, dan o. Hasilnya, dia mampu menyerapnya dengan baik. Lalu saya tes dia untuk membunyikan gabungan konsonan baru: F, G, dan H dengan 5 vokal... Hasilnya sungguh mengejutkan saya, karena ternyata dia mampu membacakannya dengan benar. Sungguh, bukan hanya saya yang senang, dia pun tertawa begitu gembira dengan kemampuannya itu.

Karena penasaran, saya pun minta dia mengambil balpoin dan kertas. Duh, dengan semangat si kecil berlari memenuhi permintaan saya. Saya cobakan di atas kertas titian suku kata yang sudah kami pelajari tadi, dengan harapan otaknya terkoneksi dari suara ke visual.

Dan.. subhanallah, kabut yang selama ini menyelimuti pemahamannya seolah mulai terkikis. Dia mengerti dan mulai bisa membaca suku kata yang tertera di atas kertas. Kejutan berikutnya, anak saya bilang setelah selesai belajar, "Mama, Ade lebih suka belajarnya nggak usah pake buku membaca (yang dibeli), ditulis aja pake pulpen sama Mama."

Nah, lho! Ternyata anak-anak seringkali tak bisa ditebak. Kita pikir dia suka buku bagus yang berwarna-warni, yang sengaja kita beli supaya dia tertarik, eh ternyata dia lebih suka tulisan orang tuanya, meskipun tulisan ayah atau ibunya mungkin jauh dari bagus. Begitulah saya melihat: Mengajar Anak-anak Membutuhkan Seni tersendiri.

Jumat, 16 Januari 2009

Mengejar Kupu-Kupu

Tak disangkal, saat paling asyik buat saya saat masih kanak-kanak dulu adalah bermain. Saya adalah produk kampung. Mainan saya juga jelas mainan ala kampung. Bermain petak umpet, menggali tanah, kucing-kucingan di lapangan rumput, memanjat pohon, dan menjelajah tepian sungai termasuk acara bermain yang paling sering saya lakukan. Lalu bagaimana dengan anak-anak saya?

Sangat besar keinginan saya agar anak-anak mengecap asyiknya bermain bebas seperti saya dulu. Saya kasihan melihat mereka hanya bisa bermain balok-balok atau bersepeda di jalanan komplek yang ramai dilalui kendaraan. Mereka jauh dari alam.

Namun sejak kami pindah rumah ke Tanjungsari, di mana lahan bermain masih cukup luas. Saya menemukan anak-anak saya mulai membaur dan menikmati suasana alami yang masih tersaji gratis di sekitar rumah. Mereka mulai bisa bermain bebas di bawah naungan langit biru yang berhiaskan awan putih berarak . Walaupun awalnya mereka terlihat ragu-ragu mengarungi rumput ilalang yang menghampar ramah, tapi lambat laun keberanian mereka tumbuh. Hal itu mungkin dipicu juga oleh keberanian anak-anak sekitar rumah kami yang setiap sore menghambur ke lapangan ilalang itu untuk mencabuti bunga-bunga rumput sebagai hiasan.

Dan pagi ini (17/1) saya dikejutkan oleh kemahiran anak bungsu saya. Setelah dia mengendap-endap di antara ilalang, tiba-tiba ia datang menghampiri saya. Dengan gembira ia membawa seekor kupu-kupu cantik berwarna kuning tua dengan bercak-bercak hitam di tepian sayapnya. Ia pun berteriak senang, "Mama, Ade berhasil menangkapnya!".

Saya lihat anak saya begitu bahagia dengan kemahiran itu. Saya pun bilang padanya agar melepaskan kembali kupu-kupu itu supaya mereka bebas. Setelah sedikit adu argumentasi, karena ia berisikeras tak mau melepas kupu-kupu itu, akhirnya anak saya rela kupu-kupunya dilepas. Saya ijinkan dia menangkap lagi hanya untuk melihat jenis dan warnanya saja sebentar. Setelah itu dia harus melepasnya lagi.

Sungguh, alam menghadiahi kami sumber belajar yang tiada taranya. Sehabis menangkap kupu-kupu, karena matahari sudah mulai naik, anak-anak masuk rumah dan si kecil Luqman menghambur tergesa-gesa untuk mengambil buku Dunia Serangga, mencari topik tentang kupu-kupu, lalu meminta kakaknya untuk membacakan.

Menyaksikan semua itu, semakin yakinlah saya bahwa belajar tidak ada hubungannya dengan anak-anak sekolah atau tidak, melainkan lebih dipengaruhi oleh cinta atau tidaknya mereka pada kegiatan belajar. Happy homeschooling!

Selasa, 06 Januari 2009

Kuat dan Mandiri

Apakah benar secara umum anak perempuan itu lebih manja daripada anak laki-laki ketika terluka? Entahlah, saya tak punya pembanding. Yang jelas, putri saya Azkia termasuk kategori itu.

Akan tetapi, kondisi sekitar rumah kami sekarang sedikit demi sedikit "memaksa" dia untuk berubah dan saya pun mengkondisikan dia untuk beranjak lebih kuat dan mandiri. Seperti pagi tadi (6 Januari 2009), saat adiknya Luqman masih berada di lapangan bersama papanya, Azkia pulang duluan. Wajahnya mengkerut, dan itu cukup membuat saya tahu bahwa ada apa-apa dengan dia. Dan samar-samar saya dengar Luqman berteriak dari lapangan, "Mama, kaki kakak terkelupas!"

Biasanya putri saya ini akan merengek kalau kaki atau tangannya tergores sesuatu, tapi tadi pagi saya mencoba untuk mencegah itu dengan bertanya lebih dulu, "Kakinya terkelupas, ya?". Dia pun mengangguk.

"Cuci kakinya sampai bersih. Ambil obat sendiri, ya!"
"Pakai apa, Mama?"
"Bisa bandotan, tanaman betadine, sirih, atau tanaman yang merambat di pagar itu", ujar saya.

Azkia pun melakukannya dengan semangat. Wajah murungnya mendadak berubah normal kembali. Saya menduga, ada dua hal yang membuatnya menjadi seperti itu: pertama, karena ia merasa diberi kepercayaan untuk mengobati dirinya sendiri, dan yang kedua, ia merasa menemukan momentum untuk mempraktekkan pengetahuannya tentang tanaman untuk mengobati luka.

Ya, begitulah rupanya. Sesungguhnya anak-anak merindukan dirinya menjadi mandiri, sementara orang tua seringkali menunda-nunda pemenuhan hasrat itu. Saya makin merasakan, memang tak mudah menjadi orang tua ideal yang memahami benar anak-anak kita.

Senin, 05 Januari 2009

Anak-Anak Lebih Survive

Halaman yang cukup luas untuk berlari membuat anak-anak saya benar-benar berlari tanpa kenal lelah. Kaki belepotan tanah, pipi dan hidung tak kalah kotornya. Mereka luar biasa senang saat melihat randa tapak menempel di ranting pohon jeruk. Luqman pun mulai berceloteh, "Padahal randa tapaknya ditanam, Kak."

Saat memasukkan tanaman ke lobang di halaman samping, saya mendengar Azkia pun menimpali, "Tapi, randa tapak itu gulma, De. Nggak usah ditanam, dia tumbuh sendiri."

"Gulma itu apa, Kak?" tanya adiknya.
Azkia pun menjawab, "Gulma itu bisa merusak tanaman." Percakapan terhenti sejenak karena saya menemukan sarang rayap dan memanggil anak-anak untuk menunjukkannya kepada mereka. Tautan pengetahuan pun terhubungkan. Bacaan tentang kehidupan rayap tampil di dunia nyata.

Setelah hampir dua minggu kami tinggal di Tanjungsari, begitu banyak hal yang kami temukan dan ada banyak pula yang berubah pada diri anak-anak. Mereka terlihat lebih berani mengeksplorasi lingkungan. Azkia yang sebelumnya takut-takut menyentuh serangga dan berjinjit saat menginjak rumput karena takut basah, sekarang tampak jadi berani.

Kulit anak-anak memang tampak lebih coklat karena sering tertimpa sinar matahari langsung. Tapi hebatnya, tubuh mereka justru menjadi lebih bugar. Harapan saya untuk membuat anak-anak lebih survive di alam ternyata mulai terlihat hasilnya. Alhamdulillah.

Tentang Saya

Saya, ibu dua anak. Anak-anak saya tidak bersekolah formal. Blog ini berisi pemikiran, hasil belajar, dan beberapa pengalaman.

Jika Anda menggunakan tulisan di blog ini sebagai referensi: (1) HARAP TIDAK ASAL copy paste, (2) Selalu mencantumkan link lengkap tulisan. Dengan begitu Anda telah berperan aktif dalam menjaga dan menghargai hak intelektual seseorang.