Artikel lain

Selasa, 08 Desember 2009

Ingin Seperti HAMKA

Tadi siang kami berangkat keluar untuk membeli beberapa keperluan. Saat
bersiap-siap, Azkia berceloteh, "Mama, kebanyakan anak kan bersekolah,
sedangkan kakak dan Ade kan tidak sekolah."

"Memangnya Kakak ingin sekolah ya?" tanya saya. "Boleh kok kalau Kakak mau sekolah," lanjut saya.

"Tidak. Cuma Kakak baca di buku, Si Malik itu hanya sekolah sampai kelas dua SD, terus berhenti," katanya.

"Terus bagaimana akhirnya setelah dia besar?" tanya saya.

"Dia tetap rajin belajar, senang membaca, sampai akhirnya dia bisa
pergi ke Mekkah," kata Azkia lagi disambung juga Luqman menimpali.

"Memangnya buku apa sih yang Kakak maksud?" tanya saya. Benar-benar saya belum 'ngeh!' buku yang dia ceritakan.

"HAMKA!" jawab Azkia dan Luqman.

"Ooooh HAMKA ya. Terus jadi apa HAMKA setelah dia dewasa?" tanya saya lagi.

"Dia jadi penulis besar Mama! Dan dia pernah dipenjara, tapi dia tetap saja membaca dan menulis waktu dia dipenjara".

"Ade mau Mama!" seru Luqman.

"Mau apa?" tanya saya

"Mau seperti Hamka! Rajin belajar, suka membaca, dan jadi orang yang baik"

Ups!

Saya terkejut sekaligus bangga dengan anak-anak dan juga penulis buku
biografi Hamka. Yang paling saya salut, tampilan buku itu sebenarnya
tidak menarik kalau dibandingkan buku anak-anak saat ini yang full
color dan indah, sebagiannya malah sudah robek karena cetakan lama.
Tapi ternyata, ketika anak-anak membacanya, buku itu mampu membuat
mereka memiliki impian yang mulia.

Tampilan buku anak memang perlu menarik untuk menggaet para pembaca
cilik menyukai kegiatan membaca. Tapi, isi buku anak juga sebaiknya
memuat sesuatu yang berbobot untuk mensuplai kebutuhan 'gizi' akal dan
ruhani mereka. Tantangan besar bagi para penulis buku anak.

Sabtu, 14 November 2009

Survival

Akhir-akhir ini saya sering memikirkan tentang hal-hal berbau survival. Bagaimana anak-anak nanti bisa bertahan hidup di tengah hiruk-pikuk manusia yang mencari kerja, mempertahankan kerja, dan juga mencari peluang usaha.

Bukan lagi rahasia jika saat ini lebih banyak jumlah pencari kerja ketimbang lapangan kerja. Kebayang kan, bagaimana lebih beratnya 'perjuangan' anak-anak kelak. Mereka akan dihadapkan pada perhelatan bertahan hidup yang jauh lebih keras. Apalagi jika anak-anak tak mengenyam bangku sekolah, apa jadinya mereka nanti?

Tapi, kekhawatiran itu kemudian menipis saat saya akhirnya percaya satu hal. Kemandirian tidak datang dengan sendirinya. Kemandirian adalah produk pendidikan. Jika anak-anak tidak bisa mandiri pada saat mereka seharusnya sudah mandiri, maka model pendidikan-lah yang harus dievaluasi. Dan kami punya kesempatan untuk menerapkan model pendidikan yang berbeda dengan menjalankan home-education (pendidikan rumah).

Andai pendidikan di bangku sekolah memberi ruang untuk anak-anak belajar tentang survival dan hal itu menyatu sebagai sebuah muatan pendidikan, pasti ada sesuatu yang berbeda bisa dihasilkan dari produk sekolahan. Bukan hanya bisa baca-tulis-hitung, bukan hanya mendapat selembar kertas ijazah, tapi juga membawa serta mentalitas seorang yang mampu bertahan, yang suka berjuang, yang berkehendak kuat untuk mandiri.

Tanpa sadar, anak-anak sekolah terlalu 'dimanjakan' dengan suasana rutin teratur yang mematikan kreatvitas. Mereka harus berada dalam jadwal yang tak boleh dibantah. Pada waktu-waktu produktif, mereka harus melakukan hanya hal-hal yang diperintahkan dan bukan apa yang mereka minati untuk dipelajari.

Suasana-suasana seperti itu adalah miniatur dunia kerja. Dan jika pendidikan model seperti itu dirasakan anak-anak selama hampir 12 tahun jika sampai SMU dan 16 tahun jika sampai lulus PT, maka bisa dimaklumi jika akhirnya lulusan sekolah akan mencari situasi yang sudah mendarah-daging dalam dirinya yaitu BEKERJA.

Tentu saja tidak ada yang buruk dari bekerja, tapi jika anak-anak memiliki mentalitas mandiri, ia tak akan mengandalkan BEKERJA sebagai satu-satunya jalan untuk bertahan hidup. Apalagi jika lapangan kerja ternyata sudah terlalu sesak untuk dimasuki. Go Survive!

Jumat, 23 Oktober 2009

Belajar Membaca: Bisa Karena Biasa

Tulisan ini saya dedikasikan buat teman-teman yang bertanya tentang Cara Mengajar Anak Membaca. Semoga bermanfaat

Zaman dulu, anak 5 tahun bisa membaca adalah sesuatu yang langka. Orang tua juga jadi kecipratan bangga. Tapi saat ini, di mana dunia aksara sudah makin mewabah, akses terhadap bahan bacaan kian mudah, anak 3 tahun bisa membaca juga bukan lagi perkara langka. Persoalannya, bagaimana membuat anak-anak bisa membaca?

Berdasarkan pengalaman saya, cara mengajar anak membaca sebenarnya tidak membutuhkan hal-hal yang baku, rumit, dan sangat terstruktur. Saya memang mengajar anak pertama dengan metode yang lumayan butuh pengorbanan, yaitu metode Glen Doman. Tiap malam sibuk bikin kartu baca. Tapi lucunya, untuk mengajari anak kedua, saya hanya pakai buku tulis biasa plus pensil/balpoin. Belajarnya hanya 5 menit sebelum tidur atau pas waktu senggang. Saya pun baru memulainya pada usia 4,5 tahun.

Satu hal yang tidak berbeda antara kedua anak saya adalah, mereka sama-sama sangat suka membaca. Luqman, anak kedua, meskipun ia belum lancar baca tapi bisa bertahan lebih dari 30 menit untuk dibacakan buku. Bukan kami yang memintanya, melainkan dia sendiri yang memohon. Kadang-kadang bukan hanya orang tuanya atau kakaknya yang membacakan buku, siapa saja yang datang ke rumah, neneknya ataupun tantenya bisa saja di 'todong' untuk membacakan dia buku. Kesimpulannya, anak-anak sangat akrab dengan buku.

Semalam, saat saya mencicil buku To Kill a Mockingbird, saya menemukan kisah yang menarik. Diceritakan bahwa salah seorang tokoh bernama Scout, saat ia memasuki kelas satu SD telah lancar membaca koran, padahal teman-temannya yang lain baru akan diajari alfabet dan mengeja. Kemampuannya itu membuat gurunya sedikit kesal. Sang guru menyuruh Scout berkata pada ayahnya agar tidak mengajarinya lagi di rumah.

Scout bingung. Ia pun berkata pada gurunya bahwa ayahnya tak pernah mengajarinya. Ayahnya terlalu sibuk. Jika pun ayahnya ada di rumah, ia malah sibuk membaca, sehingga tak sempat untuk mengajarinya membaca.

Mendengar penjelasan muridnya itu, sang guru tidak percaya dan bersikukuh agar Scout menyampaikan pesan pada ayahnya agar berhenti mengajarinya di rumah. Sang guru yakin bahwa tidaklah mungkin seorang anak bisa membaca tanpa diajari siapapun.

Rupanya, memang bukanlah belajar secara sengaja yang membuat Scout bisa membaca, melainkan karena ia selalu berada di dekat dan bahkan di pangkuan ayahnya saat sang ayah (yang seorang pengacara) membaca keras-keras koran, draft undang-undang, ataupun kitab hukum.

Karena saking seringnya hal itu dilakukan. Scout kecil akhirnya bisa memecahkan rahasia kode-kode gabungan huruf tanpa ia sadari. Ia bisa membaca sebagaimana ia bisa mengancingkan baju. Semua tanpa proses yang terstruktur. Semua mengalir sebagai sebuah kebiasaan yang terus menerus.

Nah, dari semua fakta tersebut, saya menyimpulkan bahwa, sesungguhnya BISA MEMBACA tak selalu merupakan hasil dari belajar secara terstruktur. Bisa saja hal itu adalah output dari gemar membaca.

Kalau kita tidak menetapkan target kemampuan anak berdasarkan waktu atau usia mereka, maka cara ini adalah yang paling mudah, yaitu: Membacakan buku pada anak-anak setiap hari sampai mereka memiliki ketergantungan luar biasa pada buku. Lama kelamaan hal itu akan membuat mereka tergerak sendiri untuk belajar, entah dengan meminta bantuan kita ataupun belajar dengan sendirinya. Apakah Anda percaya?

Betapa banyak anak yang digegas untuk bisa baca hanya karena syarat untuk masuk sekolah, tapi akhirnya tak suka membaca. Menurut saya, bisa membaca hanyalah alat, sedangkan SUKA MEMBACA adalah target utama. Supaya keduanya tercapai, maka mengakrabkan anak-anak dengan buku sedari kecil, itulah cara yang tepat. Tak perlu buku mahal, buku murah atau buku bekas pun bisa, asalkan isinya bermutu.

Minggu, 11 Oktober 2009

Mengambil Manfaat dari Membuat Sendiri

Sekarang memang zamannya serba instan. Mau makan ayam goreng tinggal beli, mau kue lapis tinggal beli, mau minum teh manis tinggal beli, mau baju baru juga tinggal beli. Karena itulah, otot tubuh manusia nampaknya makin pemalas untuk membuat ini dan itu, karena industri telah memenuhi lebih dari separuh kebutuhan hidup tanpa kita harus bersusah payah. Modalnya hanyalah 'uang'. Dengan uang semua kebutuhan bisa terpenuhi. Jadi, kebanyakan orang akhirnya memilih untuk berpayah-payah mencari uang daripada memproduksi sendiri kebutuhan mereka.

Tapi menurut saya, hal itu adalah gerakan perubahan yang kurang membangun. Mengikuti arus kehidupan kebanyakan orang memang paling gampang karena semuanya sudah terprediksi, tapi saya percaya hal itu merupakan salah satu pemicu yang akan membuat generasi penerus kita menjadi anak-anak yang kurang produktif.

Memasak sendiri, menanam sayuran sendiri, membuat mainan sendiri, mengobati diri sendiri, membuat lem, sabun, menjahit baju, dan hal-hal semacam itu sendiri menurut saya akan bermanfaat banyak untuk membentuk kebiasaan produktif pada anak-anak. Bukan hasilnya yang penting, tapi prosesnya.

Kegiatan serba membuat sendiri yang kita lakukan bersama anak lambat laun akan membuat mereka menikmati dan menghargai proses. Semuanya mungkin menjadi agak lambat jika dibandingkan membeli atau memesan pada orang lain, tapi dari situlah anak-anak juga belajar tentang hal lain, seperti bersabar, tekun, kreatif, inovatif, dan organ motoriknya pun bergerak.

Buat orang tua yang masih konvensional, masih serba membuat sendiri, bergembiralah, karena semua itu insya Allah akan berbuah manis nantinya.

Kamis, 24 September 2009

Ketika Anak-Anak Ingin Tahu Hal-Hal Ghaib

Rasa ingin tahu anak-anak terhadap hal-hal yang berbau metafisik akhir-akhir ini meningkat. Mereka bertanya tentang surga, tentang azab, tentang malaikat, tentang nabi, tentang iblis, tentang kiamat dan hakikat kematian. Buku-buku dengan tema agama sekarang jadi lebih dominan dibaca anak-anak. Pertanyaan-pertanyaan pelik pun mulai bermunculan: Apakah Allah itu suka berpindah-pindah? Di mana Allah tinggal? Apakah kita bisa bertemu dengan Nabi Muhammad? dll

Sambil menyimak dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka dalam hati saya terkejut. Tapi kemudian hal itu menyadarkan saya dan suami bahwa sepertinya memang telah tiba saatnya untuk mulai memperkenalkan Tuhan dan segala fenomena kehidupan kepada anak-anak. Mereka nampaknya telah siap menyerap pengetahuan tentang itu untuk menjadi bekal mereka mengarungi hidup.

Suatu hari Azkia menangis dan berkata, "Kakak nggak mau mati!". Saya terkejut mendengarnya. Setelah tangisnya reda saya bertanya kenapa dia berkata seperti itu. Rupanya Azkia membaca sebuah buku yang menceritakan pengalaman anak-anak yang tersesat ke "alam lain" saat bermain ke hutan. Di bagian akhir digambarkan tentang kembalinya anak-anak itu ke dunia nyata dengan menenggelamkan diri di sebuh danau di "negeri ghaib".

Saat itulah kami menjelaskan tentang apa itu kematian dan kenapa kita tak perlu takut dengan kematian. Sesungguhnya ketika orang itu mati, maka ia tidaklah mati, melainkan hidup kembali, hanya alamnya saja yang berbeda. Ketika orang mati, sebenarnya ia sedang menemui Allah. Di alam akhirat itulah ada tempat bernama Surga, yang disediakan untuk orang-orang yang baik. Karena itulah kita harus menjadi orang yang patuh kepada Allah, jadi orang yang baik.

Luqman bertanya, "Tapi di Surga kan nggak ada mainan! Ada balok-balok nggak? Ada ayunan nggak?"
Papanya berkata, "Wah, De... di Surga malah ada sungai susu!" Anak-anak tertawa terbahak-bahak, "Masak sih ada sungai susu!".

Waktu saya bilang bahwa setelah orang itu mati dia hidup lagi, Luqman bertanya, "Mama, bagaimana kalau setelah hidup lagi manusia mati lagi. Hayooo gimana?" He he he... saya ketawa dibuatnya.

Dialog pun menjadi panjang. Anak-anak terlihat antusias mendengar cerita tentang alam akhirat dan kaitannya dengan dunia ini.

Menjelang usai perbincangan Azkia lalu bertanya, "Apakah kita akan bertemu lagi setelah mati?" Kami bilang ya Insya Allah. Kalau kita jadi orang-orang yang sholeh, maka semua orang sholeh akan dipertemukan kembali dengan keluarganya.

Azkia terlihat berpikir, lalu bertanya lagi, "Apakah kalau kita dikubur di tempat yang berbeda, kita tetap bisa berkumpul lagi?" ya Insya Allah... saya bilang. Azkia tersenyum setelah itu dan memeluk saya.

Pelajaran agama mungkin menjemukan jika disajikan dalam sebuah buku pelajaran terstruktur yang harus dihapal. Tapi saya menemukan anak-anak begitu antusias mempelajari semua itu justru lewat dialog-dialog spontan di tempat tidur.

Rabu, 23 September 2009

Mencari Seorang Guru

Bayi yang sehat, gemuk, dan cantik lahir pada bulan Oktober 2002. Di antara kegembiraan karena kehadiran putri pertamanya, ibu si bayi merasa masalah lain telah datang. Mau diapakan bayinya selain diberi ASI, dimandikan, dan diganti popoknya setiap hari? Sepertinya, meski ia seorang sarjana, demikian kosong pengetahuan tentang bagaimana mengisi hari-hari bayinya dengan hal-hal berkualitas.

Saat usia bayi mencapai kurang lebih 6 bulan, desakan untuk mencari tahu banyak hal tentang pengasuhan dan pendidikan bayi semakin kuat. Diperoleh-lah kabar tentang seorang penulis buku yang biasa mengisi siaran di sebuah radio swasta. Penulis buku itu adalah seorang ibu yang kabarnya sangat kompeten dalam hal mendidik anak. Nomor teleponnya pun didapat dan sang ibu memberanikan diri untuk menghubunginya.

Suara yang ramah pun terdengar, dan obrolan ditelepon itu pun berlanjut dengan janji
bertemu. Si penulis mengusulkan untuk bertemu di masjid sebuah kampus supaya sang ibu tak perlu jauh-jauh ke rumahnya yang ternyata tak terjangkau angkot. Harus naik ojek mendaki untuk mencapai rumahnya.

Hari bertemu pun tiba, sang ibu begitu bersemangat, bahkan berusaha untuk datang lebih awal. Setibanya di pelataran masjid yang dijanjikan, sang ibu mengedarkan pandangannya ke sekeliling masjid kalau-kalau 'guru' yang hendak ditemuinya sudah ada di sana. Namun, 30 menit pun berlalu, dan tak ada tanda-tanda sama sekali kalau di sekitar masjid ada seseorang yang sedang menunggu untuk bertemu.

Langkah terakhir pun diambil. Berbekal nomor HP si penulis, sang ibu menuju wartel terdekat. Telepon akhirnya terhubung, dan dengan penuh penyesalan, terdengar suara si penulis, "Mbak, maafkan saya... Saya kehilangan nomor telepon rumah Mbak. Tadi pagi tiba-tiba saya dipanggil datang ke studio karena ada acara mendadak. Saya mau kabari tapi saya benar-benar kehilangan nomor kontak. Kita mungkin bisa janjian lain kali yaa... Sekali lagi mohon maaf."

Dengan lesu dan kecewa, sang ibu pun mengiyakan. Mau bagaimana lagi. Dan ia pun tahu, untuk membuat janji bertemu lagi adalah hal yang tidak mudah. Kemungkinan akan terjadi lagi hal seperti ini sangat besar, karena sepertinya si penulis adalah orang yang sibuk.

Sejak saat itu, di tengah kekecewaannya yang sangat besar, sang ibu pun akhirnya terlecut untuk belajar lewat media yang lain. Ia memutuskan untuk berburu banyak referensi bacaan, buku, majalah, ikut seminar-seminar yang berbicara tentang dunia parenting. Ia banyak menyempatkan waktu untuk membaca buku-buku sulit dan berdiskusi dengan suaminya. Ia sadar, untuk mendapatkan pengetahuan tak bisa mengandalkan orang lain. Ia sendirilah yang harus mencari tahu, belajar sendiri. Bukankah memang dunia mendidik anak-anak, ilmu menjadi orang tua tidaklah ada sekolahnya? Kita harus belajar secara autodidak.

Tanpa sadar, pengalaman sang ibu mencari seorang guru membuatnya bertemu dengan banyak pengetahuan baru setelahnya. Wawasan-wawasan yang selama ini terpendam akhirnya ditemukan. Guru' ternyata tak selalu harus berwujud manusia. Karya-karya tulis yang dibuat banyak guru di dunia ini justru begitu mudah diakses dengan kehadiran buku. Siapapun bisa menjadi muridnya asalkan dia mau membaca. Ayo membaca!

Sabtu, 12 September 2009

Tokoh Idola Anak-Anak

Saat berumur 3 tahun anak saya Luqman (sekarang 5 tahun) sempat mengidolakan N**uto, karena anak tetangga kami yang sebaya dengannya sering memakai atribut-atribut sang hero itu. Meskipun tidak pernah menonton filmnya di rumah, rupanya sempat sesekali ia ikut menonton saat main ke rumah temannya itu. Akibatnya, ia jadi suka main tembak-tembakan walaupun pura-pura. Keluar pula kata-kata serampangan, "Bodoh! baong!" dan lain sebagainya.

Karena khawatir tokoh itu terus hidup di kepalanya, saya stop acara kunjungan ke rumah tetangga buat anak saya. Ia hanya boleh main di halaman dan tidak boleh main di dalam rumah temannya. Saya coba ganti sosok tokoh idola buat anak saya dengan memberikan jadwal nonton film animasi lain, waktu itu ada Barrenstein Bear di Space Toon. Alhamdulillah berhasil. Ceritanya sangat bagus, tapi sayang kemudian berhenti penayangannya.

Waktupun berlalu, dan sepertinya tokoh idola itu memang selalu dicari oleh anak saya. Entah mengapa, ia pun jadi nge-fans dengan spiderman. Sampai-sampai ia ingin dibelikan baju bergambar sang hero yang satu ini. Bajunya langsung cepat lecek, karena hampir selang sehari langsung dipakai, kecuali kalau dicuci. Secara reflek dia akan bergerak bak pahlawan yang menyerang musuhnya. Tali dan benang terikat ke sana kemari, dari kaki meja ke kursi, dari rak buku ke lemari. Semua menyerupai jaring laba-laba. Saya sering jatuh kalau tanpa sengaja kaki tersandung tali-tali itu.

Spiderman cukup awet mempengaruhi pikiran Luqman hingga beberapa lama, hingga muncul tokoh baru yang ia lihat dari stiker-stiker pemberian seorang teman untuk anak-anak saya. Lelaki gagah, bersayap kain panjang yang menjuntai di punggungnya. Akibat mengidoalakan tokoh itu, kerudung ibunya pun jadi sasaran. Dengan mengikatkan dua ujung kerudung di lehernya, anak saya sudah berubah jadi seorang superman kecil yang berlari dan kadang melompat dari atas meja.

Namun akhir-akhir ini, sejak saya belikan serial kisah nabi-nabi sepertinya tokoh idola anak saya sudah berubah sama sekali. Dia tidak mau lagi disebut spiderman ataupun superman, tak lagi membuat sayap tiruan di punggungnya, ataupun menjalin tali temali di kaki meja. Tokoh panutannya sekarang adalah sosok anak lelaki yang pemberani yang ada dalam kisah nabi dan sahabat.

Tokoh pertama adalah Nabi Daud a.s. Buku berjudul Daud Sang Penakluk, mengisahkan perlawanan Bani Israil yang dipimpin Raja Thalut terhadap kesewenang-wenangan Jalut. Saat itulah hadir Daud kecil menunjukkan keberaniannya melawan Jalut yang bertubuh besar dan kuat, hingga akhirnya Jalut kalah di tangan Daud. Buku ini minta dibacakan hingga berulang-ulang, dan bahkan Luqman berusaha keras membaca sendiri, padahal sebelumnya agak malas melancarkan bacaannya.

Dan tokoh berikutnya yang kini sedang digandrungi Luqman adalah Ali bin Abi Thalib. Berbagai kisah tentang Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kelihatannya banyak mempengaruhi dia. Memang, awal kekaguman Luqman pada tokoh idolanya selalu dimulai dengan kisah heroik. Dalam film Muhammad The Last Prophet yang ditontonnya berulang-ulang, digambarkan tentang Ali kecil yang tidur di ranjang Nabi untuk mengelabui para pemuka Quraisy. Sungguh itu merupakan keberanian yang sangat menakjubkan di mata anak saya. Apalagi sewaktu membaca kisah perobohan benteng khaibar oleh Ali bin Abi Thalib dengan pedang Zulfikar pemberian Nabi, sepertinya, kekaguman itu semakin hari semakin terpatri.

Dan sekarang Luqman jadi lebih rajin ikut shalat berjamaah bareng papanya dan juga kakaknya, padahal biasanya dia bolong-bolong. Seringnya absen untuk ikut sholat. Saat kami tanya kenapa dia jadi rajin sholat, Luqman pun menjawab, "Karena Ade ingin seperti Ali bin Abi Thalib. Ali kan anak yang rajin sholat!".

Rupanya karena kami sering bercerita bahwa Ali bin Abi Thalib sudah ikut sholat bersama Nabi sejak ia masih kecil, anak saya jadi terus memikirkannya dan ingin menirunya juga. Subhanallah! Betapa hebat pengaruh seorang tokoh idola yang hidup di pikiran anak-anak kita.

Walaupun mungkin agak terlambat, karena harus menunggu hingga anak lelaki saya berumur 5 tahun, saya baru mengerti dan menyadari sekarang bahwa kita, para orang tua, sesungguhnya ikut andil dalam menghadirkan tokoh yang akan digandrungi oleh anak-anak kita. Negatif atau positifnya tokoh idola mereka, tergantung dari apa tayangan, bacaan, dan kisah yang kita sajikan buat mereka. Semoga kita semua diberi kemampuan untuk konsisten memberikan hanya yang baik untuk anak-anak kita. Amin.

Rabu, 02 September 2009

Gempa dan Anak-Anak

Gempa di sore 2 September 2009 memang mengejutkan seperti halnya gempa pada umumnya. Yang berbeda saya rasakan pada gempa kali ini adalah sikap anak-anak saya.

Siangnya, entah mengapa Azkia terus berbicara saat kami sedang di halaman. Sepertinya ia mengafirmasi ulang kata-kata yang ia baca di buku dan pernah diceritakan papanya, "Langit dan bumi milik Allah, Allah-lah yang menciptakannya. Manusia tidak akan pernah tahu kapan ia akan kembali kepada Allah.... dan seterusnya hingga adiknya pun menimpali dengan kalimat-kalimat yang nyaris sama".

Saya dengarkan saja sambil hati sedikit "kecut" mendengarnya. Mungkin karena mendengar dari ocehan anak kecil yang jiwanya masih relatif bersih dibandingkan saya orang dewasa.

Saat gempa mulai terasa di sore harinya saya tersentak. Kami memanggil anak-anak untuk keluar. Luqman sepertinya sedang di dapur. Dia agak lama datang sewaktu dipanggil. Baru setelahnya saya tahu. ternyata dia sedang memanjat meja untuk mengambil plastik saat getaran mulai terjadi.

Di jalanan depan rumah kami berkumpul dengan hati was-was. Anak-anak dipeluk sambil terus berdzikir. Luqman belum menyadari apa yang terjadi, sehingga dia terus bertanya, "Mama, kenapa buminya berguncang begini? Kenapa Mama? Ade takut!". Kami pun katakan padanya bahwa ini adalah gempa bumi, kita berdoa saja.

Setelah getaran akhirnya mereda, kami mulai naik ke teras rumah sambil tetap waspada. Setelah itulah banyak kejutan terjadi. Anak-anak masih kami minta untuk tetap di luar selama beberapa saat. Setelah merasa cukup aman, baru mereka masuk rumah.

Azkia meminta ikut shalat ashar sama papanya, sedangkan Luqman bersama saya. Dia terus berceloteh, "Mama, Ade takut kalau malam-malam ada gempa lagi. Gimana kita keluarnya kan gelap"
"Tadi Ade pikir ada manusia yang terbang ke atas lalu mengguncangkan bumi" katanya lagi penuh imajinasi dan rasa penasaran.

Sehabis sholat ashar Azkia berbisik, "Mama, sehabis sholat tadi Kakak berdo'a kepada Allah, Kakak ingin jadi anak yang baik, patuh pada Allah, selalu sholat, patuh pada orang tua". Saya nggak tahan untuk tidak memeluk dan mencium dia.

Sambil menunggu saya mulai memasak di dapur, anak-anak di teras bersama papanya dan mulai mengobrol tentang topik gempa. Mereka jadi penasaran mengapa gempa terjadi. Saya ambilkan satu buku lama yang berbicara tentang pergerakan bumi dan membiarkan mereka membaca dan membahasnya. Luqman bertanya, "Lalu siapa yang bisa menghentikan gempa?", dan Azkia menjawab dengan tangkas, "Allah De... Allah yang menciptakan bumi ini, bukan manusia. Jadi Allah saja yang bisa menghentikan gempa" ujarnya sebijak seorang alim.

Tak lama kemudian, Luqman tergopoh-gopoh ke rak buku. Sepertinya mencari sesuatu. Lama-lama dia minta tolong dengan setengah memaksa pada papanya untuk mengambilkan Al Qur'an terjemahan, karena ia tak juga menemukannya. Setelah diberikan Luqman menarik papanya duduk, meminta dibacakan ayat Al Quran tentang guncangan bumi. Sedikit heran memang, tapi kemudian suami saya memenuhi permintaan Luqman karena si kecil itu seperti hampir menangis karena ingin sekali mendapat berita tentang semua yang barusan terjadi.

Subhanallah, sambil memasak hati saya terus tak henti memuji kebesaran Allah, karena telah menganugerahi anak-anak saya dengan kepekaan spiritual jauh melampaui apa yang saya bayangkan. Dulu, saat saya seusia mereka, saya hanyalah anak kecil yang tak banyak tahu dan tak punya sensitivitas ketuhanan seperti mereka.

Ya Allah, semoga mereka benar-benar jadi anak yang tidak hanya pintar, tapi juga shaleh. Amin

Jumat, 14 Agustus 2009

Portofolio Alternatif

Apa arti portofolio bagi anak-anak yang menjalankan pendidikan rumah? Tentu saja sangat banyak. Di antaranya adalah sebagai jejak rekam perjalanan belajar mereka, sebagai buku rapor panjang lebar yang akan menjadi bukti bahwa anak-anak memang mempelajari sesuatu meski tak pergi ke sekolah.

Akan tetapi, kesulitan membuat portofolio biasanya terletak pada pengarsipan. Beberapa keluarga mungkin begitu teraturnya menyimpan, mencatat, dan mendokumentasikan seluruh aktivitas anak-anak, sehingga level pelajaran, jam belajar, hingga detail kegiatan tercatat sempurna. Namun sebagian keluarga lain menyimpan "file-file" belajar anak, baik berupa foto aktivitas, tulisan tangan, gambar, atau materi apapun secara acak. Setelah dikumpulkan sampai sekian banyak, baru pada waktu-waktu tertentu "file-file" itu diorganisir kembali.

Portofolio Alternatif

Saya sempat agak bingung juga dengan persoalan portofolio, khususnya untuk pelajaran-pelajaran yang memang terstruktur. Untuk hal-hal yang insidental mungkin cukup mudah: Ambil fotonya, tuliskan review-nya, lalu simpan di file case.

Baru dua minggu terakhir ini saya menemukan model portofolio yang pas buat kami untuk merekam pelajaran terstruktur, yaitu model 'kuno', memakai buku tulis biasa. Satu buku tulis akan memuat 1 mata pelajaran. Dengan begitu, siapapun yang menjadi pembimbing (apakah saya ataupun papanya), akan memakai buku yang sama untuk mata pelajaran tersebut. Tentu saja, sang pembimbing cukup melihat apa yang sudah dipelajari sebelumnya, lalu lanjutkan pada level berikutnya.

Memang sih, buku catatannya sedikit berantakan (maklum tulisan anak saya belum terlalu bagus), tapi jadi 'guru' anak level SD kelas satu sepertinya memang harus tahan dengan kondisi itu ya.

Semua buku tulis yang akan dipakai belajar ditempatkan dalam sebuah tas khusus. Jadi, disiplin sederhana untuk anak saya sehubungan dengan itu hanyalah "Selalu memasukkan kembali buku dan alat tulis ke dalam tas tersebut setiap kali selesai belajar".

Ya, begitulah bentuk portofolio alternatif untuk pelajaran terstruktur yang kami pilih sekarang ini. Mungkin sharing ini berguna.

Rabu, 12 Agustus 2009

Sharing Membuat Jadwal Belajar

Bagi orang tua yang menyekolahkan anak-anaknya di sekolah formal mungkin tidak terlalu harus dipusingkan dengan kegiatan membuat jadwal. Biasanya sekolah sudah membuatkan jadwal harian yang tetap. Anak-anak tinggal mengikutinya tanpa harus berpikir bagaimana mengelola jadwal belajar.

Sementara itu, bagi keluarga praktisi pendidikan rumah, membuat jadwal belajar adalah tantangan tersendiri. Meskipun secara umum para pendidik rumahan menganut keyakinan bahwa anak-anak bisa belajar apa saja tanpa dibatasi waktu, namun kami sendiri menganggap jadwal tetap perlu, terutama untuk melatih kedisiplinan anak dan juga orang tuanya khusus untuk pelajaran-pelajaran tertentu yang butuh konsistensi.

Adapun jadwal harian kami yang diusahakan tetap dalam seminggu terakhir ini adalah sebagai berikut:
1. Setelah bangun pagi boleh nonton VCD, entah film animasi fiktif ataupun animasi yang bermuatan pelajaran. Mereka bebas tentukan sendiri sesuai persediaan CD yang kami miliki.

2. Setelah sarapan (sekitar jam 7.30) mereka Belajar IQRO, dan papanya yang mengambil peran sebagai tutor. Maklum, pagi-pagi ibu-ibu masih punya banyak urusan sisa sehabis memasak.

3. Jam 8.00 anak-anak diajak keluar untuk memanaskan badan, entah bermain sepeda di lapangan, atau mengurusi tanaman bersama saya. Yang jelas, targetnya adalah membuat tubuh mereka terkena sinar matahari pagi dan bergerak.

4. Sekitar jam 9 atau 9.30 kami mulai masuk naungan. Istirahat sebentar.

5. Acara berikutnya adalah belajar hal-hal yang sifatnya terstruktur. Pelajaran yang sedang ditempuh secara terstruktur saat ini adalah matematika untuk Azkia dan membaca untuk Luqman adiknya. Kami biasa belajar di teras depan, karena suasananya lebih asyik, bisa sambil melihat tanaman dan menghirup udara segar.

6. Biasanya kami menghabiskan waktu belajar seperti ini hingga adzan dzuhur berkumandang.

7. Sehabis sholat dzuhur dan makan siang, anak-anak boleh melakukan kegiatan bebas. Mau menggambar, mau bikin-bikin hasta karya, mau mengisi worksheet, teka-teki, ataupun hanya membaca buku. Karena panas sudah sangat terik di siang hari, semua kegiatan dilakukan di rumah.

8. Menjelang sore, anak-anak biasa keluar lagi, ngoprek air, ber-eksperimen ini dan itu di luar rumah sampai tiba waktu mandi.

9. Saat hari sudah gelap, sesudah shalat Isya anak-anak bersiap untuk tidur. Selain minta diceritakan kisah-kisah atau dongeng oleh papanya, sebuah buku pasti sudah mereka siapkan. Luqman mengambil buku kesukaannya, dan sekarang sedang tertarik untuk dibacakan berulang-ulang buku berjudul ALAM. Azkia sudah jadi pembaca. Dia akan asyik dengan bacaannya sendiri menjelang tidur.

10. Pengetahuan-pengetahuan populer yang bisa diperoleh dari membaca buku tidak menjadi fokus kami. Saya percaya, anak-anak mendapatkan input yang lebih banyak dari yang kami perkirakan dengan membaca buku sendiri.

Bedanya dengan sekolah formal, kami tidak membuat ulangan-ulangan tertulis untuk mengetes ingatan mereka tentang isi buku. Kami hanya sering mengajak mereka mengobrol sehingga mereka terkoneksi dengan pengetahuan yang sudah mereka dapat sebelumnya.

Ya, begitulah sharing kami tentang pembuatan jadwal belajar. Setiap keluarga pasti punya ritme yang berbeda-beda. Selamat berkreasi!

Kamis, 06 Agustus 2009

Stiker Berpola Daun

Kegiatan kami hari Kamis kemarin adalah membuat stiker dengan corak daun. Cetakan daun kami peroleh dari daun asli beberapa tumbuhan di halaman rumah. Ada daun tapak dara, kacapiring, mondokaki, daun puring, sledri, ginseng, dan daun tumbuhan alamanda.

Daun-daun itu direkatkan pada karton duplek, digambar polanya, lalu digunting. Pola yang mereka peroleh bisa dicetak di atas kertas stiker, lalu diwarnai sesuka mereka.

Nature Study, dari Siapa Anak-Anak Belajar?

Di sekolah, secara makro anak-anak mungkin mendapatkan pelajaran tentang dampak penggundulan hutan, timbulnya erosi, lalu datanglah banjir merusak desa-desa di bagian bawah gunung atau bukit. Demikian juga tentang dampak sampah yang dibuang sembarangan ke sungai, anak-anak SD pun pasti sudah tahu.

Tapi, cukupkah pengetahuan itu memberikan suntikan kesadaran sehingga anak-anak mau berkontribusi melestarikan dan merawat alam ini? Idealnya, pengetahuan tentang alam mampu mendorong tindakan nyata dari anak-anak, setidaknya dalam sebuah tindakan kecil, seperti menanam satu tumbuhan di halaman rumahnya untuk menyumbangkan sedikit pasokan oksigen bagi kehidupan manusia.

Tanpa menyuntikkan visi mengapa sesuatu itu dipelajari, pelajaran akhirnya menguap hanya menjadi awan pengetahuan yang tak sanggup berubah menjadi hujan tindakan.

Keluarga adalah harapan terakhir ketika pendidikan formal benar-benar hanya menjadi sebuah formalitas yang tak berkesan. Sekian tahun ke depan, apakah anak-anak kita akan menjadi manusia yang peduli dengan kelestarian alam ini? Keluarga-lah yang mampu membuatnya demikian.

Bukankah anak-anak ibarat tanah liat? Mereka masih bisa dibentuk menjadi apapun. Pikiran dan antusiasme mereka bisa diarahkan menuju apapun. Tugas orang tua-lah membawa mereka memasuki pengetahuan dan pemahaman yang mulia.

Jangan tunda lagi... Nature Study adalah salah satu basis pengetahuan yang akan membuat anak-anak kita arif dan ramah berperilaku terhadap alam tempat ia hidup. Dan orang tua bisa mengambil peran sebagai fasilitator anak-anak untuk memperlajari hal itu.

Sebuah perenungan mendalam tentang fungsi orang tua bagi anak-anaknya.

Rabu, 05 Agustus 2009

Geografi dan Peta

Berbekal buku Geografi dan Peta dari Educational Tecnologies Limited untuk memperkenalkan konsep peta dan free resource dari www.eduplace.com, Rabu (5/8) anak-anak belajar tentang peta. Tidak muluk-muluk, untuk anak usia 5 dan 7 tahun kami cukup memperlihatkan gunanya peta dan mencoba membuat peta sederhana dengan objek rumah kami sendiri.

Saya tahu, awalnya mereka rikuh tak berminat, karena dalam bayangan mereka pastilah belajar tentang itu tak akan menarik. Akan tetapi, setelah mencoba membuat denah rumah, dan mereka diajak untuk mencari tahu di mana letak ruang tamu, dapur, kamar tidur, kamar mandi, dan letak benda-benda milik mereka, akhirnya mulailah wajah antusias muncul.

Hari ini dan beberapa hari berikutnya, mereka akan terus diajak memahami peta secara langsung. Papanya mengajak mereka keluar menjelajah pesawahan dan saya kira itu momentum yang tepat untuk menerapkan konsep peta dalam dunia nyata.

Sabtu, 25 Juli 2009

Pendidikan dan Percakapan

Anak-anak memang tak terhentikan. Gejolak untuk mencoba apa yang mereka pikir asyik untuk dicoba ternyata memang luar biasa besar, walaupun yang mereka coba mungkin membuat orang tuanya sedikit 'gusar'. Saya tak yakin bisa menghentikan mereka saat rasa ingin mencoba itu datang. Larangan hanya didengar beberapa detik lalu menguap ditiup angin. Dan sesungguhnya, tanpa alasan yang kuat saya malah mati kata untuk melarang.

Pagi ini pun mereka sedang mencuri kesempatan bermain di antara pasir sisa bahan bangunan. Saya memilih untuk tidak melarang mereka, karena jikapun mereka berhenti bergumul dengan pasir, mereka akan pindah bermain "tepung" tanah yang melimpah di tepian kebun. Dan itu jauh lebih buruk, karena debu-debu tanah itu akan menghambur terisap atau menerpa wajah dan rambut mereka.

Permainan mereka berdua di atas pasir biasanya tak lepas dari percakapan pura-pura yang sebenarnya menarik untuk disimak. Mereka sedang membuat jalan kereta api, membuat gunung, dan Luqman bilang bahwa rumahnya adalah matrial. Ya, anak lelaki saya itu memang begitu takjub saat pertama kali dibawa papanya pergi berbelanja bahan bangunan. Matanya langsung "scanning" melihat semua yang ada di toko bangunan (matrial) dan mulai bertanya ini dan itu.

Lalu, di tempat yang berbeda, di lapangan rumput dekat rumah kami beberapa anak sekolah main layangan. Dan apa yang saya dengar dari mereka? Berhamburan kata-kata kotor bersahut-sahutan. Nama-nama binatang bergantian disematkan pada lawan bicaranya.

Dari manakah anak-anak itu mendapatkan kosa kata yang sungguh tak nyaman untuk didengar? Di sekolah kah ataukah di rumahnya? Yang jelas, menurut saya kosa kata adalah produk pendidikan. Pendidikan bisa dilakukan di mana saja, di sekolah atau di rumah tidaklah ada bedanya. Namun salahkah jika kami memilih mendidik sendiri anak-anak kami di rumah dan memilihkan teman yang baik untuk mereka karena kami ingin mereka punya kosa kata yang baik, cara berpikir yang baik, dan teman bergaul yang baik?

Selasa, 21 Juli 2009

Hidup Sederhana

Tingkat perekonomian keluarga yang meningkat biasanya mau tidak mau akan berimbas pada perubahan gaya hidup. Jika sebelumnya selalu menimbang dan memilih dengan selektif apapun yang hendak dibeli, setelah ekonomi meningkat kita jadi sembarangan berbelanja. Tak peduli mahal asalkan kita mau, ya beli saja!

Mengingat keluarga adalah pusat pembentukan karakter dan juga gaya hidup anak-anak, maka sesungguhnya sangat diperlukan konsep yang kuat dalam memilih model perilaku hidup yang akan dijalankan. Anak-anak akan menjadi duplikat orang tuanya dalam model kehidupan, kecuali ada keberuntungan mereka menemukan model sendiri di luar kebiasaan keluarganya.

Hidup sederhana adalah satu model yang menurut saya tak boleh berhenti untuk ditularkan pada anak-anak. Tak peduli kita sedang berekonomi kuat ataupun sedang dan juga lemah, latihlah diri kita dan juga anak-anak untuk tetap sederhana. Sederhana bukanlah berarti menyiksa diri, melainkan berusaha ada di pertengahan. Dengan begitu, kita dan anak-anak akan selalu menikmati hidup, meski di zona ekonomi manapun kita berada.

Contoh kongkret latihan buat anak-anak adalah:

Kebiasaan Makan
Biasakan anak-anak makan makanan buatan sendiri yang sederhana tapi sehat (Mungkin tempe, tahu, telur, dan sayuran), bahkan sesekali ajarilah anak-anak untuk makan makanan seadanya yang tersedia di dapur ketika mereka lapar.

Berpakaian
Sentuhlah jiwa sederhana anak-anak dengan kebiasaan berpakaian yang juga sederhana. Tanamkan rasa percaya diri anak bukan pada pakaian yang berharga mahal, sehingga mereka tak perlu minder dengan pakaian yang mereka kenakan hanya karena harganya murah. Sikap konsumtif salah satunya terlahir dari keinginan untuk berpakaian yang mahal bukan?

Mainan
Mainan disinyalir merupakan item yang cukup menghabiskan dana yang besar dalam memenuhi kebutuhan anak, terlebih kini sedang populer sosialisasi pentingnya mainan edukatif. Harganya bahkan bisa mencapai jutaan rupiah jika berasal dari luar negeri. Orang tua yang permisif, biasanya ikut maunya anak-anak membeli mainan ini dan itu, walaupun harganya menguras isi kantong.

Sesungguhnya mainan edukatif tak selalu harus mahal dan tak selalu pula harus dibeli. Isi rumah kita tak jarang bisa sekaligus menjadi mainan edukatif yang murah. Tak percaya? Contohnya saja perabotan rumah tangga. Kalau di toko mainan ada seperangkat cooking toys, maka mengapa tak pakai saja the real cooking ware yang kita miliki. Kalau perabotannya dalam keadaan bersih, anak-anak bisa juga kok memainkan wajan, panci, piring plastik, sendok, garpu, dll.

Dalam konteks mengajarkan hidup sederhana pada anak-anak, semuanya pada akhirnya akan merangsang kreativitas kita sebagai orang tua dan tanpa sadar akan menular pada anak-anak.

Saya sering secara sengaja "mengamankan" kotak mainan anak-anak ke atas lemari. Hasilnya, setelah mereka sedikit kelimpungan pada awalnya, tapi kemudian otot kreatif mereka sepertinya mulai bekerja. Mereka akan ambil selotip, spidol, kertas-kertas, cari gunting, cari kardus bekas atau botol-botol bekas air mineral, cari benang, dan lain-lain. Lalu mereka sibuk mengoprek semua itu hingga jadi sesuatu yang bisa dimainkan. Setelah diperhatikan, nyatanya mereka bisa lebih asyik dengan alat bermain yang mereka ciptakan sendiri.

Hidup sederhana itu sebenarnya indah buat mereka yang menghayatinya. Saya sendiri berharap anak-anak bisa merasakan indahnya hidup sederhana. Karena itulah saya berusaha mengajari mereka untuk memiliki sikap itu sedari mereka kecil.

Salam pendidikan!

Minggu, 19 Juli 2009

Pestisida

Dalam perjalanan pulang dari museum geologi (Minggu, 19 Juli), sehabis acara launching Asosiasi Praktisi Pendidikan Rumah (ASPIRASI) wilayah Bandung, anak saya Luqman duduk di samping saya. Ia sempat tertidur di bis, tapi di jalan tol ia terbangun. Matanya langsung segar. Mungkin karena melihat pesawahan di sepanjang jalan.

Tak berapa lama setelah itu, anak saya tiba-tiba berkata, “Mama, coba kita punya penyemprot pestisida…”

“Kenapa?” Tanya saya.
“Supaya tanaman-tanaman tidak dimakan hama” katanya.

Pernyataan anak saya itu tiba-tiba menyadarkan saya, bahwa dia sedang ingin tahu. Dan anak HE bisa belajar di mana saja, tak terkecuali di bis. Inilah saatnya mentransfer pengetahuan tentang apa itu pestisida dan apa bahayanya. Dia memang masih 5 tahun, tapi justru karena masih 5 tahun setiap informasi akan jadi lebih melekat, bukan?

Saya pun jadi cerita tentang untuk apa pestisida dibuat dan apa bahayanya pestisida jika termakan oleh makhluk hidup. Saya jadi cerita tentang bukunya Rachel Carson “Silent Spring”, yang mengisahkan tentang musim semi yang jadi sepi karena burung-burung sudah tak lagi dapat bersuara. Mereka sakit bahkan mati, karena makanan yang mereka makan sudah banyak mengandung racun pestisida.

Saya pun bilang pada anak saya, “Itulah kenapa kita menanam sayur sendiri di kebun… Supaya sayur yang kita makan tidak mengandung pestisida. Sayuran yang dibeli di pasar biasanya selalu disemprot pakai pestisida oleh para petaninya”.

Anak saya terdiam menyimak. Kemudian dia bertanya, “Kenapa para petani memakai pestisida?”
“Mungkin karena mereka tidak tahu bahayanya,” ujar saya.
"Kalau Ateu (Maksudnya tantenya yang kuliah di jurusan Hama Penyakit Tanaman)?"
Saya bilang, "Ateu pake pestisida untuk belajar..."

Setelah bis mulai keluar dari tol Cileunyi dan berbelok ke arah Jatinangor, Luqman tiba-tiba berseru, “Kalau kita punya sawah, kita akan menanam padi-nya nggak pake pestisida. Jadi, kalau ada burung-burung yang makan padi kita, mereka nggak mati!”

Duh… jadi haruuuuu banget hati ini mendengar kata-katanya. Berarti dia, anak yang kemarin (18 Juli) berulang tahun yang ke- 5 itu mengerti apa yang dikatakan ibunya. Semoga pengetahuan dan pemahaman itu membekas hingga ia dewasa.

Jumat, 03 Juli 2009

Film Alternatif Lebih Ramah Anak



Semua orang tua pasti miris melihat tayangan televisi yang mayoritas tidak cocok untuk anak-anak. Selain tayangan orang dewasa pada jam anak-anak, ternyata masalahnya juga terdapat pada pilihan film-film anak yang kebanyakan miskin nilai edukasi positif.

Tak perlulah disebutkan apa saja film-film semacam itu, yang jelas ciri-ciri umumnya meliputi: Menampilkan adegan kekerasan dan mengekspos kata-kata 'kotor' (misalnya: Bodoh! Brengsek! Kurang ajar! dan kata makian lainnya).

Memindahkan kesenangan anak dari menonton pada kegiatan membaca buku memang paling ideal. Akan tetapi tak semudah itu memindahkan minat anak yang sudah terlanjur maniak nonton. Selain itu, sebenarnya juga tak ada salahnya anak-anak menonton jika tontonannya bermanfaat dan tidak berlebihan durasinya.

Nah, info ini mungkin berguna buat teman-teman sesama orang tua yang belum tahu tentang alternatif film yang lebih "ramah" anak, tentunya sebagai pengganti tontonan televisi yang kini makin riskan. Berikut daftar film-film-nya:

1. Postman PAT (Cerita boneka tentang seorang tukang pos yang baik hati, suka menolong, dan kreatif. Terdiri atas beberapa seri. (Harga Rp. 15.000, kecuali sedang discount bisa 10 ribuan)

2. Bob The Builder (Cerita boneka seputar kegiatan membuat bangunan), terdiri atas beberapa seri. (Harga Rp. 15.000--- kecuali sedang discount bisa 10 ribuan)

3. Aku Anak Jenius (Seri ilmu pengetahuan animasi yang menarik. Belajar sains jadi asyik dan tidak membosankan), terdiri atas beberapa seri. (Harga Rp. 12.500 atau 10 ribuan kalau discount)

4. VCD edutalk Bahasa - berbagai bahasa: Inggris, Jepang, Arab(harga agak lebih mahal tapi variatif. Kelebihannya: memakai native speaker sehingga bisa melatih spelling anak-anak menjadi lebih baik)

5. Serial I Can Speak English (Harga 50 ribuan, isi 2 atau 3 CD. Isinya campuran film animasi dan dialog anak-anak oleh native speaker)

6. Edu-games Bobi Bola (VCD interaktif animasi yang cukup mendidik, harga agak lebih mahal)

7. Serial Tupi dan Ping (Kategori: film animasi Islami)

8. Serial Fireman Sam (Film boneka tentang sebuah tim Pemadam Kebakaran yang dipimpin oleh Sam yang kreatif dan senang mengajari anak-anak)

Mungkin banyak film lainnya yang kami belum tahu. Pada prinsipnya, meski mungkin akan terasa mahal jika membeli seri-seri film itu sekaligus, tapi kita bisa mencicilnya. Beli 1 VCD untuk 1 minggu atau mungkin 2 minggu atau mungkin 1 bulan. Jangan khawatir anak-anak bosan, toh film-film animasi di televisi juga biasanya terus diulang-ulang sampai beberapa kali untuk satu judul.

Berinvestasi sedikit untuk isi otak anak-anak jauh lebih baik daripada segalanya murah meriah di TV tapi merusak mereka di kemudian hari. Setuju?! :)

Selasa, 30 Juni 2009

Mengunjungi Kebun Sayur

Jalan-jalan melihat kebun sayur sangat mengasyikkan. Anak-anak jadi tahu rupa tumbuhan sayur secara langsung. Saya sering mengajak mereka melihat-lihat kebun sayur di belakang komplek rumah kami di Tanjungsari.Dengan sepatu bot, menyandang tas dan payung, serasa deh akan berpetualang.

Beberapa waktu lalu kami juga berkunjung ke Balai Penelitian Tanaman Sayuran(BALITSA) Lembang. Memang tidak semua sayuran kebetulan bisa dilihat. Sebagian sayuran seperti kentang dan wortel baru saja dipanen.

Minggu, 14 Juni 2009

Pendidikan Informal

Homeschooling atau yang di-Indonesiakan menjadi sekolahrumah, merujuk pada UU No. 20 tahun 2003 terkategori sebagai pendidikan informal. Apa artinya? Pendidikan informal adalah pendidikan yang dilaksanakan oleh keluarga dan lingkungan. Kedudukannya setara dengan pendidikan formal dan nonformal.

Hanya saja, jika anak-anak yang dididik secara informal ini menghendaki ijazah karena berniat memasuki pendidikan formal pada jenjang yang lebih tinggi, maka peserta pendidikan informal bisa mengikuti ujian persamaan melalui PKBM atau lembaga nonformal sejenis yang menyelenggrakan ujian kesetaraan.

Pendidikan informal selama ini memang kurang dikenal oleh masyarakat, padahal inilah model pendidikan paling 'buhun' (kata orang Sunda) atau klasik. Orang tua jaman dulu, saat sekolah belum ada, hanya punya satu pilihan untuk mendidik anak-anak mereka, yaitu dengan mendidik sendiri. Kalaupun anak-anak berguru pada orang lain, itu dilakukan untuk menguasai keterampilan khusus lain yang tidak dikuasai orang tuanya. Pondasi pendidikan tetap berpusat pada keluarga.

Nah, bagaimana peran pendidikan informal bagi perubahan bangsa ini menjadi lebih baik? Saya kira hal itu akan sangat signifikan. Apalagi jika hal itu didukung oleh pemerintah, menguatnya kesadaran keluarga untuk menanamkan pondasi pendidikan di rumah akan membuat anak-anak memiliki memiliki visi hidup yang jelas, rasa optimis dengan masa depan, dan memiliki sikap hidup yang lebih posisitf karena berada dalam dukungan keluarga yang peduli dengan mereka secara keseluruhan.

Hal paling khas yang menjadi nilai lebih pendidikan informal dibandingkan model pendidikan lainnya adalah, kemungkinan yang lebih besar akan tergali dan terkelolanya potensi setiap anak secara maksimal. Bayangkanlah, banyak anak-anak yang bersekolah di sekolah formal, dengan aneka pelajaran dijejalkan pada mereka, ternyata pada akhirnya membuat mereka tak punya keterampilan mendeteksi bakat mereka sendiri, dan akhirnya mereka terjebak pada kebingungan memilih bidang kehidupan yang akan mereka jalani.

Ada yang kuliah jurusan Sastra Jerman tapi akhirnya jadi Bankir. Ada yang kuliah di jurusan Ekonomi, setelah lulus malah jadi artis. Begitu banyak kasus-kasus di mana orang menjalani bidang kehidupan dan pekerjaan yang tidak sesuai dengan bidang yang ditekuninya di sekolah. Mengapa bisa begitu?

Saya percaya bahwa itu disebabkan karena anak-anak tidak dapat menyadari talentanya sedari awal. Seringnya talenta ditemukan di luar gedung sekolah. Padahal jika orang tua menyadari dan anak-anak pun mampu menemukan bakat mereka sejak kecil, hasilnya pasti akan berbeda.

Mau mencoba?
Pendidikan informal tak buruk untuk dilirik oleh mereka yang menghendaki perubahan yang sangat mendasar dari generasi muda bangsa ini.

Selasa, 26 Mei 2009

Belajar Bercocok Tanam

Dulu, anak-anak ikut berkebun bukanlah hal yang istimewa. Tanpa disuruh dan juga diprogramkan khusus, anak-anak di kampung dengan sendirinya berbaur dalam kegiatan berkebun orang tua mereka. Tetapi sekarang, bukan hanya anak-anak kota yang tak kenal dengan aktivitas ini, anak-anak kampung pun sudah meninggalkan kebiasaan bercocok tanam dan mengganti mainan mereka dengan play station.

Sekolah formal kurang bisa diharapkan dalam membentuk kebiasaan bercocok tanam murid-muridnya, maka orang tua-lah yang masih mungkin menanamkan kecintaan terhadap bidang yang satu ini.

Kami telah mencobanya di rumah dengan anak-anak, dan hasilnya alhamdulillah cukup menggembirakan. Banyak pula pelajaran yang kami dapatkan. Kami berharap, kelak mereka terbiasa "menghijaukan" lingkungannya:



Kamis, 09 April 2009

Mitos tentang Belajar

Bertahun-tahun lamanya sejak sekolah lahir, hakikat belajar lambat laun terselubungi mitos-mitos yang mendukung keberadaan institusi tersebut. Apakah itu? Jeanette Vos dalam bukunya yang padat berisi, berjudul The Learning Revolution menuliskan 4 hal, yaitu:

1. Sekolah adalah tempat terbaik untuk belajar
2. Kecerdasan bersifat tetap
3. Pengajaran yang menghasilkan pembelajaran
4. Kita semua belajar dengan gaya yang sama.

Kini, bahkan di sekolah sekalipun, sedikit demi sedikit konsep tentang belajar seperti 4 mitos di atas semakin ditinggalkan. Meski masih "terbata-bata" menerjemahkan paradigma belajar yang lebih menyenangkan, banyak sekolah, khususnya sekolah swasta memberlakukan cara belajar mengajar yang lebih dinamis: Buku pelajaran full color, tempat belajar ditata penuh warna, guru yang bersahabat, metode mengajar berbasis konsep multiple intelligence, dan hal-hal menyenangkan lainnya.

Akan tetapi, ternyata tak semua orang bisa memasuki wilayah belajar senyaman itu, karena kenyamanan yang diperoleh tak bisa dibayar hanya dengan senyuman, melainkan harus dengan merogoh uang jutaan. Sanggupkah?

Terlepas dari sanggup ataupun tidaknya kita mengeluarkan dana jutaan untuk sekolah yang nyaman, saya justru menemukan esensi penting dari semakin gugurnya mitos belajar seperti dikatakan Vos. Menurut saya, sejak jaman dulu, saat sekolah belum se-eksis sekarang, belajar bukanlah pekerjaan, sehingga seseorang yang ingin belajar harus tunduk pada sebuah birokrasi kerja. Belajar adalah kebutuhan hidup yang dengannya manusia bisa menjadi manusia mandiri. Karena itulah, orang seharusnya bisa belajar di manapun mereka menemukan sesuatu yang pantas, yang menarik, atau yang berguna untuk dipelajari.

Bukankah kisah-kisah para pencari ilmu di masa lalu memang lebih seru. Saking menariknya, sampai-sampai bisa dibuat serial cerita pengembaraan berpuluh atau bahkan beratus-ratus episode. Para pencari ilmu mengembara dari satu tempat ke tempat lain, mencari guru-guru yang faqih di bidangnya masing-masing, lalu kembali pulang sembari mengamalkannya di sepanjang perjalanan.

Saya rasa, kini pun hal semacam itu masih relevan dan akan terus relevan sepanjang waktu. Modal pentingnya hanyalah satu, yaitu Semangat untuk Belajar. Tanpa semangat belajar, anak lulusan sekolahan pun acapkali tergagap-gagap melihat realitas hidup, karena sesungguhnya mereka tak boleh berhenti belajar jika berniat mengarungi dunia nyata. Selama anak-anak tak kehabisan semangat belajar, mereka akan terus menjadi pembelajar mandiri di manapun mereka berada, dan mereka Insya Allah akan sanggup menghadapi tantangan hidup.

Masih percaya mitos?

Senin, 06 April 2009

Back to Homeschool (editted)

Hampir seumur Azkia (6,5 tahun) kami mempertimbangkan bolak-balik tentang model pendidikan apa yang cocok buat anak kami. Setelah membaca banyak literatur, pilihan pun mengerucut pada homeschooling. Akan tetapi, seiring usia anak kami yang sudah siap masuk SD, kami benturkan kembali opsi tersebut dengan berbagai pertanyaan dan argumentasi, agar keputusan kami benar-benar bisa dipertanggungjawabkan, dan kami tidak menyesal karenanya. Karena itulah, kami membuka peluang untuk juga mempertimbangkan sekolah formal.

Saya pun menyambangi sekolah swasta Islam sebagai pilihan pertama buat Azkia. Letaknya di kawasan Jatinangor, biar deket dari rumah. Secara keseluruhan, kurikulum berikut testimoni orang tua yang saya dapatkan, sekolah itu cukup bagus, berwawasan keislaman, dan juga maju dari sisi konsep belajar mengajar. Namun sayangnya, ternyata pilihan jam belajar cuma satu yaitu fullday. Dan itu menjadi poin yang memberatkan buat kami. Saya tidak berkarir di luar rumah karena ingin lebih banyak bersama anak-anak, dan kalau pada akhirnya anak bersekolah sepanjang hari, apalah gunanya pilihan saya itu. Sama saja, kami jadi jarang bertemu dan berinteraksi.

Selesai dengan satu sekolah, saya pun cari info sana- sini tentang SD negeri, yang jam belajarnya cukup pendek. Memang, secara biaya, bersekolah di sekolah negeri sangat menyenangkan, program SPP gratis itu memang sudah berlaku di tempat kami tinggal. Namun kembali ada yang mengganjal,kondisi SD negeri, ternyata tak pernah jauh berubah dengan apa yang sudah saya tahu selama ini (anak-anak ribut di kelas karena gurunya jarang masuk, pe er setiap hari, dan masih berkutat dengan kesulitan calistung di kelas 1 dan kelas 2). Konsentrasi guru terpecah pada begitu banyak anak, sehingga KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) hampir bisa dipastikan tidaklah efektif.

Sulit memang untuk memilih, tapi kami harus memilih. Setelah dipertimbangkan ulang, untung - ruginya sekolah, tujuan sekolah, dan mendaftar berbagai kekhawatiran jika tidak bersekolah formal, kami akhirnya memutuskan untuk kembali menjalankan homeschooling.

Yah! Lega sudah dengan keputusan bulat itu. Artinya, langkah kita akan terus maju. Kami ingin anak-anak memiliki pengalaman lebih banyak dan beragam dalam hidup mereka: Tidak dibatasi bel sebagai batas pelajaran, tidak pula dibatasi ujian untuk mempelajari hal-hal yang lebih menantang. Waktu mereka bisa dipakai untuk hal-hal yang lebih terarah.

Sejauh ini, homeschool bisa membuat kami fleksibel dalam mempelajari apapun. Kalau pusat kegiatan pendidikan dan keterampilan selalu di kota besar semisal Bandung dan kami harus tergantung dengan itu untuk membuat anak-anak kami memiliki keterampilan tertentu, duh rasanya kini sudah bukan jamannya lagi. Sumber pengetahuan melimpah di internet dan kami bisa mengaksesnya di mana pun, belajar bisa dengan siapa saja, tak mesti harus di sekolah.

Back to homeschool. Moga keputusan ini memang yang terbaik buat kami dan anak-anak.

Minggu, 05 April 2009

Ketika Puteriku Ketemu Para Penulis

Hari Sabtu, 4 April 2009 saya dan Azkia puteri saya hadir di acara Gathering milis Penulis Bacaan Anak. Alhamdulillah, selain saya mendapat pencerahan dan bisa silaturahmi dengan teman-teman para penulis dan juga editor, kegiatan sosialisasi buat Azkia juga nambah nih!

Anak saya memang suka jaim (jaga image) pada awalnya, tapi saya tahu dia sebenarnya senang bisa bertemu dengan penulis buku-buku yang sudah dibacanya. Ada Ana Puspita Dewiyana dari Pelangi Mizan (yang kebetulan teman baik saya), ada Ali Muakhir yang buku hasil karyanya cukup bertebaran di rumah, ada Benny Ramdhani, Ryu Tri, dll. Eh ya, meski malu-malu malah Azkia berfoto dengan Kak Andi Yudha yang kocak itu.

Satu hal yang saya tahu akan dia kenang dengan indah suatu saat nanti, adalah tanda tangan penulis yang dibubuhkan di bukunya. Kebetulan seminggu sebelumnya saya membelikan sebuah novel anak karya Chris Oetoyo buat dia. Sudah berulang-ulang dia membacanya dan Mas Chris ternyata datang di acara kemarin. Langsung aja deh saya mintakan tanda tangan beliau.

Ya, begitulah "reportase" kegiatan kami di minggu pertama bulan April ini. Azkia pasti tak akan melupakannya, apalagi, pas acara foto bersama, dia ikut jadi fotografer, lho. Tetap semangat deh!

Kamis, 19 Maret 2009

Radang Gusi dan Tanaman Obat

Tiba-tiba gusi saya bengkak dua hari yang lalu. Rasanya sakitnya menyebar ke kepala dan leher. Sungguh penyakit yang tak diundang ini membuat saya tak bisa beraktivitas seharian kemarin. Rencana pergi ke Bandung juga batal gara-gara sakit kepala yang luar biasa. Sudah bertekad untuk menahan diri dari meminum obat kimia, saya pun buka referensi tentang obat radang gusi dari bukunya Prof. Hembing.

Selalu, meski saya sudah berkali-kali merasakan efektivitas obat herbal, rasa tak yakin terkadang muncul juga. Tapi saya paksakan saja mengikuti salah satu resep yang bahan-bahannya tersedia di pekarangan.

Obat Luar (Obat Kumur)
10 Lembar daun sirih direbus dengan 4 gelas air hingga tersisa 2 gelas. Campurkan 1/2 sendok garam lalu berkumur-kumur dengan larutan tersebut sekurang-kurangnya 5 kali sehari.

Obat Dalam (Obat yang Diminum)
2 buah empu kunyit (bagian kunyit yang bentuknya bulat) yang diiris tipis dan segenggam sambiloto segar direbus dengan 3 gelas air hingga tersisa 1 gelas. Campurkan satu sendok madu untuk setengah gelas ramuan lalu minum.

Setelah beberapa kali berkumur dengan larutan sirih dan garam, saya merasakan benjolan di gusi saya mengeluarkan cairan. Saat saya periksa dengan kapas, ada darah bercampur nanah memenuhi kapas. Saya pun membersihkannya dengan kembali berkumur-kumur sampai bersih. Dan setelah meminum ramuan sambiloto - kunyit, saya tidur untuk menawarkan rasa sakit kepala yang belum juga hilang.

Ajaibnya, selang 20 menit kemudian, saat saya bangun, saya merasa migrain saya hilang. Rasa di kepala menjadi normal kembali. Subhanallah! Saya sungguh semakin memuji kebesaran Allah. Tumbuhan hasil ciptaan-Nya memang mampu menjadi penyembuh penyakit. Asalkan manusia percaya dan mau sedikit bersusah payah untuk meramunya, obat-obatan bisa didapat dengan mudah, aman, dan murah.

Semoga bermanfaat!

Rabu, 11 Maret 2009

Mengapa Kita Sekolah?

Bersekolah menyisakan kenangan buat kita semua yang pernah mangalaminya. Setidaknya, itulah salah satu sisi kehidupan yang kita singgahi hingga usia sekarang ini. Ada yang menyenangkan, ada pula yang menyedihkan, bikin sebel, dan tak sedikit bagian-bagian yang kita jalani di sekolah mempengaruhi pola berpikir kita hari ini. Tapi, pernahkah muncul pertanyaan: Mengapa kita bersekolah, dan apa yang kita nikmati dari sekolah?

Hari ini saya menyempatkan diri untuk mensurvey satu sekolah Islam di kawasan Jatinangor. Setidaknya, di usia si sulung yang sudah mencapai 6,5 tahun, saya berharap sudah punya keputusan yang jelas, apakah ia akan homeschooling saja ataukah diperkenalkan dunia sekolah formal.

Saya tidak bisa bilang bahwa pendidikan anak diwakili oleh istilah sekolah, baik sekolah rumah ataupun sekolah formal. Menurut saya, pendidikan mencakup keseluruhan proses hidup seorang manusia, baik di rumah maupun di lingkungan luar rumahnya. Seandainya pun seorang anak bersekolah formal, maka itu hanyalah bagian dari dunia di luar rumahnya, tak beda dengan kursus atau apapun kegiatan yang bisa menambah pengetahuan dan skill.

Oleh karena itulah, saya berencana mensurvey beberapa sekolah, yang sekiranya ada yang cocok untuk anak saya berkiprah, berkegiatan, dan menambah skill-nya, saya pun tak keberatan menanggalkan status homeschooler buat anak saya. Tak dapat dipungkiri, ada sesuatu yang tidak dapat tumbuh maksimal dalam diri anak saya jika saya memaksanakan diri menjalankan homeschooling, sementara dia ingin tumbuh bersama sekelompok teman atau lingkungan yang mengeksplorasi pertemanan.

Bagaimana dengan homeschooling?
Tak ada model pembelajaran yang sempurna tanpa kelemahan. Homeschooling, dalam definisi originalnya (yang tidak dilembagakan, tidak dikomersilkan) sesungguhnya memiliki banyak kelebihan dari sisi subjektif anak. Artinya, dengan homeschooling anak-anak bisa diarahkan pada hal-hal yang benar-benar ia sukai, orang tua bisa memilihkan materi ajar yang cocok, dan anak-anak juga sekaligus bisa didorong untuk menyukai banyak hal tanpa batasan kurikulum sebagaimana sekolah formal.

Banyak keluarga mampu menyiasati kurangnya intensitas bergaul dengan teman sebaya dengan memasukkannya ke lembaga kursus atau mengadakan acara bersama dengan keluarga homeschooling yang lain.

Nah! Buat saya sekarang, homeschooling ataukah sekolah formal bukanlah kata terakhir untuk merepresentasikan pendidikan anak-anak kami. Di mana pun, dengan cara apapun, andai tujuan kita melakukannya murni untuk kebaikan anak-anak kita, pendidikan dengan model apapun hanyalah sebuah alat untuk membuat mereka berkualitas sebagai manusia.

Semoga.

Senin, 09 Maret 2009

Menemukan Jamur

Alhamdulillah saya sudah sehat setelah seminggu kemarin terserang sakit lambung yang parah. Jadi, hari ini ke kebun lagi... Dan ternyata kami mendapatkan surprise lho. Kami menemukan jamur di dekat pagar bambu, berhadapan dengan pohon pepaya. Besarnya lumayan. Cukup untuk dua porsi kalau dijadikan sup.

Sebenarnya ini bukan kali yang pertama kami menemukan jamur di pekarangan rumah. Pada awal musim penghujan yang lalu, saat angin sedang kencang-kencangnya, kami menemukan jamur berdiameter lebih besar tumbuh di samping rumah. Seingat saya, dulu sewaktu jadi pemburu jamur di kampung, jamur jenis itu memang bisa dimakan. Tapi khawatir ingatan saya salah, saya pun menguburnya. Namun selang beberapa hari kemudian, seorang kakek penyabit rumput lagi-lagi menemukan jamur yang sama di rerumputan. Ia memberikan jamur itu pada saya, dan menyuruh saya memasaknya.

Waktu saya tanya si kakek, apakah jamur itu beracun atau tidak, dengan pasti dia bilang bahwa jamur itu enak untuk dimakan. Hmmm... Kebetulan kakeknya anak-anak mau datang, dimasak sajalah jamur itu, dan hasilnya memang tidak keracunan.

Orang Sunda menyebut jenis jamur yang kami temukan itu dengan sebutan Supa (Jamur) Suung. Permukaannya licin berwarna putih kecoklatan. Diameter 'payung'-nya beragam tergantung kesuburan tanah nampaknya. Dulu saya biasa menemukan jamur itu di antara anakan pohon pisang.

Satu hal yang saya herankan, anak-anak suka makan jamur itu, padahal sebelumnya paling nggak suka makan jamur walau dimasak dengan cara apapun. Mungkin karena hidup di alam dan diberi makan secara alami, jamur liar memang lebih komplit nutrisinya ya... Entahlah.

Selasa, 24 Februari 2009

Mengenal Tumbuhan Liar

Beberapa waktu lalu, kami sekeluarga berjalan-jalan ke pesawahan di belakang komplek. Meski judulnya jalan-jalan, tapi banyak hal anak-anak dapatkan dan pelajari dari kegiatan itu, dan salah satunya adalah menemukan banyak jenis tumbuhan liar yang berkhasiat obat.

Mungkin karena saya sering melihat-lihat koleksi buku tanaman obat di rumah, tanpa sadar anak-anak juga meniru kebiasaan saya. Setidaknya, mereka juga mulai tertarik menanyakan nama tumbuhan apapun yang mereka temukan di halaman.

Nah, perjalanan ke sawah ini menjadi ajang belajar yang menakjubkan menurut saya. Tumbuhan liar ada di mana-mana: Bandotan, patikan kebo, pecut kuda, sinyo nakal, pegagan, dan bahkan kami temukan ketepeng cina di tengah pematang sawah.

Meskipun saya tahu, anak-anak sedikit takut berjalan di pematang sawah yang licin, terlebih yang lebarnya kecil, tapi saya juga melihat mereka bahagiaaaa sekali. Dan saya lebih senang ketika mereka langsung memburu buku lagi untuk melihat profil lengkap tanaman yang kami temui di perjalanan. Karena membawa kamera saku, lumayan lah ada dokumentasi.

Kalau dulu semasa SMA saya mesti menulis dan menghafal nama-nama jenis tumbuhan, lengkap dengan ordo, spesies, dan lain-lainnya supaya bisa mengisi titik-titik saat ujian, sekarang anak-anak saya yang masih belum genap tujuh tahun justru mencari tahu informasi tentang tumbuhan karena mereka memang tertarik untuk tahu.

Tak heran, kan kalau kemudian salah satu permainan mereka sekarang adalah menanam tumbuhan liar. Dan suatu hari saya lihat ada sekuntum bunga Ki Tolod yang berwarna putih tertancap tanpa akar dan daunnya di salah satu bedengan sawi. Dengan bangga Luqman berkata, "Mama, tadi Ade menanam Ki Tolod. Jangan dicabut ya!"

Belajar Bersama
Tanggal 8 Februari lalu, sebenarnya Komunitas Belajar Bersama bermaksud untuk mengadakan pertemuan rutin dengan tema tersebut, tapi sayang cuaca sedang kurang bersahabat. Angin kencang melanda Tanjungsari.

Tapi Insya Allah, Minggu (1/3/2009) jadwal baru sudah disepakati. Teman-teman kami tercinta pun ternyata bisa menyempatkan datang. Tunggu "laporannya" ya :)

Jumat, 20 Februari 2009

"Sekolah" Masa Depan

Mungkin sudah yang ke sekian kalinya hal ini saya katakan: Betapa banyak inspirasi tentang pendidikan menjejali imajinasi saya gara-gara membaca buku Revolusi Cara Belajar. Oleh karena itu pula tak ada habisnya saya ingin ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak terkait di penerbit Mizan yang telah mempersembahkan buku inspiratif ini kepada pembaca di negeri ini, termasuk saya.

Malam ini, saat saya membuka-buka lagi halaman-halaman buku tersebut, saya menemukan paragrap tentang Dr.Pat Nolan. Beliau adalah seorang dosen senior bidang pendidikan dari Universitas Massey di Pinggiran Palmerston North- New Zealand. Pat Nolan menggabungkan rasa cintanya pada pendidikan dengan kecintaan untuk mengeksplorasi alam Selandia Baru: Sungai jernih, hutan, gunung es, dll.

Konsep yang ditawarkan Nolan adalah studi terpadu dengan dunia sebagai ruang kelas. Dia berkata bahwa pengajaran SMU "metode lama" terpisah dari dunia nyata. Setiap mata pelajaran terkotak-kotak dan terisolasi dalam satuan-satuan kecil, sehingga semuanya nampak demikian sempit. Padahal jika berbagai mata pelajaran dikait-kaitkan, entah itu matematika, geografi, fisika, kimia, dll, maka kita dapat memahami dunia dengan lebih baik.

Hal paling menarik dari pendapat Nolan adalah tentang kemungkinan munculnya solusi-solusi baru oleh sekolah, pada berbagai bidang kehidupan, jika proses belajar dilakukan di dunia nyata. Dengan mengubah cara mengajar menjadi lebih aplikatif, setiap siswa diajak untuk mengeksplorasi pengetahuan menjadi basis untuk menemukan jawaban atas persoalan-persoalan kehidupan dan bukan semata hanya sebuah teori yang dilupakan setelah lulus sekolah.

Kini, bahkan di tingkat perguruan tinggi di negeri kita, seringkali teori-teori yang diajarkan di ruang kelas mengangkang jauh dari dunia nyata. Mahasiswa berlomba mengejar target SKS tapi kemudian bingung saat hari pertama menyandang gelar sarjana. Mau kemana saya? Mau kerja apa saya? Jadi petani jelas tak mungkin masuk dalam daftar, meski ia seorang sarjana pertanian sekalipun. Lantas mau jadi apa?

Sebuah tanda tanya yang tak akan pernah berakhir. Akankah model "sekolah" dengan orientasi teoritis bisa menghasilkan lulusan yang mampu menghadapi kehidupan nyata dengan penuh rasa percaya diri?

Yuk, bikin sekolah alternatif!

Sabtu, 24 Januari 2009

Mengajari Anak Membaca: Sebuah Seni

Pengalaman ini bisa jadi tidaklah terlalu istimewa buat Anda, tapi saya pikir tak ada salahnya untuk dibagi, karena bukan tak mungkin ada para bunda atau ayah yang mengalami kesulitan serupa jadi terinspirasi setelah membaca cerita saya ini.

Putera saya Luqman (4,5 tahun) memang berbeda dengan kakaknya - Azkia (6,5 tahun). Pada usia 3,5 tahun Azkia sudah bisa membaca, sedangkan Luqman, di usianya yang mau menjelang 5 tahun masih belum terlihat berminat untuk bisa membaca. Dia memang senang dibacakan buku, tapi saya belum menemukan metode yang tepat, yang membuat dia antusias untuk belajar membaca.

Setiap hari saya selalu berpikir keras bagaimana caranya membuat Luqman mau belajar membaca, dengan metode apapun lah! Entah Glenn Doman, suku kata, atau yang lainnya. Terpenting dia mau secara sukarela tertarik untuk belajar. Beberapa kali saya rancang model belajar untuk anak bungsu saya ini, tapi hasilnya belum memuaskan. Mood dia untuk belajar yang satu ini sepertinya menguap sebelum dimulai.

Nah! Sore ini saya seperti dikejutkan oleh ide kecil yang tiba-tiba melintas. Sambil istirahat sehabis bersih-bersih halaman, saya jadi teringat bahwa anak saya ini sebenarnya gampang mengingat sebuah informasi jika disampaikan secara lisan. Meski ia sangat aktif bergerak, tapi dia mampu menyerap info lisan yang dia dengar. Artinya, dia seorang pembelajar haptik - auditori!

Saya panggil si kecil untuk sekedar bermalas-malasan dan mencoba satu model belajar yang terpikir begitu saja. Saya coba sampaikan pendekatan prinsip suku kata secara lisan tanpa teks terlebih dulu. Saya bilang, "De, kalau B ditambah A dibacanya BA, C ditambah A dibacanya CA, dan D ditambah A jadi DA". Lalu saya tes dia untuk membaca tiga suku kata itu sekaligus BA CA DA. Entah mengapa dia jadi tertawa.

Langkah berikutnya, saya masuk ke gabungan 3 konsonan di atas dengan vokal i, u, e, dan o. Hasilnya, dia mampu menyerapnya dengan baik. Lalu saya tes dia untuk membunyikan gabungan konsonan baru: F, G, dan H dengan 5 vokal... Hasilnya sungguh mengejutkan saya, karena ternyata dia mampu membacakannya dengan benar. Sungguh, bukan hanya saya yang senang, dia pun tertawa begitu gembira dengan kemampuannya itu.

Karena penasaran, saya pun minta dia mengambil balpoin dan kertas. Duh, dengan semangat si kecil berlari memenuhi permintaan saya. Saya cobakan di atas kertas titian suku kata yang sudah kami pelajari tadi, dengan harapan otaknya terkoneksi dari suara ke visual.

Dan.. subhanallah, kabut yang selama ini menyelimuti pemahamannya seolah mulai terkikis. Dia mengerti dan mulai bisa membaca suku kata yang tertera di atas kertas. Kejutan berikutnya, anak saya bilang setelah selesai belajar, "Mama, Ade lebih suka belajarnya nggak usah pake buku membaca (yang dibeli), ditulis aja pake pulpen sama Mama."

Nah, lho! Ternyata anak-anak seringkali tak bisa ditebak. Kita pikir dia suka buku bagus yang berwarna-warni, yang sengaja kita beli supaya dia tertarik, eh ternyata dia lebih suka tulisan orang tuanya, meskipun tulisan ayah atau ibunya mungkin jauh dari bagus. Begitulah saya melihat: Mengajar Anak-anak Membutuhkan Seni tersendiri.

Jumat, 16 Januari 2009

Mengejar Kupu-Kupu

Tak disangkal, saat paling asyik buat saya saat masih kanak-kanak dulu adalah bermain. Saya adalah produk kampung. Mainan saya juga jelas mainan ala kampung. Bermain petak umpet, menggali tanah, kucing-kucingan di lapangan rumput, memanjat pohon, dan menjelajah tepian sungai termasuk acara bermain yang paling sering saya lakukan. Lalu bagaimana dengan anak-anak saya?

Sangat besar keinginan saya agar anak-anak mengecap asyiknya bermain bebas seperti saya dulu. Saya kasihan melihat mereka hanya bisa bermain balok-balok atau bersepeda di jalanan komplek yang ramai dilalui kendaraan. Mereka jauh dari alam.

Namun sejak kami pindah rumah ke Tanjungsari, di mana lahan bermain masih cukup luas. Saya menemukan anak-anak saya mulai membaur dan menikmati suasana alami yang masih tersaji gratis di sekitar rumah. Mereka mulai bisa bermain bebas di bawah naungan langit biru yang berhiaskan awan putih berarak . Walaupun awalnya mereka terlihat ragu-ragu mengarungi rumput ilalang yang menghampar ramah, tapi lambat laun keberanian mereka tumbuh. Hal itu mungkin dipicu juga oleh keberanian anak-anak sekitar rumah kami yang setiap sore menghambur ke lapangan ilalang itu untuk mencabuti bunga-bunga rumput sebagai hiasan.

Dan pagi ini (17/1) saya dikejutkan oleh kemahiran anak bungsu saya. Setelah dia mengendap-endap di antara ilalang, tiba-tiba ia datang menghampiri saya. Dengan gembira ia membawa seekor kupu-kupu cantik berwarna kuning tua dengan bercak-bercak hitam di tepian sayapnya. Ia pun berteriak senang, "Mama, Ade berhasil menangkapnya!".

Saya lihat anak saya begitu bahagia dengan kemahiran itu. Saya pun bilang padanya agar melepaskan kembali kupu-kupu itu supaya mereka bebas. Setelah sedikit adu argumentasi, karena ia berisikeras tak mau melepas kupu-kupu itu, akhirnya anak saya rela kupu-kupunya dilepas. Saya ijinkan dia menangkap lagi hanya untuk melihat jenis dan warnanya saja sebentar. Setelah itu dia harus melepasnya lagi.

Sungguh, alam menghadiahi kami sumber belajar yang tiada taranya. Sehabis menangkap kupu-kupu, karena matahari sudah mulai naik, anak-anak masuk rumah dan si kecil Luqman menghambur tergesa-gesa untuk mengambil buku Dunia Serangga, mencari topik tentang kupu-kupu, lalu meminta kakaknya untuk membacakan.

Menyaksikan semua itu, semakin yakinlah saya bahwa belajar tidak ada hubungannya dengan anak-anak sekolah atau tidak, melainkan lebih dipengaruhi oleh cinta atau tidaknya mereka pada kegiatan belajar. Happy homeschooling!

Selasa, 06 Januari 2009

Kuat dan Mandiri

Apakah benar secara umum anak perempuan itu lebih manja daripada anak laki-laki ketika terluka? Entahlah, saya tak punya pembanding. Yang jelas, putri saya Azkia termasuk kategori itu.

Akan tetapi, kondisi sekitar rumah kami sekarang sedikit demi sedikit "memaksa" dia untuk berubah dan saya pun mengkondisikan dia untuk beranjak lebih kuat dan mandiri. Seperti pagi tadi (6 Januari 2009), saat adiknya Luqman masih berada di lapangan bersama papanya, Azkia pulang duluan. Wajahnya mengkerut, dan itu cukup membuat saya tahu bahwa ada apa-apa dengan dia. Dan samar-samar saya dengar Luqman berteriak dari lapangan, "Mama, kaki kakak terkelupas!"

Biasanya putri saya ini akan merengek kalau kaki atau tangannya tergores sesuatu, tapi tadi pagi saya mencoba untuk mencegah itu dengan bertanya lebih dulu, "Kakinya terkelupas, ya?". Dia pun mengangguk.

"Cuci kakinya sampai bersih. Ambil obat sendiri, ya!"
"Pakai apa, Mama?"
"Bisa bandotan, tanaman betadine, sirih, atau tanaman yang merambat di pagar itu", ujar saya.

Azkia pun melakukannya dengan semangat. Wajah murungnya mendadak berubah normal kembali. Saya menduga, ada dua hal yang membuatnya menjadi seperti itu: pertama, karena ia merasa diberi kepercayaan untuk mengobati dirinya sendiri, dan yang kedua, ia merasa menemukan momentum untuk mempraktekkan pengetahuannya tentang tanaman untuk mengobati luka.

Ya, begitulah rupanya. Sesungguhnya anak-anak merindukan dirinya menjadi mandiri, sementara orang tua seringkali menunda-nunda pemenuhan hasrat itu. Saya makin merasakan, memang tak mudah menjadi orang tua ideal yang memahami benar anak-anak kita.

Senin, 05 Januari 2009

Anak-Anak Lebih Survive

Halaman yang cukup luas untuk berlari membuat anak-anak saya benar-benar berlari tanpa kenal lelah. Kaki belepotan tanah, pipi dan hidung tak kalah kotornya. Mereka luar biasa senang saat melihat randa tapak menempel di ranting pohon jeruk. Luqman pun mulai berceloteh, "Padahal randa tapaknya ditanam, Kak."

Saat memasukkan tanaman ke lobang di halaman samping, saya mendengar Azkia pun menimpali, "Tapi, randa tapak itu gulma, De. Nggak usah ditanam, dia tumbuh sendiri."

"Gulma itu apa, Kak?" tanya adiknya.
Azkia pun menjawab, "Gulma itu bisa merusak tanaman." Percakapan terhenti sejenak karena saya menemukan sarang rayap dan memanggil anak-anak untuk menunjukkannya kepada mereka. Tautan pengetahuan pun terhubungkan. Bacaan tentang kehidupan rayap tampil di dunia nyata.

Setelah hampir dua minggu kami tinggal di Tanjungsari, begitu banyak hal yang kami temukan dan ada banyak pula yang berubah pada diri anak-anak. Mereka terlihat lebih berani mengeksplorasi lingkungan. Azkia yang sebelumnya takut-takut menyentuh serangga dan berjinjit saat menginjak rumput karena takut basah, sekarang tampak jadi berani.

Kulit anak-anak memang tampak lebih coklat karena sering tertimpa sinar matahari langsung. Tapi hebatnya, tubuh mereka justru menjadi lebih bugar. Harapan saya untuk membuat anak-anak lebih survive di alam ternyata mulai terlihat hasilnya. Alhamdulillah.

Tentang Saya

Saya, ibu dua anak. Anak-anak saya tidak bersekolah formal. Blog ini berisi pemikiran, hasil belajar, dan beberapa pengalaman.

Jika Anda menggunakan tulisan di blog ini sebagai referensi: (1) HARAP TIDAK ASAL copy paste, (2) Selalu mencantumkan link lengkap tulisan. Dengan begitu Anda telah berperan aktif dalam menjaga dan menghargai hak intelektual seseorang.