Artikel lain

Senin, 14 April 2008

Mendesak: Kurikulum tentang Ekologi

Lingkungan kita memang sudah rusak parah. Banjir yang nyaris setiap musim hujan melanda kota-kota besar adalah salah satu sinyal tentang betapa riskannya tempat hidup kita dan betapa urgennya penataan lingkungan harus diprioritaskan oleh pemerintah dan masyarakat. Tentu saja, untuk menjangkau wilayah masyarakat yang lebih luas kita butuh kapasitas yang memadai. Lagi-lagi yang paling mudah, mulailah dari keluarga, mulailah dari penanaman paradigma pada diri dan anak-anak kita. Masukkan masalah ekologi sebagai kurikulum wajib bagi anak-anak.

Ketika pemerintah Kodya Bandung lewat disdiknya menjadikan Pengetahuan tentang Lingkungan sebagai muatan lokal wajib di sekolah-sekolah, hal itu merupakan langkah yang sangat menggembirakan. Namun pada prakteknya, pasti akan selalu berurusan dengan konsistensi. Seberapa konsisten dan aplikatifnya muatan pelajaran itu diajarkan dan diterapkan di sekolah, maka sejauh itulah efektivitas mulok lingkungan hidup memengaruhi sikap seluruh komunitas sekolah.

Di rumah, bagi para pendidik rumah-an, kita bisa mempergunakan buku-buku tentang ekologi dan lingkungan sebagai referensi. Setelah saya pun membaca buku referensi yang membicarakan topik tersebut, sungguh saya seperti disadarkan kembali. Banyak yang sudah kita lalaikan, sehingga sangat mungkin anak-anak yang tidak pernah tersentuh dengan pengetahuan tentang pentingnya menjaga lingkungan juga akan melanjutkan kebiasaan kita yang tidak peduli itu.

Contoh kecil yang sebenarnya sangat dramatis ketika dikait-kaitkan adalah tentang penggunaan kertas. Hutan-hutan sudah makin berkurang, pasokan oksigen pun jauh menipis. Hal itu disebabkan karena pohon-pohon ditebang untuk memenuhi banyak kebutuhan manusia, salah satu di antaranya adalah kertas. Aplikasi kongkret yang terkait erat dengan fenomena itu adalah bagaimana upaya kita untuk menghemat kertas dan mengurangi ketergantungan terhadap kertas yang terbuat dari kayu. Solusi yang bisa dipilih adalah melakukan daur ulang kertas. Jangan buang kertas bekas! Cari tahu tentang teknik daur ulang kertas, dan cobalah untuk menjadikannya sebagai sebuah kebiasaan yang bahkan bisa mendatangkan penghasilan jika kita serius untuk menekuninya sebagai bisnis.

Hal lain yang sangat penting adalah bagaimana pengetahuan tentang keseimbangan ekosistem bisa memengaruhi sikap anak-anak jika kelak mereka menjadi para pemangku kepemimpinan. Kalau mereka tahu dan juga sadar betul dampak dari pembangunan yang tidak seimbang, di mana perijinan untuk gedung-gedung pusat perbelajaan jauh lebih mudah keluar daripada proyek penghijauan, maka hasilnya adalah: udara yang panas, iklim yang tak terprediksi, polusi yang menimbulkan penyakit, banjir, pasokan air tanah makin menipis, dan lain-lain.

Begitu banyak topik menarik yang bisa dikaji bersama anak-anak tentang lingkungan hidup. Saya percaya, bukan hanya anak-anak yang akan belajar, sesungguhnya kita pun ternyata perlu belajar lagi tentang apa itu lingkungan dan bagaimana seharusnya kita hidup dan berperilaku terhadap lingkungan, agar ia menjadi tempat hidup yang ramah bagi kita.

Salam pendidikan!

Kamis, 10 April 2008

Konsistensi: Cara Ideal untuk Belajar Mendalam

Seorang kerabat meminjam 2 buah VCD ilmu pengetahuan milik kami. Anak-anak sudah beberapa kali menonton VCD itu dan selalu antusias, bisa bertahan duduk sampai selesai. Namun sayangnya, hal itu tidak terjadi pada keponakan saya. Berdasarkan cerita ayahnya, keponakan saya yang berusia 3 tahunan itu hanya mau melihat sebentar dan kemudian berlalu seperti tanpa minat. Pertanyaannya, apakah itu berarti bahwa dia memang tidak suka, dan kemudian kita berhenti sampai di situ? Padahal kalau ia menonton acara TV, dia pun bisa antusias dan tahan duduk berlama-lama.

Saya kira, hal semacam ini kerap terjadi pada banyak anak usia dini di hampir semua keluarga. Berdasarkan pengalaman saya, kesimpulan bahwa anak-anak tidak suka, tidak mau, tidak tertarik, dan akhirnya kita menyerah mengikuti kecenderungan mereka adalah kesimpulan yang keliru. Seperti juga orang dewasa, anak-anak membutuhkan waktu untuk tertarik secara mendalam terhadap sesuatu hal. Tak cukup hanya sekali atau dua kali, namun butuh berkali-kali interaksi untuk membuat anak tertarik dan menikmati suatu kegiatan. Persoalannya, durasi waktu yang mereka butuhkan untuk men-scanning apapun yang dilihatnya seringkali hanyalah beberapa detik untuk setiap momentum.

Hal itulah yang nampaknya disadari oleh pakar cedera otak Glenn Doman. Teknik mengajar balita membaca ataupun matematika yang ia rekomendasikan, tak lebih dari 5 detik per kali belajar. Ya, karena konsentrasi anak-anak di bawah usia lima tahun memang hanya selama itu. Kunci keberhasilan proses belajar, apapun objeknya, justru terletak pada konsistensi. Meski hanya 5 detik per kali belajar, namun jika diulang tiga kali sehari, dan hal itu berlangsung tetap setiap hari, maka hasilnya akan mulai kelihatan.

Banyak hal dalam kehidupan kita pun membutuhkan konsistensi untuk berhasil, demikian pula dalam belajar. Pada umumnya, anak-anak akan nampak lebih tertarik pada acara TV, baik film kartun ataupun sinetron, dan terutama iklan. Mengapa? Karena sesungguhnya telah terjadi proses yang panjang yang telah mereka lewati untuk menyukai semua itu. Jika setiap hari televisi dinyalakan 10 jam saja dalam sehari, maka betapa seringnya pengulangan tayangan disaksikan oleh anak-anak. Kalau anak kita sudah bertemu dengan TV sejak ia berusia 0 tahun, maka hingga usia anak sekarang yang mungkin sudah 5 atau 8 tahun, selama itu pula anak kita melihat, mendengar, dan berinteraksi dengan televisi. Tentu sangat tidak mengherankan kalau akhirnya mereka begitu akrab dengan acara televisi dibandingkan film-film ilmu pengetahuan yang cenderung tutorial dan miskin dengan adegan-adegan atraksional.

Anak-anak kami mulai diperkenalkan dengan film-film ilmu pengetahuan sejak usia lebih dini: kakaknya mungkin sejak usia 2 tahunan, dan adiknya sudah sejak lebih dini lagi. Awalnya sama saja dengan pengalaman banyak orang tua lainnya. Anak-anak hanya sebentar mau menonton. Namun karena setiap hari selalu diputar walau sebentar, lama-lama mereka tertarik untuk memutarnya sendiri sampai selesai dan bahkan bisa berulang-ulang setiap hari. Hasilnya, anak-anak punya selera khusus tentang menarik atau tidaknya sebuah tayangan. Mereka bisa memilah sendiri tayangan yang tidak konstruktif di televisi.

Belajar Mendalam
Mengetahui banyak hal mungkin bagus sekali pada masa eksplorasi pengetahuan. Tetapi tentu saja, akan lebih baik jika kita dan juga anak-anak memiliki pengetahuan yang mendalam tentang satu atau beberapa hal. Kita harus punya pijakan untuk kita kuasai lebih detail. Hal itu berguna untuk membangun profesi atau skill kehidupan di masa depan. Justru hal itulah yang nampaknya luput dari sekolah formal. Semua dipelajari serba sepintas, tanpa tujuan spesifik.

Merujuk pada kebutuhan tersebut, konsistensi adalah kuncinya. Kalau kita ingin anak-anak memiliki skill di bidang komputer lebih dalam misalnya, maka sejak sekarang mereka harus diberi peluang untuk 'ngoprek' komputer walaupun hanya beberapa menit sehari, meski hanya untuk membuat lingkaran atau mengetik sembarangan. Kalau kita berharap anak-anak bisa menguasai keterampilan 'pertukangan' untuk kebutuhan pribadi mereka setelah besar, maka sejak sekarang mereka harus diakrabkan dengan benda-benda pertukangan, seperti tang, obeng, paku, palu, pipa air, gergaji, dll. Setidaknya mereka tahu nama-nama benda itu berikut fungsi-fungsinya. Bahkan untuk anak yang lebih besar, mereka bisa diberi kesempatan untuk membantu memutar obeng saat kita sedang memasang atau membuka mur.

Banyak objek yang bisa dipelajari anak-anak. Konsisten belajar setiap hari untuk objek-objek pelajaran yang memang dianggap penting adalah cara ideal untuk membuat proses belajar menjadi lebih mendalam.

Salam Pendidikan!

Kamis, 03 April 2008

Ayo Belajar dan Tumbuhlah!

Beberapa fakta negatif di dunia pendidikan memang bisa membuat kerut kita berkening atau membuat nafas kita tiba-tiba menjadi terasa berat. Beginikah seharusnya pendidikan diperlakukan? Namun sadarilah bahwa kita tak akan mampu mengubah apapun hanya dengan keluh kesah. Sebuah ungkapan dari seorang Sastrawan Rusia Leo Tolstoy membuat saya tersenyum, "Semua ingin mengubah dunia, tetapi tak ada yang ingin mengubah diri sendiri".

Mari mulai dari keluarga. Mulailah dari diri kita dan kemudian anak-anak kita. Bisa jadi kita merasa tidak berperan dalam mengubah masyarakat menjadi lebih baik, tapi bayangkan jika setiap keluarga berkomitmen untuk menjadi yang terbaik, tanpa harus bilang-bilang, tanpa harus berorasi, tanpa harus bersilat kata dengan pihak-pihak yang bertentangan, kumpulan keluarga-keluarga itu adalah gelombang yang secara alami akan mengikis keburukan.

Hanya belajar yang akan membuat kita tumbuh menjadi makin berkualitas. Maka belajarlah di manapun, dari keadaan apapun, dari siapapun. Mari belajar terus setiap hari dari apapun yang kita jalani, dari momentum yang direncanakan ataupun momentum yang singgah tak sengaja.

Tentang Saya

Saya, ibu dua anak. Anak-anak saya tidak bersekolah formal. Blog ini berisi pemikiran, hasil belajar, dan beberapa pengalaman.

Jika Anda menggunakan tulisan di blog ini sebagai referensi: (1) HARAP TIDAK ASAL copy paste, (2) Selalu mencantumkan link lengkap tulisan. Dengan begitu Anda telah berperan aktif dalam menjaga dan menghargai hak intelektual seseorang.