Artikel lain

Kamis, 08 Desember 2011

Budaya Berguru

Salah satu pe er kami tentang pendidikan anak-anak adalah budaya berguru. Tanpa sadar, keseringan belajar mandiri, self exploration, kayaknya bisa memicu sikap tidak teacheble.

Meskipun sarana dan prasarana belajar mandiri makin banyak sekarang ini, namun kegiatan berguru punya arti tersendiri. Kegiatan berguru menurut saya menanamkan sikap 'mau diajari', dan itu berdampak pada bertambah luasnya ilmu dan menekan sikap egosentris di mana mereka merasa hebat sendiri. Hal itu tentunya berseberangan dengan ideal akhlak seorang muslim.

Jadi, dalam tahap-tahap kecil, kami mulai membawa anak-anak pada guru lain selain kami, orang tuanya. Berharap dengan cara itu, mereka menyadari pentingnya sosok guru di samping kemauan untuk belajar sendiri. Azkia sudah hampir 6 bulan ikut les bahasa Inggris dengan 12 murid dalam satu kelas dan guru berumur 27-an tahun. Mulai ikut les piano dengan guru berumur 70-an tahun; ikut les robotika dengan guru berusia sama dengan guru les Inggrisnya; belajar craft bersama Nenek, dan lain sebagainya.

Di luar fakta bahwa banyak guru formal juga belum tentu kompeten dalam mengajar, namun budaya berguru tidak akan bisa dilepaskan dari budaya belajar jika ingin anak-anak menjadi seorang pembelajar sejati.

Pembelajar mandiri bukan hanya sekadar tentang bisa belajar sendiri (tanpa sosok guru), namun juga selalu siap menyerap ilmu dari orang lain dan berguru padanya.Saya semakin menikmati proses perenungan ini. Pendidikan informal mewadahi pendalaman hakikat banyak hal, terutama soal belajar. Karena pada dasarnya bukan hanya anak-anak yang belajar, melainkan juga kami sebagai orang tuanya.



Kamis, 01 Desember 2011

Menyentuh Pelajaran Akademik secara Informal

Anak-anak saya sekarang sudah 9 dan 7 tahun. Kalau merujuk tahapan perkembangan anak, memang sudah memasuki fase operasional kongkret, usia siap belajar terstruktur. Sekarang kami membuat jadwal belajar akademik secara rutin setiap hari dengan persetujuan mereka. Waktunya diatur oleh mereka sendiri tapi diusahakan selalu tetap setiap harinya. Dan atas permintaan mereka, kami mulai jam 9 pagi. Maksimal durasi belajar kami tetapkan hanya 30 menit, namun faktanya sering lebih pendek ^_^.

Kami mulai memakai kurikulum sekolah formal sebagai salah satu bahan. Dengan begitu, jika suatu hari berniat ikut ujian kesetaraan, anak-anak tidak lagi kaget dengan formulasi pelajaran yang diujikan. Kami mencoba untuk bersikap pertengahan saja soal model pendidikan ini. Hari ini kami memilih pendidikan informal dan besok-besok mungkin tertarik dengan formal, ijazah kesetaraan dari lembaga nonformal adalah mediatornya. Jadi, tak ada ruginya juga menyiapkan anak-anak untuk berakrab-akrab dengan pelajaran KURNAS, toh mereka juga jadi mendapat tambahan ilmu.

Saya akui, buku pelajaran sekolah tidak terlalu menarik untuk dibaca anak-anak. Topiknya bermanfaat, tapi penyusunan isinya, dari mulai tipografinya, layoutnya, ilustrasinya, kalimat-kalimatnya, dan pertanyaan-pertanyaannya cenderung membosankan. Jadi bagaimana?

Awalnya kami pun enggan memakai kurnas, tapi kemudian membalik cara berpikir. Bukankah beberapa hal dalam hidup ini juga tidak menyenangkan kita. Reaksi dan cara kita berpikirlah yang membuat semuanya berbeda. Karena itulah, kami coba bersahabat dengan BSE (Buku Sekolah Elektronik) dan mengambil intisari pelajarannya. Sesudah itu, metode penyampaian kami coba otak-atik dengan berkreasi sendiri, dan alhamdulillah anak-anak mulai terbiasa juga menikmati KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) pelajaran sekolah tapi secara informal.

Jadwal belajar akademik berbahan baku kurnas kami coba permudah: Hanya 5 hari seminggu (Senin - Jumat), 1 atau 2 mata pelajaran per hari maksimal 30 menit. Satu kali belajar kami tetapkan hanya satu bab. Jika rata-rata buku pelajaran berisi 10 bab, maka dengan belajar seminggu sekali untuk setiap pelajaran, insya Allah anak-anak sudah selesaikan semuanya dalam 10 minggu (2,5 bulan) . Saya kira hal itu cukup ringan untuk dilaksanakan.

Muatan Ekstra
Tentu saja, jika sebelumnya anak-anak hanya belajar hal-hal yang mereka suka, penambahan kurnas tidak membuat hobi mereka jadi 'terlarang'. Bisa kita hitung sendiri, belajar akademik 30 menit, maka sisa waktu untuk yang lain masih sangat banyak. Anak-anak bisa baca buku yang mereka suka, bermain-main di kebun, bikin-bikin craft bersama teman-temannya, nonton film anak-anak atau film-film dokumenter, dan banyak lagi.

Untuk menambah keterampilan, Azkia pilih kursus Bahasa Inggris 2x seminggu (@1 jam per pertemuan), kursus piano 1x per minggu (@30 menit). Luqman suka mekanika, dan mulai mau lagi belajar robotika seminggu sekali. Dan mungkin yang lain-lainnya jika mereka sudah mulai tertarik untuk belajar.

Namun muatan ekstra yang terpenting dan kami usahakan tetap konsisten adalah hafalan Quran. Setiap hari, meski hanya 5 atau 10 menit kami rutinkan kegiatan tersebut supaya mejadi habit. Mudah-mudahan Allah SWT selalu memberi kekuatan pada hati kami untuk konsisten.

Belajar, selain merupakan hak, juga merupakan kewajiban bagi seorang mukmin setelah dewasa. Ketidaktahuan bisa mematikan langkah dan menyuburkan kebodohan. Seorang mukmin haruslah cerdas dan berpengetahuan. Satu-satunya jalan untuk mencapai titik tersebut adalah belajar.

Menurut saya, tugas orang tua pada anak-anak dalam hal ini, bukan hanya mengikuti apa yang mereka mau, tapi juga menumbuhkan rasa senang dan butuh terhadap belajar. Dengan begitu, ketika sudah tiba waktunya anak-anak masuk usia taklif belajar hal-hal yang lebih tinggi dalam agama dan kehidupan bermasyarakat, mereka sudah bisa mengatasi faktor-faktor penghambatnya. Mudah-mudahan, insya Allah.

Kreasi dari Kain Perca

Ketika nenek (ibu saya) berkunjung ke rumah, selalu menjadi peristiwa penting. Keterampilan-keterampilan klasik yang dikuasai nenek adalah harta karun. Jadi, saya selalu memanfaatkan kedatangan nenek untuk mengajar cucu-cucunya keterampilan baru.

Bulan ini seni merangkai kain perca jadi topik utama. Kebetulan, lebaran yang lalu ibu mertua saya memberikan sekantung bahan baku kain perca yang sudah dibentuk. Setelah lama tersimpan di koper, hari ini saya bongkar dan dimulailah acara merangkai perca bersama anak-anak tetangga yang main ke rumah.

Ternyata anak-anak antusias mau belajar. Cadangan jarum tangan pun dikeluarkan supaya semua anak kebagian mencobanya.





Senin, 28 November 2011

Belajar Fokus

Begitu banyak bahan belajar bertebaran di internet, link-link bagus yang canggih-canggih menggoda untuk dicoba, tapi dari sekian banyak sumber yang kita kumpulkan nyatanya hanya beberapa persen saja yang benar-benar bisa kita tekuni dalam waktu bersamaan. Ketika kita paksakan diri mempelajari semuanya atau menggunakan semuanya, muncul kebiasaan belajar yang tidak tuntas, dan otomatis juga tidak mendalam.

Ketika anak-anak dianggap cukup siap untuk menekuni bidang pelajaran yang mereka minati secara terstruktur, saya pikir itulah saat yang tepat bagi saya untuk menyusun prioritas jadwal. Tidak menggarap semua hal dalam rentang waktu bersamaan, tapi saya mendorong anak menuntaskan pelajaran-pelajaran yang dianggap utama sampai pelajaran itu menginternal dalam diri mereka. Saya melihat hasil yang jauh lebih baik saat menerapakan model tersebut daripada mencekoki anak-anak terlalu banyak topik tapi hanya sekilas-sekilas.

Fokus, menjadi target utama saya menerapkan gaya ini. Saya, dengan background pekerjaan yang berbasis rumah, yang sebagian besar porsi supervisi adalah diri sendiri merasakan pentingnya sikap tersebut. Pekerjaan saya memang fleksibel, namun fleksibilitas juga bisa menjebak kita menjadi tidak biasa berdisiplin. Hal itu tentu saja bisa menggandakan potensi gagal menjadi lebih besar dalam menghasilkan sesuatu secara maksimal.

Tidak ada kebiasaan baik tanpa latihan. Semakin anak-anak beranjak besar saya yakin kebiasaan-kebiasaan yang nanti mereka butuhkan harus dilatih sedari sekarang. Oleh karena itu, saya pun berusaha lebih keras untuk mendisiplinkan diri dalam proses belajar ini. Saya berharap anak-anak menangkap spirit yang saya rasakan dan mengadaptasikannya secara alami ke dalam diri mereka. Insya Allah.


Selasa, 22 November 2011

Perjalanan di Bulan Ramadhan 4

Lelahnya perjalanan dari Bukittinggi-Singkil sedikit sirna ketika mengetahui bahwa sisa perjalanan tinggal 4 jam lagi. Dan, kami betul-betul harus melewati jalanan yang berbukit-bukit. Turunnya turun sekali, naiknya juga tak tanggung-tanggung mendaki. Hampir sama dengan medan di hutan Tapanuli, namun bedanya jalanan di Aceh mulus sekali, hampir tak kami temui jalan berlubang keculi di sedikit titik.

Anak-anak tertidur sampai kakek berseru, "Tuuh, laut sudah kelihatan!" Luqman terbangun dan mulai memandang ke depan. Biru samar-samar dari kejauhan. Makin lama makin jelas. Namun jalanan yang berkelok-kelok membuat sesekali pemandangan laut tertutup. Kami terus menuruni lembah hingga akhirnya kami benar-benar menyusuri jalanan di lereng bukit yang jaraknya hanya ratusan meter dari laut.

Anak-anak seperti kehilangan rasa lelahnya. Makin terus berjalan, kami pun berjumpa dengan semakin banyak pemandangan khas laut yang begitu memesona. Barisan pohon kelapa berjejer di tepi pantai, ikan-ikan yang dijemur, perkampungan nelayan, membuat Azkia memekik kecil, "Rasanya seperti mimpi!". Anak 'gunung' yang baru melihat laut, begitulah ^_^.

Jalan berkelok ke bawah makin mendekati tepi pantai. Saat itulah saya menyadari, mengapa papa mertua saya begitu bersikeras mengajak kami pergi ke kampung halamannya, "Setidaknya sekali seumur hidup", begitu beliau berkata. Ternyata, kampung tempat beliau menghabiskan separuh masa kecilnya memang luar biasa. Kami beruntung bisa berkunjung ke sana.

Tiba di rumah, di hadapan membentang barisan kelapa menjulang tinggi, dan ujung pandangan benar-benar hamparan laut. Tinggal menyeberang jalan raya, 50 meter setelahnya kami sudah bisa merendam kaki di pantai, mencari cangkang siput, kerang, dan tentu saja pasir putih dan pecahan batu karang yang terpahat secara alami.

Lima hari kami di Aceh, dan sungguh tak akan terlupakan. Azkia dan Luqman selalu ingin balik lagi ke sana suatu hari nanti. Berenang di laut, bermain ombak, membuat istana pasir, merasakan desau angin pantai, dan pengalaman melihat orang menangkap ikan

dengan bilah bambu, dan badai yang menjatuhkan buah-buah kelapa kering,tak akan bisa dilakukan di rumah kami yang ada di perbukitan. Jadi, meski kesan tentang Aceh selama ini lekat dengan tsunami dan getaran bumi, buat Azkia dan Luqman Aceh adalah tempat terindah yang pernah mereka datangi.

Senin, 21 November 2011

Perjalanan di Bulan Ramadhan 3

Memasuki wilayah Tapanuli, terlebih Tapanuli Utara, medan perjalanan mulai berat. Jalannya berlubang-lubang dan berundak-undak naik-turun. Turunannya curam, demikian juga tanjakannya 'patah' sekali. Pada beberapa ruas, malah terasa cukup mengkhawatirkan. Selain jalannya berlubang dalam, di kiri-kanan terbentang jurang dangkal yang dipadati pohon kelapa sawit dan rawa-rawa yang entah isinya apa. Yang jelas, di sepanjang jalanan di Tapanuli Utara babi hutan wara-wiri bebas bahkan di tengah-tengah manusia. Luar biasa!

Dan peristiwa yang mungkin sedikit sulit dilupakan adalah ketika ban mobil kami slip di tengah-tengah tanjakan yang benar-benar patah (kemiringan nyaris 30 derajat). Saat mobil kami melaju dengan sekuat tenaga untuk mencapai puncak jalan, serombongan mobil dari arah berlawanan juga sedang menuju jalanan yang sama. Jalan itu luas, namun yang masih tersisa aspal keras hanya bagian tengah. Para pengemudi menghindari bahu kiri ataupun kanan jalan karena di bagian itu aspal sudah tergerus air, dan yang tersisa tinggal tanah lempung yang becek di saat hujan. Mobil kami yang sedang berkonsentrasi naik akhirnya terpaksa mengambil jalur kiri supaya tidak beradu dengan mobil dari atas. Akibatnya, ban slip dan perjalanan terpaksa harus tertunda di situ. Kami semua turun. Ibu-ibu dan anak-anak berjalan ke atas sambil menunggu ban mobil berhasil keluar dari kubangan tanah liat itu. Kami berada di hutan Sumatera Utara.

Beruntung datang bantuan dari pemiliki kendaraan yang berpapasan, namun mobil tak juga berhasil diangkat apalagi di dorong. Para penolong pun menyerah dan mereka terpaksa melajutkan perjalanan karena dikejar waktu. Atas inisiatif kakek, ibu-ibu dan anak-anak akhirnya ikut mobil penolong yang kebetulan kosong karena akan menjemput penumpang di Meulaboh. Tak dinyana, ternyata kami telah jauh meninggalkan bapak-bapak, termasuk sopir di tengah tanjakan. Kami pun sudah meninggalkan perbatasan Sumatera Utara dan tiba di tanah rencong. Rasanya seperti mimpi ^_^.

Luqman nampak sangat kelelahan dan terpaksa harus turun dari mobil tumpangan itu. Kami berhenti di sebuah Mesjid sambil menunggu mobil kami datang menjemput. Nyaris merasa, kami tak akan pernah sampai di tujuan karena kelelahan. Tapi, dengan niat menyambungkan silaturahim dengan keluarga besar kakek di Aceh, kami menjaga semangat. Alhamdulillah semua bisa kami lewati.

Tak lama kemudian, mobil kami datang dengan belepotan tanah. Mobil berhasil dibebaskan dari kubangan dengan bantuan 6 orang pengangkut kayu yang kebetulan sedang lewat dengan bayaran cukup mahal (jika diukur dengan kebiasaan orang-orang di tanah Sunda), tapi mungkin tak seberapa jika dibandingkan dengan waktu dan keselamatan kami semua.

Alhamdulillah kami berkumpul lagi. Setelah istirahat sebentar di kota Singkil, kami menuju tahap terakhir perjalanan menuju tujuan. Menurut kakek, lamanya kurang leih 4 jam dari kota Singkil tersebut. Kami pun bersiap. Saat itulah kami disuguhi pemandangan yang cukup membuat nelangsa. Hutan Aceh itu dulu nampaknya luas sekali. Bentangannya seujung pandangan. Sayang, pemandangan yang kami lihat waktu itu, hutan alami ternyata sudah dirusak dengan 'kasar'. Sisa-sisa pohon yang batang bawahnya di bakar bergelimpangan tak menentu. Sebagian besar lahan di sepanjang tepian jalan sudah ditanami kelapa sawit. Dalam hati saya bergumam, "Apa mungkin, ini juga salah satu penyebab bumi di Aceh tak lagi seimbang? Alamnya memang telah dirusak dan akibatnya bumi mencari keseimbangannya sendiri dengan senantiasa bergerak dan berguncang. Wallahualam".

BERSAMBUNG


Selasa, 04 Oktober 2011

Perjalanan di Bulan Ramadhan 2


Baru sempat menulis lagi. Perjalanan berikutnya di bulan Ramadhan 1432 H adalah mengunjungi salah satu kota kabupaten di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kota itu bernama Tapak Tuan. Kota di tepi pantai, bernuansa khas laut.

Inilah mungkin perjalanan terpanjang sejauh ini yang dirasakan anak-anak setelah mereka besar. Menempuh perjalanan 24 jam non stop, kecuali istirahat untuk makan dan tidur beberapa jam di dalam mobil. Pengalaman yang benar-benar di luar kebiasaan. Saya agak khawatir awalnya, apakah mereka akan kuat? Tapi ternyata semua bisa dilalui.

Pukul 11.00 start berangkat dari Bukittinggi. Setengah jam kemudian kami mulai menapaki jalanan berkelok-kelok. Panorama hutan lebat di kiri kanan jalan memang begitu memesona, tapi kelokan pendek-pendek membuat anak-anak mulai mabuk. Kantong kresek laku keras. Mobil tetap melaju hingga menemui sebuah masjid kami berhenti. Anak-anak ke toilet sekaligus beristirahat. Di situlah terasa, suasana di 'negeri' asing. Pohon-pohon atau bunga-bunga bolehlah sama, tapi bentuk-bentuk atap rumah tak bisa berbohong, terlebih-lebih lagi bahasa. Terasa pada suasana seperti itu, Indonesia memang beragam.

Usai istirahat perjalanan berlanjut menyusuri jalanan berhutan menuju perbatasan provinsi SUMBAR dan SUMUT.Kakek sebagai pemandu sangat antusias memberikan info pada cucu-cucunya tentang apa-apa yang ada di sepanjang daerah yang kami lewati. Sayang, kondisi sehabis mabuk mengganggu perhatian anak-anak untuk lebih cermat menyimak. Lewat area Equator di Bonjol kami hanya melintas saja, tidak singgah, padahal ada museum equator di sana. Kami mengejar waktu supaya tidak terlalu malam tiba di hutan Sawit.

Sore hari kami memasuki satu daerah yang sangat cantik, dan sudah termasuk wilayah Provinsi Sumatera Utara. Mandailing Natal nama daerah itu. Kami disuguhi pemandangan tertata alami. Hutan membentengi di ujung pandangan, pesawahan kemudian membentang di tahapan kedua, dan sungai besar yang jernih berada paling depan, tak jauh dari jalan raya.

Warna padi berselang-seling hijau dan kekuningan berlatarkan hutan hijau yang kaya oksigen dan menyimpan cadangan air berlimpah. Tak heran kalau sungainya tak henti mengalir, memberikan kehidupan pada penduduk di sana. Rasanya ingin turun untuk sekadar mencicip segarnya aliran air yang sangat jernih itu. Sayang, waktu terbatas. Kami hanya bisa menikmati selintasan, bahkan memotret pun hanya bisa dari balik jendela mobil. Hasilnya jelas kurang memuaskan.Namun kesimpulan sementara sampai sejauh itu, Sumatera memang 'surga' bagi para pecinta dan penikmat panorama sungai.

BERSAMBUNG



Senin, 29 Agustus 2011

Perjalanan di Bulan Ramadhan 1

Katakanlah: "Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)". (Ar Ruum : 42)


Ayat senada akan kita temukan juga pada Al Quran surat Al Israa':37, Al Hajj:46, Ar Ruum:9, Al An'am:11, dan Ali Imran:137. Tanpa sadar, anjuran untuk melakukan perjalanan di muka bumi ternyata begitu sering diungkapkan dalam Al Quran. Karena itulah, kami coba manfaatkan masa perjalanan jelang idul Fitri ke sanak family di pulau Sumatera dengan sebaik-baiknya. Kami usahakan agar perjalanan tersebut memberi manfaat untuk menambah pengetahuan, meningkatkan kemampuan bertadabur, menyelami makna-makna lewat segala sesuatu yang kami alami, kami lihat, dan dengar sepanjang perjalanan.


Sejak 19 Agustus 2011, kami sudah berada di Payukumbuh, Sumatera Barat. Memang terlalu jauh dari jadwal idul fitri, tapi banyak ketenangan yang dirasakan karena hal itu. Jalanan belum macet, kendaraan bisa melenggang bebas. Selama 8 hari kami berada di Payakumbuh, di sela-selanya kami bisa berkunjung ke Bukittinggi melihat-lihat tempat khas di sana.

Bagi anak-anak hal tersebut seperti hal baru lagi. Pernah kami ke sana saat mereka masih kecil. Memori mereka tentang hal tersebut mungkin sudah memudar. Kami berkunjung melihat jam gadang, istana bung hatta, dan lobang jepang, sekaligus memandangi ngarai sianok yang terkenal itu.

Saat memasuki gerbang lobang jepang, rasa penasaran Luqman meningkat. Mengapa disebut lobang jepang, apa yang yang dilakukan jepang di indoenesia, dan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lainnya. Momentum belajar pun begitu pas, apalagi bertepatan dengan hari proklamasi kemerdekaan. Kami bisa cerita tentang masa penjajahan yang dialami bangsa Indonesia dan berbagai peristiwa. Belum lengkap memang, tapi hal itu memunculkan daya tarik untuk belajar sejarah sendiri setelah pulang, seperti yang selama ini sering terjadi.

Kelebihan yang terasa belajar sejarah lewat cerita ketimbang hanya menyalin catatan dari buku pelajaran sejarah saat saya sekolah dulu, anak-anak jadi terlihat antusias, bebas bertanya, bebas dari beban untuk menghafal, dan tentu saja bisa lebih leluasa mengait-ngaitkan dan menanamkan nilai-nilai heroisme secara lebih mendalam.


Mengenal Budaya

Jika anak-anak hanya tinggal di satu tempat tanpa mengenal daerah-daerah lain, pastinya mereka hanya mengenal budaya yang homogen. Hal itu sedikit menyulitkan mereka ketika suatu hari harus beradaptasi di tempat yang berbeda. Saya kini malah merasakan pentingnya program pengenalan lintas budaya dengan mengunjungi banyak daerah yang berbeda. Dari sana anak-anak akan belajar tentang memahami, mengenal alternatif, dan mengharagai orang lain. Bahkan, tak jarang banyak kebiasaan positif di daerah lain bisa menginspirasi mereka untuk menemukan hal-hal baru

Yang paling saya rasakan, anak-anak benar-benar mengalami adaptasi terhadap makanan. Kami yang tinggal di tanah Sunda dan lebih sering makan makanan Sunda harus mau mencoba makanan yang disediakan tuan rumah, tidak menyulitkan mereka. Sebenarnya ada kontras tajam antara makanan Sunda dan Minang, tapi ternyata pengetahuan sebelumnya tentang menghargai makanan yang disajikan membuat adaptasi terjadi lebih mudah dan alami.

Hal lainnya? Insya Allah akan saya ceritakan pada tulisan ke-2. Perjalanan kami ke Aceh Selatan pada tanggal 26 Agustus 2011 tak kalah menakjubkan dan memberi banyak pelajaran.




Minggu, 17 Juli 2011

Perpustakaan Buat Para Ibu

Perpustakaan anak, untuk anak, dan oleh anak, sudah kami coba walau praktiknya butuh dedikasi lagi. Kalau nggak diurus, perpustakaan ya begitu-begitu saja, tak berkembang. Satu lagi cita-cita yang masih belum terealisasi, yaitu perpustakaan buat para ibu. Mengapa ibu? Karena mereka-lah yang menjadi kontroler pendidikan di rumah. Mereka harus berpengetahuan untuk mendidik anak-anaknya, dan buku adalah satu media pendidikan yang efektif.

Perpustakaan buat para ibu semestinya dianggap penting sejajar dengan taman bacaan/perpustakaan anak. Bahkan dengan gerakan 'ibu membaca', maka secara paralel akan memicu motivasi anak-anak untuk juga membaca. Bukankah anak-anak adalah peniru yang hebat?

Sekolah saja tidak cukup untuk menumbuhkan minat membaca. Mayoritas anak-anak yang saya temui tidak terlalu memiliki kebutuhan terhadap buku sebagai 'makanan' otak. Buku bagi mereka hanyalah sumber hafalan yang dibaca untuk ulangan atau ujian.

Kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka dengan kebiasaan itu. Rumah dan sekolah faktanya memang sama-sama tidak terlalu membangun iklim membaca, sehingga wajar anak-anak pun tak merasa perlu untuk melakukannya.

Akan tetapi, mengingat harga buku juga tidak-lah terlalu murah. Mengingat tak semua keluarga punya anggaran cukup untuk beli buku. Mengingat, sebagian ibu juga masih tidak merasa perlu membaca buku, maka perpustakaan yang disediakan khusus untuk mereka akan sangat membantu dan mengedukasi.

Wacana ini bukan sebuah kemusykilan. Siapapun bisa membuka taman bacaan/perpustakaan semacam ini asalkan mau. Mulai dari visi di atas, energi mudah-mudahan terkumpul. Meski dalam praktik dibutuhkan keseriusan para pengelola perpustakaan, namun coba saja dan coba saja memulainya. Biarkan hasilnya bergulir. Mudah-mudahan memberikan perubahan yang signifikan. Kita tak bisa hanya andalkan sekolah formal untuk pendidikan. Kita butuh gerak tambahan, sehingga rasa butuh akan ilmu pengetahuan tumbuh dari dalam, bukan dari 'paksaan' eksternal.


Minggu, 22 Mei 2011

Pendidikan Rumah dan Basis Nilai

Ketidaksempurnaan adalah ciri dari makhluk, demikianlah halnya dengan manusia. Pendidikan, adalah salah satu upaya agar manusia menyempurnakan dirinya sehingga mencapai tingkatan yang lebih tinggi dalam berbagai segi, terutama sisi ruhani. Mengapa ruhani? Karena ruhani-lah yang kelak akan kembali kepada Rabb-nya, mempertanggungjawabkan semua amalan saat manusia hidup.

Oleh karena itu, pendidikan bukan hanya soal membuat anak tahu banyak hal atau terampil menguasai berbagai keterampilan, namun juga dipastikan memiliki pedoman sebagai basis nilai. Bagi seorang muslim sudah jelas, tak ada yang pedoman tertinggi kecuali Al Quran.

Gelombang pengetahuan dari 'empat arah mata angin' kini menyerbu generasi anak-anak kita. Akan tetapi, bukankah tidak semua ilmu harus ditelan, sebagaimana tidak semua makanan yang Allah ciptakan di muka bumi ini boleh disantap semaunya. Sebagian ilmu cukup diketahui tapi tidak untuk dinikmati. Kalau kita tidak memiliki panduan, kita tak akan tahu mana kategori ilmu yang wajib diperdalam, mana yang tidak wajib, dan mana yang dilarang.

Euforia pengetahuan yang menyangkut edukasi terasa memang menumbuhkan optimisme pada banyak orang, tak terkecuali saya. Belajar dari buku-buku pendidikan yang kebanyakan berasal dari Barat banyak membuat saya tercengang, tercerahkan, sekaligus memunculkan sudut pandang baru yang membuat saya bisa melihat dengan jelas kekurangan-kekurangan yang ada pada pendidikan konvensional yang ada di negeri ini.

Setelah pencerahan itu saya peroleh, semilir ada kesadaran penting yang saya rasakan akhir-akhir ini, yaitu tentang NILAI. Semua orang pasti sudah tahu, tema pendidikan anak sangatlah krusial, sangat penting, amat sangat perlu dipelajari dan didalami. Namun seperti saya sampaikan di atas, bukan hanya soal mengajarkan pada anak-anak pengetahuan sebanyak-banyaknya atau keterampilan secanggih-canggihnya, melainkan juga stimulus agar anak-anak mampu melihat visi hidupnya di dunia ini berdasarkan nilai-nilai yang diajarkan Penciptanya.

Dengan demikian, belajar jadi punya tujuan dan pelajaran pun dipilih sesuai kemashlahatan. Ilmu bertebaran di muka bumi ini. Internet menjadi perantara yang luar biasa menuju sumber-sumber ilmu. Namun, Al Quran mengajarkan satu hal penting tentang memilih, "Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan". Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,>" (Q.S Al Baqarah : 219)

Semua hal yang diciptakan Allah SWT di dunia ini pasti ada manfaatnya, namun beberapa di antaranya ternyata LEBIH BESAR MADHARATNYA (KEBURUKAN/KESIA-SIAAN) DARIPADA MANFAATNYA. Itulah saya kira rambu-rambu bagi orang-orang mukmin untuk memilih apapun di tengah peluang mendapatkan segala sesuatu di dunia ini, termasuk tentang pelajaran apa yang penting buat anak-anak, dan mana yang tidak.

Saya masih terus bermetamorfosis sebagai orang tua, dan doa saya untuk semua orang tua yang berniat ikhlas mendidik anak-anaknya untuk mencapai ridha Allah, "Semoga Allah Yang Maha Pengasih selalu menolong kita untuk selalu berada dalam petunjuk-Nya. Amin."



Kamis, 19 Mei 2011

Lembaga Pendukung Homeschooling, Perlukah?

Tidak menyekolahkan anak di sekolah formal, yang kini terwadahi dengan sebuah istilah 'keren' homeschooling atau home-education memang gampang-gampang menantang. Gampang karena fleksibel (anak tak perlu didesak menguasai sebuah topik pelajaran ketika belum tertarik, juga mereka tak perlu harus stres ikut ujian manakala belum siap, serta anak bisa belajar di manapun mereka merasa nyaman, entah di kasur, di teras, di dapur, di rumah pohon, dll). Akan tetapi tantangannya dan juga idealnya, orang tua mau tak mau harus memiliki rancangan kasar 'kurikulum' (sesederhana apapun) untuk menunjang pendidikan di rumah. Kurikulum itu adalah pemandu arah sehingga pendidikan yang dilakukan punya tujuan yang jelas.

Panduan itu juga sekaligus bisa mengukur seberapa besar kapasitas orang tua, sehingga bisa menjadi pemandu dan mefasilitasi anak-anak pada bidang-bidang yang telah dirancang dalam kurikulum. Jika orang tua merasa tidak punya kapabilitas, tentu bukan alasan item kurikulum dihapus, tapi orang tua bisa gunakan guru yang ahli di bidang tersebut untuk mengajar anak-anak kita. Sebuah solusi sederhana yang menurut saya tak akan ada perdebatan. Bahkan anak-anak sekolah formal pun sering akhirnya memanggil guru atau ikut bimbingan belajar tambahan jika di sekolah anak-anak masih kurang mengerti pelajaran tertentu, dan juga pasti ikut kursus lain secara mandiri di luar untuk keterampilan-keterampilan yang tidak tersedia gurunya di sekolah. Prinsipnya begitu sederhana dan tidak ada yang aneh atau asing.

Oleh karena itu, saya hanya mengingatkan diri sendiri bahwa sangat-sangat wajar jika kebutuhan beberapa orang tua terhadap lembaga pendukung homeschooling itu ada. Bukan sebuah cela saya kira, ketika orang tua yang meng-homeschoolingkan anaknya untuk menggunakan jasa bimbingan belajar/lembaga pendukung yang menyediakan bahan-bahan ajar (modul) dan bahkan tenaga pengajar untuk membimbing anak-anak mereka. Hal itu adalah sebuah realitas sosial normal zaman ini.

Akan tetapi, persoalan lain yang muncul dari lembaga pendukung ini adalah label homeschooling pada merek lembaga TANPA mencantumkan sub-nama penjelas lain yang membuat masyarakat jadi nyata jelas mengerti esensi lembaga tersebut. Misalnya saja bimbingan belajar (bimbel), meski yang diajarkan adalah sama-sama pelajaran sekolah, tapi nama mereka tidak pakai istilah sekolah, melainkan bimbel X, B, dll. Hal itu membuat masyarakat langsung mengerti perbedaannya.

Nah, sayangnya, Lembaga Pendukung Homeshooling yang hari ini ada, tidak mencantumkan sub nama penjelas tersebut. Padahal ya, kalau mau memakai istilah Lembaga Pendukung Homeschooling dan dibuat singkatan LPH misalnya, hal itu akan menjadi lebih tepat-padan dengan esensi lembaga tersebut dan saya kira tidak akan mengurangi animo orang untuk daftar jika jasa yang ditawarkan memang dianggap penting dan bermanfaat.

Mengapa Pencantuman Sub-Nama itu Menjadi Penting?
Apalah arti sebuah nama, mungkin begitu kata Sheakspeare. Namun tanpa sub-nama penjelas pada merek lembaga pendukung homeschooling terbukti membuat homeschooling jadi rancu dipahami masyarakat dan bisa berefek pada beberapa hal berikut ini:
1. Karena tidak semua masyarakat mengetahui esensi homeschooling, maka penamaan homeschooling tanpa sub nama penjelas pada lembaga pendukung, membuat masyarakat menganggap bahwa homeschooling itu ya begitulah modelnya: HARUS daftar, HARUS bayar iuran bulanan, HARUS punya uang banyak, dll, tak beda dengan sekolah formal. Tentu akhirnya, orang-orang yang tertarik menjalankan homeschooling tapi tidak mampu secara biaya, menganggap homeschooling itu mustahil bagi mereka, dan menyerah kalah pada keadaan. Padahal homeschooling bisa dilakukan secara mandiri. Bukankah Buku Sekolah Elektronik kini digratiskan? Bukankah resource homeschooling berbahasa Inggris pun kini bertebaran di internet secara cuma-cuma? (Lesson Pathways misalnya. Dan orang tua yang merasa sanggup mengajar anaknya bisa memanfaatkan fasilitas tersebut dengan mengunduhnya dari internet.

2. Meski saya tak menafikan adanya kebutuhan lembaga pendukung pendidikan anak, namun tentunya haruslah dalam koridor mencerdaskan, bukan semata komersial. Tanpa kejelasan informasi tentang apa intisari homeschooling, maka sangat mungkin muncul lembaga-lembaga pendukung berlabel homeschooling yang bahkan pendirinya pun tidak mengerti apa itu homeschooling, memberikan layanan asal-asalan, karena hanya memanfaatkan ketidaktahuan orang tua saja.

Di luar itu semua, jika praktisi/keluarga homeschooling butuh lembaga pendukung, saya kira siapapun tak akan bisa menghalangi mereka untuk mendaftarkan diri ke lembaga tersebut jika hal itu benar-benar diperlukan dan dana yang tersedia memang memadai dan rasional untuk itu. Tentang untung-rugi, saya kira para orang tua zaman sekarang sudah cukup cakap untuk menilai, apakah jasa yang ditawarkan itu menguntungkan ataukah sebaliknya. Pastikan ada free trial untuk mencegah penyesalan.

Adapun buat para owner Lembaga Pendukung Homeschooling: Please, dengan segala kerendahan hati, saya sebagai orang tua homeschooler menyarankan, cantumkan sub nama penjelas Lembaga Pendukung atau apalah yang sekiranya tepat di depan Merek Lembaga Anda supaya masyarakat tercerdaskan soal istilah ini. Jangan sampai kita secara sengaja menyamarkan pengetahuan yang terang-benderang menjadi abu-abu untuk bangsa kita sendiri.


Minggu, 10 April 2011

Mengangkat Kembali Nilai-Nilai Filosofis pada Permainan Tradisional (Bagian 2)

Mencoba memenuhi janji, review hasil seminar saya lanjutkan kembali. Akan tetapi, sebelum saya masuk ke resume materi utama, saya ingin sekali membagi prinsip Kang Zaini yang sangat mencerahkan tentang mekanisme lomba anak-anak. Kang Zaini berprinsip bahwa lomba untuk anak-anak, apapun objek lombanya, sebaiknya tidak menciptakan kompetisi ketat, di mana juaranya begitu terbatas. Anak-anak sedang berada pada tahap belajar. Jika mereka menggambar, maka gambarnya (sejelek/sebagus apapun) adalah proses dan bukan hasil akhir. Penyematan juara pada segelintir anak dan tidak juara pada banyak peserta lainya hanya akan membentuk citra diri negatif terlalu dini pada diri mereka sendiri. Terlebih jika berkali-kali mereka ikut lomba dan tidak juara, maka bukan tidak mungkin akan menghapus semangat anak-anak untuk terus belajar.

Kang Zaini menyarankan, buatlah kategori juara sebanyak mungkin, sehingga (bahkan kalau mungkin) semua peserta menyandang juara pada berbagai kategori: misalnya jika lomba gambar, maka buatlah kategori terlucu, terfavorit, terkreatif, dan lain sebagainya. Jangan sampai penyelenggaraan lomba untuk anak-anak berikut penilaian juri-jurinya menjadi hanya sebuah kompetisi berebut piala, sehingga menafikan dan mengkerdilkan proses belajar yang justru lebih penting dari sekedar juara.

Menjadi Media Stimulasi
Selain mengandung nilai-nilai filosofis sebagaimana telah disampaikan pada tulisan bagian pertama, permainan tradisional kalau diamati, ternyata memenuhi juga manfaat lain, di antaranya stimulasi fisik, emosi, dan sosial. Multiple intelegence yang dipopulerkan oleh Howard Gardner, yang kemudian diaplikasikan di sekolah-sekolah dengan berbagai alat stimulasi rekaan berharga mahal (kadang-kadang) sebenarya bisa dipenuhi dengan aneka permainan dan mainan tradisional berbahan baku benda-benda alam. Selain murah, juga ternyata jauh lebih aman, karena bebas dari unsur toxic (racun).

Pernyataan tersebut di atas sekaligus membuat saya terkoneksi dengan pengetahuan sebelumya tetang alat-alat stimulasi. Dulu, di tengah-tengah membuncahnya pikiran tentang pentingnya stimulasi, saya terbentur dengan masalah lain, yaitu alat-alat stimulasi yang ternyata cukup mahal jika bahan-bahannya memenuhi kriteria aman bagi anak-anak. Balok-balok geometris dari kayu misalnya, kalau beli dari bahan kayu kualitas rendah dan cat kayu biasa (yang pastinya berbau dan ada unsur toxicnya) memang harganya cukup terjangkau, namun harga balok kayu berkualitas baik dan (katanya) aman bisa 2 atau 3 kali lipatnya. Belum lagi peralatan main dari jenis lainnya yang beragam, pastinya butuh dana yang tidak sedikit untuk sebuah proses stimulasi. Ibu-ibu yang kantongnya kering mungkin hanya bisa menelan ludah saja kalau tidak kreatif.

Nah, apa yang disampaikan Kang Zaini benar-benar menyadarkan saya. Ilmu masa lalu dalam membuat alat-alat bermain dari bahan-bahan alam sebenarnya harta tak ternilai. Walaupun sekarang anak-anak saya sudah jauh melewati masa balita, namun pencerahan ini mudah-mudahan tersampaikan kepada keluarga lain yang masih punya anak balita. Jangan cemaskan ketiadaan alat stimulasi, cukup keluarkan ilmu-ilmu masa kecil kita dalam membuat mainan, maka anak-anak masa kini juga bisa menikmati proses stimulasi yang tak kalah hebat kualitasnya.

Berikut ini beberapa permainan yang saya kenal dan menurut hemat saya punya manfaat stimulasi yang luar biasa:

a. Congklak, encrak, bola bekel (melatih kesabaran dan konsentrasi)
b. Permainan kelompok seperti galah asin (untuk anak-anak usia 9 tahun ke atas - melatih kemampuan adaptasi sosial dan disiplin)
c. Sondah mandah, bermain kelereng, gatrik, gasing(untuk stimulasi visual-spasial.
d. Sapintrong, loncat tinggi, sondah mandah (untuk melatih kemampuan fisik dan kegigihan).
e. Membuat mainan dari daun kelapa, jerami, ranting-ranting kayu, ataupun dedaunan (untuk melatih motorik halus.

Bermain Tanah
Tentang bermain tanah. Meskipun selama ini saya memang menyengajakan agar anak-anak sering menyentuh tanah namun motivasinya lebih pada agar mereka memiliki pengalaman sensoris yang lengkap. Jangan sampai, mereka kehilangan kesempatan untuk bermain bebas di luar rumah. Kadang-kadang, ya masih juga ada larangan jika mereka sudah terlalu asyik :).

Akan tetapi, seperti disampaikan Kang Zaini, ternyata bermain tanah memberi efek lebih pada anak-anak selain motivasi saya di atas. Bermain tanah terutama tanah lempung memiliki manfaat yang sama dengan fungsi memainkan playdough. Bahkan di negara-negara Eropa, tanah liat katanya kini sudah menjadi penggati playdough(yang diduga memiliki kandungan racun berbahaya). Sebuah ironi tentu saja, di mana negara-negara maju mengganti playdough dengan tanah liat terbaik (dari Indonesia) tapi orang Indonesia justru berbangga-bangga memakai playdough dari luar.

Orang-orang tua zaman dulu bahkan teryata menganjurkan agar anak-anak dibiarkan sesering mungkin bermain tanah. Hal itu bukan tanpa maksud. Tanah adalah simbol kehidupan, tempat manusia bermula dan berakhir. Tanah juga adalah representasi dari karunia Allah atas manusia, di mana segala sesuatu yang menjadi kebutuhan manusia keluar darinya. Lebih jauh, tanah juga memiliki sifat-sifat menyerupai seorang ibu, sehingga muncul ungkapan dari para tetua, “Biarkan anak-anak bermain tanah supaya mereka jadi dekat dengan ibunya”.

Kalau dipikir-pikir , pernyataan tersebut tidaklah berlebihan. Bayangkan saja, meski diinjak-injak setiap hari, dimasuki kotoran setiap beberapa jam, digali untuk diambil bebatuan dan pasir-pasirnya, diterobos beribu-ribu ton alat berat untuk eksplorasi, namun tanah pula-lah yang memberi kehidupan pada makhluk-makhluk yang hidup di permukaannya. Bukankah dari bumi-lah keluar berbagai tetumbuhan yang buahnya mampu mengenyangkan, bahan baku sandang sehingga kita bisa berpakaian, dan mengeluarkan pohon-pohon berkayu yang dengannnya manusia dan bahkan hewan bisa mendirikan tempat tinggal.

Sifat-sifat bumi tersebut tak ubahnya karakter seorang ibu. Meski bayinya menumpahkan kotoran di tubuhnya saban hari, membuatnya pusing karena kerewelannya, dan amat lelah karena memenuhi kebutuhannya, namun ibu tetap menyuapkan makanan pada anaknya, mengganti dan mencuci popoknya, dan memberi tempat tidur yang nyaman setiap hari.

Dengan bermain tanah, baik ditinjau dari sisi kongkretnya (bumi) maupun nilai filosofisnya (ibu) diharapkan anak-anak jadi memilki kedekatan emosional dengannya, tumbuh kecintaannya, tumbuh keinginan besar untuk menjaga dan merawatnya. Jadi, edukasi pada anak tentang save the earth semestinya tidaklah harus bersusah payah”: Cukup ikuti nasihat para leluhur, “Biarkan anak-anak bermain tanah” ^_^.

Demikian resume saya tentang materi Seminar Permainan Tradisional. Banyak hal lain yang mungkin terlewat. Tetapi jangan khawatir, kita bisa mencari tahu lebih jauh dengan mengunjungi 'markas' Komunitas Hong di Jl. Bukit Pakar Utara 35 Dago Bandung. Yuk, belajar lagi permainan tradisional, dan temukan manfaatnya bagi pendidikan anak-anak kita!

Selasa, 05 April 2011

Mengangkat Kembali Nilai-Nilai Filosofis pada Permainan Tradisional (Bagian 1)

Alhamdulillah, saya bersyukur sekali, ketika saya begitu antusias memikirkan sesuatu, Allah juga menolong saya dengan "mengirimkan" teman-teman yang memiliki spirit yang sama. Bulan April 2011 ini saya memperoleh sesuatu yang begitu berharga melalui "Seminar Permainan Tradisional", yang diselenggarakan Temasek International School. Kang Muhammad Zaini Alif (dari komunitas Hong!), sebagai pembicara, benar-benar membuat saya terdorong untuk merealisasikan satu lagi item yang menurut saya penting, yaitu mengangkat kembali spirit permainan tradisional bagi anak-anak. Insya Allah akan saya buat dalam 2 bagian, karena terlalu banyaknya bahan yang harus dituliskan.

Sebelumnya, saya memang pernah mencoba mengajarkan anak-anak permainan zaman dulu, ya minimal permainan yang saya ketahui (sebagai jejak masa kecil di kampung). Sudah pernah juga anak-anak saya dan teman-temannya di komplek perumahan kami diajak main bersama. Akan tetapi, praktiknya hanya seumur jagung. Lama-lama mereka menghilang, seiring melemahnya motivasi saya yang waktu itu belum terlalu jelas melihat manfaatnya.

Sehabis mengikuti seminar Kang Zaini, mata saya seperti dibukakan pada sebuah visi yang sangat luhur dari permainan tradisional, yang kini mulai ditinggalkan. Judulnya bolehlah 'permainan', tapi kandungan nilai filosofis dan edukasinya ternyata tidak main-main. Kang Zaini ternyata sudah melakukan penelitian mendalam terhadap berbagai permainan tradisional di Nusantara. Bukan hanya jenis dan variasinya yang digali, melainkan juga jejak historis dan nilai-nilai filosofis permainan tersebut. Subhanallah, sangat mengagumkan buat saya.

Beliau pernah menulis buku kumpulan permainan hasil penelitian tersebut melalui proyek dana pemerintah, namun sayangnya tak terlacak jejak buku-buku tersebut ada di mana. Tapi kabar baiknya, beliau saat ini sedang berusaha menyusun kembali buku tersebut dengan banyak revisi dan akan diterbitkan untuk umum. Kalau belum ada penerbitnya, mudah-mudahan tulisan ini bisa menghantarkan dan menghubungkan. Bukankah naskah bermutu banyak ditunggu-tunggu para penerbit buku? ^_^

Kembali ke acara seminar. Buat saya ada beberapa hal yang menarik dari paparan Kang Zaini, berikut saya sarikan poin-poinnya. Mudah-mudahan juga akan menginspirasi teman-teman:

1. Permainan anak tradisional di berbagai negara satu sama lain ternyata memiliki kemiripan. Perbedaannya mungkin lebih kepada model, variasi aturan permainan, nama, media yang dipergunakan. Akan tetapi, esensinya tetap sama. Hal ini memang memicu banyak pertanyaan, terutama bagi mereka yang tertarik dengan hubungan temuan arkeologis dengan proses penyebaran budaya serta ras manusia. Terlebih-lebih lagi, kini sedang ramai-ramainya dibahas penelitian mengenai The Lost Continent Atlantis, yang diduga justru berada di Indonesia. Apakah benar, peradaban negeri Atlantis yang hebat itu memang berada di Nusantara? Benarkah telah terjadi banjir besar pada suatu masa di ribuan tahun yang lalu, sehingga manusia terpecah-pecah ke berbagai benua dan melahirkan ras-ras yang masih mengadopsi kebudayaan dari negeri asalnya? Apakah itu juga penyebab dari kemiripan jenis permainan tradisional berbagai negara di dunia yang ada saat ini? Pe er buat kita ^_^.

2. Setiap jenis permainan memiliki maksud tertentu, dan ternyata penuh dengan filosofi pendidikan. Misalnya saja pada permainan sondah mandah, dimana bidang permainan dibuat dalam bentuk bangun persegi beberapa kotak, dan diujungnya dibuat lingkaran besar. Menurut penelitian Kang Zaini, petak pertama media sondah adalah simbol dari bumi, sedangkan lingkaran besar di ujung adalah simbol dari surga.

Perjuangan para pemain sondah untuk mencapai tahap demi tahap permainan adalah simbol dari usaha di dunia ini. Ketika seorang pemain gigih bekerja keras, maka ia pun sedikit demi sedikit akan mendapat bintang di salah satu petak. Bintang itu sendiri adalah simbol kenikmatan duniawi. Jika satu kotak sudah ditandai bintang oleh satu pemain, maka pemain lain tidak boleh menginjaknya, tapi harus melangkahinya. Hal itu adalah simbol dari aturan dalam menghormati hak milik seseorang di dunia ini. Semakin banyak seorang pemain mendapat bintang ia semakin santai, dan sebaliknya pemain yang bintangnya sedikit ia pasti kerepotan karena harus melangkahi banyak petak orang lain untuk berjalan (begitulah juga kehidupan di dunia nyata, bukan? :)).

Filosofi lain yang tak kalah menarik adalah pada bintang yang diperoleh para pemain di lingkaran besar. Kalau pada petak permainan (dunia) para pemain dilarang meletakkan bintang di wilayah yang sudah dimiliki orang, namun berbeda dengan lingkaran di ujung itu (surga). Meskipun hanya satu area, tapi semua pemain boleh berbagi tempat meletakkan bintang di sana, tak peduli apakah pada petak permainan mereka punya banyak bintang (orang kaya) atau sedikit bintang (miskin). Sungguh filosofi yang menarik menurut saya.

3. Tahukah permainan paciwit-ciwit lutung? Entah di daerah lain selain Tatar Sunda bernama apa. Permainan itu adalah saling mencubit punggung tangan menumpuk ke atas. Lagu pengiringnya kalau di Tanah Sunda: Paciwit ciwit lutung si lutung pindah ka tungtung (saling mencubit para lutung (monyet), si lutung pindah ke ujung). Maka tangan yang paling bawah akan pindah ke atas, mencubit tangan temannya yang lain. Begitulah terus-menerus sampai setiap tangan bergantian naik ke atas dan kemudian tergeser rotasi permainan kembali ke bawah, dst.

Katanya, permainan itu adalah juga simbol kehidupan dunia. Manusia itu tidak selamanya sengsara, dan tidak selamanya juga kaya raya; tidak selamanya mendapat berkah, tidak selamanya juga berada dalam kesusahan. Hal itu sepertinya untuk menyadarkan manusia agar tidak sombong saat berjaya, dan juga tidak merasa rendah diri dan putus asa saat kondisi materil tidak terlalu memadai.

4. Permainan berikutnya adalah hompimpa. Lagu pengiringnya kurang lebih sebagai berikut, hompimpa alai hom gambreng dst. Menurut Kang Zaini, kata 'hom' setelah ditelusuri dalam berbagai konteks bahasa memiliki makna yang hampir sama, yaitu Tuhan. Jadi, hompimpa alai hom, artinya dari Tuhan kembali kepada Tuhan (Ummat muslim mungkin mengenal istilah innalillahi wa inna ilaihi rajiuun. Jadi, permainan ini sesungguhnya mengajarkan tentang hakikat kehidupan manusia. Semua makhluk berasal dari Allah dan pasti akan kembali kepada Allah, tidak ada yang abadi. Kata 'gambreng!" artinya menyentak atau menyadarkan agar manusia ingat akan hakikat tersebut.

Bagian yang lebih menarik lagi adalah aturan permainan setelah hompimpa. Seingat saya, biasanya hompimpa dipakai sebagai undian dalam permainan ucing sumput (petak umpet), yaitu untuk menentukan siapa yang duluan sembunyi dan siapa yang kebagian mencari.

Dalam permainan petak umpet, pemain yang sudah ditemukan akan diseru, "Hong!"(sambil disebut namanya), maka ia harus keluar dan tidak boleh ke mana-mana. Ia harus berdiri di dekat orang yang menemukannya untuk melihat permainan berlangsung sampai semua pemain yang sembunyi ditemukan. Menurut Kang Zaini lagi, permainan tersebut adalah simbol, bahwa orang-orang yang bermain itu adalah manusia di dunia ini. Ketika mereka akhirnya ditemukan, itu artinya mereka sudah dipanggil kembali kepada Allah. Dan pekerjaan dia adalah menonton manusia lain yang masih sedang "bermain" di dunia ini.

Jika saya kaitkan dengan beberapa ayat Al Quran, maka korelasinya menjadi begitu jelas, dan tentu saja jadi membuat saya juga merenung, apakah mungkin banjir besar pada zaman Atlantis (seperti di-klaim seorang peneliti)itu memang terkait dengan kisah Nabi Nuh A.S? Dan permainan-permainan zaman dulu itu memang dirancang oleh utusan Allah untuk mengajarkan anak-anak tentang hakikat kehidupan dan eksistensi Tuhan lewat permainan? Memang masih misteri, namun sulit dipercaya rasanya jika hanya orang biasa saja yang menciptakan permainan dengan kandungan nilai setinggi itu. Pastinya, siapapun dia/mereka, adalah orang-orang yang memiliki ilmu dan makrifat yang luar biasa(hanya Allah Yang Maha Mengetahui).


"Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu." (Q.S Al Hadiid : 20)



BERSAMBUNG



Minggu, 27 Februari 2011

Jangan Takut, Home-Education Bukanlah Musuh Sosialisasi

Sebenarnya ini topik lama yang pada masa-masa awal kami menjalani homeschooling (HS)/home-education (HE) sempat juga membuat kami khawatir. Terlebih lagi karena memang itulah bagian yang paling banyak di'pertanyakan' oleh mereka yang tidak sepakat dengan HS/HE. Pemula yang sedang membangun jati diri tentu saja bisa limbung dan mempertanyakan ulang keputusannya ber-HE. Akan tetapi saya bersyukur, justru dengan banyaknya benturan keraguan dari orang lain dan juga diri sendiri keputusan ber-HE menjadi semakin berargumentasi, bukan sekedar ikut-ikutan trend, bukan juga karena kekecewaan sesaat dan juga parsial terhadap pendidikan massal.

Sebulan terakhir pertanyaan serupa kembali saya dengar dari 3 orang yang berbeda. Karena itulah saya jadi tertarik untuk merenung ulang dan menuliskannya. Saya sudah tak mempermasalahkan 'sosialisasi', namun ternyata tanpa sadar saya belum bisa menjabarkan secara definitif tentang hal ini bagi diri saya, terlebih-lebih lagi bagi orang lain yang penasaran mempertanyakan.

Tapi perlu digarisbawahi, tulisan ini bukan untuk membela HS dan menjelek-jelekkan sekolah. Ini hanyalah argumentasi terbalik dari asumsi bahwa HS/HE bisa menyebabkan anak tidak bisa bersosialisasi.

Kalau yang dimaksud dengan sosialisasi adalah bertemu dengan banyak orang selain keluarganya maka tidaklah tepat jika anak homeschooling jadi tidak bisa bersosialisasi gara-gara tidak sekolah. Sesungguhnya mereka justru punya PELUANG lebih banyak untuk bersosialisasi dengan berbagai orang dari rentang usia yang heterogen (lebih muda, sebaya, dan bahkan lebih tua). Mengapa bisa begitu?

Bayangkanlah, anak-anak HE tidak dihalangi jadwal belajar sekolah yang penuh selama seminggu. Pada saat anak-anak sekolah berada di kelas untuk menyimak guru-guru mengajar, anak-anak HE bisa memilih pergi ke berbagai tempat, dengan beragam orang, melakukan kegiatan yang bervariasi dengan orang-orang berbeda, berguru/belajar pada orang-orang yang berbeda dengan topik yang juga berbeda-beda sesuai minat.

Anak HE bisa ikut kursus bahasa, kursus robot, latihan wall climbing, kursus masak, ikut kelas sains, musik, olah raga, atau mungkin juga ikut bantu orang tuanya jualan, dan kegiatan lainnya pada jam anak sekolah bersekolah. Pada setiap moment kegiatan-kegiatan tersebut bukankah anak-anak juga sebenarnya sama-sama bertemu banyak orang. Mereka bertemu guru dan teman-teman kursus atau latihannya, bertemu para pembeli (jika ikut jualan), dll. Bagaimana bisa anak HS/HE dikatakan tidak punya kesempatan bersosialisasi dengan kondisi seperti itu?

Memang tidak semua para pelaku HS/HE memiliki jadwal bepergian atau belajar ke tempat-tempat yang jauh dengan banyak orang, namun jika mereka mau, semua itu sangat memungkinkan terjadi. Sama halnya dengan anak-anak sekolah yang setelah pulang punya pilihan yang semacam itu. Sebagian anak mungkin kelelahan dan memilih di rumah saja, namun sebagian kecil ada juga yang memilih ikut kegiatan ekstra di luar jam pelajaran dan bahkan di luar sekolah. Semuanya kembali pada pilihan anak dan keluarga.

Kesan bahwa anak HS/HE tidak mampu bersosialisasi memang sering melekat pada awal-awal orang mendengar istilah homeschooling. Tidak salah juga sih sebenarnya, karena yang terbayang dari istilah homeschooling adalah kebalikan schooling secara mutlak. HS itu belajar di rumah saja dan yang ada di dalamnya hanya anak dan orang tua, sementara schooling berarti belajar di sebuah bangunan sekolah yang ada banyak anak-anak lain di dalamnya. Sedikit orang vs banyak orang.

Menurut saya pribadi, kalau sosialisasi itu sendiri lebih pada makna bertemu, berkegiatan, berbincang, berinteraksi, maka dalam soal belajar akademik tidaklah mesti harus begitu (walaupun bisa saja memilih demikian). Toh, pada dasarnya, anak-anak sekolah pun menyerap betul-betul pelajaran sekolah bukan pada saat guru menerangkan di sekolah, melainkan justru pada saat mereka sendirian di rumah, ketika mereka membaca ulang poin-poin pelajaran yang di sekolah hanya dikenalkan gambaran kasarnya karena keterbatasan waktu.

Jadi, khususnya bagi teman-teman yang berminat menjalankan HS/HE dan masih terbentur oleh ketakutan soal sosialisasi, yakinlah bahwa tidak bisa bersosialisasi bukanlah karena faktor HS atau sekolah, melainkan pilihan kita sendiri. Kita-lah yang akhirnya memutuskan, apakah akan mengajak anak bersosialisasi mengenal banyak orang atau hanya mengurungnya di rumah. HS/HE bukanlah halangan untuk mengenalkan anak-anak pada kehidupan sosial dan berinteraksi dengan manusia secara sehat. Insha Allah.


Senin, 21 Februari 2011

Bijak Memanfaatkan Teknologi

Saya pernah menulis tentang peluang belajar dengan memanfaatkan teknologi digital, dan itu tetaplah sebuah pilihan yang bagus jika tujuannya adalah kepraktisan dan dalam rangka menyambut zaman. Akan tetapi, belajar secara virtual tetap tidak bisa mengalahkan integrasi pengalaman nyata dengan benda-benda nyata. Tetap ada yang luput dari pembelajaran digital dibandingkan belajar dengan benda-benda kongkret dan kegiatan kongkret, yaitu terfungsikannya alat motorik karunia Allah SWT dan terlibatnya anak-anak dalam sebuah proses nyata yang ter-inderai secara menyeluruh dan bukan semata menekan'tombol-tombol' instan.

Saya mencoba bersikap moderat dalam memilih alat belajar. Anak-anak kami di rumah tidak ditabukan dari teknologi digital tapi juga tak kami biarkan terlena dengannya. Menganggap teknologi hanya sebuah alat tentu berbeda dengan mereka yang menjadikannya tujuan. Jika penguasaan teknologi jadi tujuan atau output pendidikan maka tanpa sadar seseorang bisa dikendalikan oleh teknologi tanpa mampu bersikap kritis. Pesona teknologi memang mampu menjerat siapa saja pada penjelajahan tanpa batas, namun dengan mengenal tujuan hidup, tujuan penciptaan, manusia akan terlatih untuk 'waspada' dengan apa yang ditawarkan di depan matanya.

Meski zaman terus mengajak anak-anak untuk bergerak cepat dengan fasilitas teknologi yang kian canggih, namun saya berpendapat, pendidikan tetaplah sebuah proses panjang. Pendidikan bukan hanya tentang anak harus menguasai keterampilan A atau hafal pengetahuan C, pendidikan meliputi pemenuhan seluruh kebutuhan fisik dan ruhani anak-anak: kasih sayang, sikap mental yang positif, pengetahuan tentang dunia dan Penciptanya, sifat-sifat mulia, makanan yang sehat dan baik, dan aktivitas yang mampu membangun potensi dirinya.

Memainkan permainan bertani secara digital misalnya, meski dengan gambar-gambar yang menyerupai kenyataan, namun tetaplah permainan itu bukan sebuah kenyataan. Anak-anak melewatkan banyak fase yang di dunia nyata membutuhkan waktu dan kesabaran, dan justru itulah pelajaran berharga yang harusnya didapat anak-anak dari kegiatan bertani yang sesungguhnya.

Sepintas lalu, interaksi intensif anak-anak dengan dunia digital mungkin tak terlalu menunjukkan dampak-dampak negatif yang mengkhawatirkan, namun dalam jangka panjang saya melihatnya tidak sederhana. Jiwa yang selalu tergoda serba cepat, impulsif, emosional, kurang peduli pada sekitar, adalah ancaman yang harus diwaspadai dari interaksi berlebihan anak-anak dengan perangkat digital, mainan digital, termasuk juga aktivitas belajar digital. Dibalik kemudahan yang ditawarkannya, sekalipun untuk tujuan pendidikan,tetap saja kita harus bijak menggunakan teknologi. Dunia virtual dan dunia nyata, meski nampak punya kemiripan di antara keduanya, namun tetaplah berbeda.


Jumat, 11 Februari 2011

Mengenalkan Kembali Teknologi Lama

Berasal dari kampung mungkin juga ada pengaruhnya bagi saya dalam menentukan apa yang penting untuk anak-anak ketahui. Berkolaborasi dengan pengetahuan-pengetahuan baru setelah mulai berinteraksi dengan teman-teman aktivis lingkungan, bersinergi pula dengan minat besar terhadap dunia tumbuhan dan kesehatan alami, saya melihat bahwa banyak teknologi sederhana warisan orang-orang tua jaman dulu yang tak boleh dilupakan dan bahkan tetap harus dikenalkan pada generasi sekarang. Alasannya, karena teknologi 'jadoel' itu justru lebih ramah lingkungan, lebih bersahabat terhadap alam.

Pengomposan dengan cara paling murah, misalnya. Tak perlu bahan baku yang aneh-aneh, jika kita masih punya tanah kosong di halaman sekitar 1x1 meter, sampah organik bisa langsung ditampung pada lubang yang kita buat di sana. Setelah penuh bisa ditutup, menunggu sampai sempurna menjadi kompos dan kita buat lagi lubang dengan ukuran yang sama di area berbeda secara bergilir. dan kalau tak punya lahan kosong lagi, kita bisa memakai model sederhana lainnya seperti penggunaan keranjang takakura.

Saya juga mulai kenalkan pada anak-anak 'spons' alami dari sabut kelapa. Dulu, ketika saya masih kecil, memang sabut kelapa-lah yang biasa dipakai mencuci piring, selain juga daun bambu yang diremas-remas. Mungkin dulu dipilih karena tak ada pilihan lain, namun sekarang, saya memlihnya karena sabut kelapa jauh lebih ramah lingkungan ketimbang spons busa buatan pabrik. Sabut kelapa akan terurai di tanah dengan mudah setelah jadi sampah, sedangkan spons busa butuh waktu lama.

Menggunakan minyak kelapa buatan sendiri. Banyak orang sekarang menjadikan minyak kelapa asli sebagai obat. Produk sudah diberi botol khusus dan merek. Di rumah, kita bisa membuatnya sendiri dan motivasinya sudah berbeda.Membuat minyak kelapa sendiri berarti akan mengurangi sampah plastik kemasan minyak goreng yang begitu cepat menumpuk dari minggu ke minggu.

Bumbu masak, cukup gunakan bawang putih dan bawang merah sebagai penyedap masakan, ditambah daun-daun dan rimpang bumbu yang bisa kita tanam di pekarangan. Hal itu banyak mengurangi penumpukan sampah plastik kemasan dan juga sampah toxic dalam darah kita. Bukankah zat kimia dalam penyedap rasa juga tak terelakkan masuk ke dalam tubuh kita saat kita menyantapnya bersama makanan. Kalau anak-anak tidak dikenalkan pada bumbu-bumbu alami, pastinya mereka hanya akan tahu bumbu instan saja, yang memperolehnya cukup dengan memiliki uang.

Menanam sendiri beberapa jenis sayuran adalah program saya untuk anak-anak. Terkandung 2 pelajaran dalam kegiatan ini:

1. Anak-anak bisa belajar tentang esensi kebutuhan hidup. Kalau orang bekerja untuk mendapat uang dan uang dibelanjakan untuk membeli bahan makanan, maka mengapa harus mati-matian tanpa kenal waktu untuk mencari uang jika sebagian kebutuhan pokok bisa diproduksi sendiri (setidaknya mereka tidak lagi menjadi sangat bergantung pada ketersediaan uang untuk merasa hidup);

2.Tentu saja tentang lebih sehatnya sayuran hasil tanam sendiri. Dengan menanam sendiri kita bisa memilih tidak memakai pestisida kimia dan juga pupuk buatan. Sebagaimana kita tahu, pestisida, walaubagaimanapun adalah racun dan pupuk kimia juga mengandung zat yang tidak alami.

Mengenalkan dan mengkonsumsi obat-obatan alami dan mengurangi pemakaian obat kimia. Setiap kali di antara kami mengalami gejala sakit, saya selalu mendahulukan penggunaan obat dari tetumbuhan yang kami tanam atau obat-obatan herbal siap pakai untuk persediaan. Karena hampir 3 tahun lebih konsisten seperti itu, alhamdulillah anak-anak juga jadi terbiasa, dan sangat-sangat jarang dan malah nyaris tak pernah lagi bertemu dokter ketika sakit. Saya yakin hal itu juga dipengaruhi oleh sugesti positif mereka yang lambat laun tumbuh.

Target saya selanjutnya adalah mencoba memproduksi sabun, pasta gigi, dan sampho alami. Berharap, dengan begitu makin sedikit ketergantungan kami pada pabrik dan makin sedikit kami memproduksi sampah plastik yang jelas-jelas tak bisa diurai dengan mudah.

Teknologi lama, tak ada salahnya dibangunkan kembali. Dan yakinlah akan berguna dua kali lipat di zaman yang penuh masalah lingkungan seperti saat ini.


Selasa, 08 Februari 2011

Pendidikan, Kompetisi, dan Pembuktian

Pendidikan adalah keseluruhan proses mempertahankan minat belajar (yang sejatinya sudah dimiliki anak-anak sejak lahir), menggali potensi, menanamkan nilai-nilai kebaikan, dan memberikan bekal keterampilan supaya akhirnya anak-anak mandiri dalam belajar. Lewat pendidikan berbasis rumah saya melihat proses itu paling memungkinkan terjadi untuk keluarga kami, yang berkecimpung di bidang yang juga tidak terlalu formal.

Awalnya saya menjalani keputusan ini dengan banyak perdebatan, bukan dengan orang lain, tapi hakikatnya adalah dengan keyakinan-keyakinan saya sendiri. Jikapun akhirnya pergulatan pemikiran itu bersinggungan dengan pikiran orang lain yang berbeda atau mirip tapi beda esensi, nyatanya saat saya benar-benar yakin dengan konsekuensi pendidikan tanpa sekolah formal semua perdebatan dengan pihak-pihak yang menolak, mencibir, atau sekadar tidak setuju tidak lagi menarik untuk diteruskan.

Saya tidak bisa mengubah pikiran orang lain dan juga tidak punya hak untuk memaksa mereka setuju dengan apa yang saya pilih. Spirit pendidikan rumah adalah kemerdekaan dalam menentukan model pendidikan dan bukan tentang meng-klaim bahwa home-education, homeschooling, atau pendidikan informal adalah cara paling baik sehingga cara lainnya menjadi tidak baik.

Apalagi, begitu banyak contoh, di mana nasib manusia, perubahan manusia, tak pernah bisa diprediksi. Tak sedikit orang yang masa kecilnya 'berantakan' tapi di usia dewasa mampu jadi teladan. Sebaliknya, di masa kecil nampak hebat, namun saat usia kian lanjut, malah berubah mengecewakan. Poin pentingnya, selalu-lah menempatkan segalanya dalam bingkai kerendahan hati di hadapan Allah dan juga di hadapan makhluk-makhluk-Nya. Kita hanya berusaha sesuai pengetahuan yang kita yakini (namun belum tentu itu yang paling benar), adapun hasilnya? Bagaimana mungkin kita berani menyombongkan diri atas sesuatu yang kita sendiri belum mengetahuinya. Meskipun kita punya harapan besar, namun masa depan anak-anak kita, tak pernah ada yang tahu akhirnya seperti apa. Kita hanya bisa berdoa untuk kebaikan mereka.

Kompetisi
Saya menyadari, ada banyak hal yang masih menjadi misteri. Apakah sebenarnya manusia butuh iklim kompetisi untuk menjadi maju ataukah tidak? Menurut saya, kompetisi seringnya hanya menjadi alasan yang temporer dan tidak hakiki. Betapapun seringnya melihat negara yang berprestasi, jika suatu bangsa belum memiliki karakter yang memungkinkan kemajuan itu datang, maka dilombakan atau dikompetisikan sesering apapun hasilnya tak akan jauh berubah.

Apalagi setelah mencoba mempelajari karakteristik pendidikan para nabi utusan Allah, saya menyimpulkan sementara ini, pendidikan bukan butuh kompetisi, melainkan semangat untuk menjadi lebih baik yang keluar dari kesadaran diri. Dan tidak ada semangat perbaikan yang paling hebat pengaruhnya bagi makhluk bumi kecuali semangat meningkatkan ilmu pengetahuan dan membina diri sehingga memiliki akhlak/kepribadian yang mulia. Saya yakin, spirit ini akan membuahkan kondisi yang berbeda dimanapun pendidikan dilaksanakan.


Pembuktian
Mungkin inilah yang tanpa sadar menjadi tujuan kompetisi, namun bisa jadi juga sebenarnya tidak sepenuhnya bisa dijadikan acuan. Membuktikan bahwa para 'pemenang' kompetisi adalah yang terbaik dari sekian banyak orang kini makin sulit untuk dipercaya seratus persen. Pada zaman di mana uang berkuasa, popularitas jadi tujuan, manusia lebih melirik harta benda dan kehormatan semu dibandingkan kejujuran. Karena itulah, mengandalkan kompetisi untuk membuktikan kehebatan seseorang tidaklah lagi terlampau relevan.

Pendidikan adalah sarana untuk mengantarkan manusia pada kedudukan yang terus naik, bukan dalam pandangan materil (kendati hal itu mungkin juga hadir bersamaan), namun dalam parameter yang lebih tinggi yaitu nilai-nilai ilahi yang terbuktikan dalam keseharian kehidupannya, lewat perilakunya. Kemajuan di dunia materi bisa hancur kapan saja dengan kuasa Allah SWT, namun kemajuan kualitas jiwa akan membuat manusia tetap 'tumbuh' dan bahkan menjadi bekal yang bisa dituai saat manusia kembali pada Tuhannya.

Wallahualam bishawwab.

Jumat, 28 Januari 2011

Heran

Menstimulasi anak-anak untuk menceritakan kembali sebuah cerita yang didengar atau dibaca dari buku memang membuat kita jadi tahu apa yang mereka serap. Tak jarang ada hal-hal konyol saat anak-anak ternyata mampu menemukan sisi yang tidak rasional dari sebuah cerita. Hal ini terjadi suatu sore di dapur rumah kami.

Luqman memeluk saya. Penyebabnya hanya sepele. Saya memberinya satu biskuit 'cadangan' yang paginya saya beli tanpa sepengetahuan dia. Dianggapnya sebagai surprise. Nampaknya itulah yang membuatnya berekspresi demikian.

Saya pun memangkunya dan bilang, kalau kita qanaah (sekalian saya jelaskan apa itu qanaah) Allah seringkali memberi kita rejeki yang tidak kita sangka. Tapi kalau merengek, berarti kita selalu merasa tidak puas atau tidak qanaah. Akibatnya hati kita selalu saja kesal.

Tak lama kemudian papanya menimpali, mengingatkan Luqman pada cerita yang mereka baca sebelumnya tentang Nabi Sulaeman. Luqman pun diminta untuk cerita. Mulailah ia bercerita:

Nabi Sulaeman berniat memberi makan seluruh binatang di dunia, tapi Allah SWT mengingatkan bahwa Nabi Sulaeman tidak akan sanggup. Maka Nabi Sulaeman meminta, biarlah untuk satu hari saja. Dikumpulkanlah para jin dan bala tentaranya untuk memasak makanan di sebuah tempat yang sangat luas, yang jarak dari ujung ke ujungnya harus ditempuh selama satu bulan. Tak lama kemudian, datanglah satu ekor ikan besar, dan ternyata makanan yang tersedia itu langsung habis olehnya tanpa tersisa.Begitulah, Luqman menyudahi ceritanya.

Tapi Out of Topic, tiba-tiba Luqman nyeletuk, "Tapi ada satu yang bikin Ade heran," katanya. Kami, saya dan papanya, serempak bertanya, "Apa?"

"Iya kenapa ikan besar itu kok bisa naik ke darat?". Ha ha ha.....
Tentunya, itu adalah pe er buat penulis bukunya. ^_^.


Kamis, 20 Januari 2011

Minat dan Toleransi

Mungkin tidak semua, karena saya belum pernah melakukan survey, namun dari beberapa kawan yang saya kenal, latar belakang pendidikan dan minat mereka (sebagai orang tua) tanpa sadar ikut mewarnai prioritas pelajaran yang 'harus' ditekuni anak-anaknya.

Yang suka sains dan berlatarkan sains, mendorong anak-anaknya memperbanyak porsi sains; yang senang matematika, juga mengarahkan anak-anak menuju suka matematika; yang suka sastra memacu anaknya suka baca-tulis dan sedapat mungkin memacu anak mereka untuk mempublikasikan tulisan sedini mungkin.

Ini bukan persoalan salah atau benar, namun menjadi cermin, bahwa apa yang menurut sebuah keluarga dianggap penting, maka belum tentu demikian juga di keluarga lain. Kita tidak bisa memaksa, baik secara implisit ataupun eksplisit, keluarga-keluarga di luar keluarga kita untuk menyenangi prioritas kita. Apalagi seolah menganggap bahwa minat yang kita geluti juga penting dikuasai oleh semua anak tanpa kecuali.

Saya memandang, semua itu hanyalah persoalan minat dan momentum. Setiap anak akan antusias belajar pada saat yang tepat, yang ternyata tidaklah sama antara satu anak dengan anak lainnya.

Mengajarkan toleransi bisa berawal dari sini. Bukankah dunia ini menjadi ramai dan menyenangkan karena banyak keragaman. Menghargai keragaman, berarti membiarkan orang lain merdeka dengan ciri khas yang mereka miliki tanpa kita harus ikut-ikutan meniru orang lain hanya demi bisa diterima di tengah-tengah mereka.

Menurut saya, itulah ciri manusia independen.

Tentang Saya

Saya, ibu dua anak. Anak-anak saya tidak bersekolah formal. Blog ini berisi pemikiran, hasil belajar, dan beberapa pengalaman.

Jika Anda menggunakan tulisan di blog ini sebagai referensi: (1) HARAP TIDAK ASAL copy paste, (2) Selalu mencantumkan link lengkap tulisan. Dengan begitu Anda telah berperan aktif dalam menjaga dan menghargai hak intelektual seseorang.