Artikel lain

Minggu, 10 April 2011

Mengangkat Kembali Nilai-Nilai Filosofis pada Permainan Tradisional (Bagian 2)

Mencoba memenuhi janji, review hasil seminar saya lanjutkan kembali. Akan tetapi, sebelum saya masuk ke resume materi utama, saya ingin sekali membagi prinsip Kang Zaini yang sangat mencerahkan tentang mekanisme lomba anak-anak. Kang Zaini berprinsip bahwa lomba untuk anak-anak, apapun objek lombanya, sebaiknya tidak menciptakan kompetisi ketat, di mana juaranya begitu terbatas. Anak-anak sedang berada pada tahap belajar. Jika mereka menggambar, maka gambarnya (sejelek/sebagus apapun) adalah proses dan bukan hasil akhir. Penyematan juara pada segelintir anak dan tidak juara pada banyak peserta lainya hanya akan membentuk citra diri negatif terlalu dini pada diri mereka sendiri. Terlebih jika berkali-kali mereka ikut lomba dan tidak juara, maka bukan tidak mungkin akan menghapus semangat anak-anak untuk terus belajar.

Kang Zaini menyarankan, buatlah kategori juara sebanyak mungkin, sehingga (bahkan kalau mungkin) semua peserta menyandang juara pada berbagai kategori: misalnya jika lomba gambar, maka buatlah kategori terlucu, terfavorit, terkreatif, dan lain sebagainya. Jangan sampai penyelenggaraan lomba untuk anak-anak berikut penilaian juri-jurinya menjadi hanya sebuah kompetisi berebut piala, sehingga menafikan dan mengkerdilkan proses belajar yang justru lebih penting dari sekedar juara.

Menjadi Media Stimulasi
Selain mengandung nilai-nilai filosofis sebagaimana telah disampaikan pada tulisan bagian pertama, permainan tradisional kalau diamati, ternyata memenuhi juga manfaat lain, di antaranya stimulasi fisik, emosi, dan sosial. Multiple intelegence yang dipopulerkan oleh Howard Gardner, yang kemudian diaplikasikan di sekolah-sekolah dengan berbagai alat stimulasi rekaan berharga mahal (kadang-kadang) sebenarya bisa dipenuhi dengan aneka permainan dan mainan tradisional berbahan baku benda-benda alam. Selain murah, juga ternyata jauh lebih aman, karena bebas dari unsur toxic (racun).

Pernyataan tersebut di atas sekaligus membuat saya terkoneksi dengan pengetahuan sebelumya tetang alat-alat stimulasi. Dulu, di tengah-tengah membuncahnya pikiran tentang pentingnya stimulasi, saya terbentur dengan masalah lain, yaitu alat-alat stimulasi yang ternyata cukup mahal jika bahan-bahannya memenuhi kriteria aman bagi anak-anak. Balok-balok geometris dari kayu misalnya, kalau beli dari bahan kayu kualitas rendah dan cat kayu biasa (yang pastinya berbau dan ada unsur toxicnya) memang harganya cukup terjangkau, namun harga balok kayu berkualitas baik dan (katanya) aman bisa 2 atau 3 kali lipatnya. Belum lagi peralatan main dari jenis lainnya yang beragam, pastinya butuh dana yang tidak sedikit untuk sebuah proses stimulasi. Ibu-ibu yang kantongnya kering mungkin hanya bisa menelan ludah saja kalau tidak kreatif.

Nah, apa yang disampaikan Kang Zaini benar-benar menyadarkan saya. Ilmu masa lalu dalam membuat alat-alat bermain dari bahan-bahan alam sebenarnya harta tak ternilai. Walaupun sekarang anak-anak saya sudah jauh melewati masa balita, namun pencerahan ini mudah-mudahan tersampaikan kepada keluarga lain yang masih punya anak balita. Jangan cemaskan ketiadaan alat stimulasi, cukup keluarkan ilmu-ilmu masa kecil kita dalam membuat mainan, maka anak-anak masa kini juga bisa menikmati proses stimulasi yang tak kalah hebat kualitasnya.

Berikut ini beberapa permainan yang saya kenal dan menurut hemat saya punya manfaat stimulasi yang luar biasa:

a. Congklak, encrak, bola bekel (melatih kesabaran dan konsentrasi)
b. Permainan kelompok seperti galah asin (untuk anak-anak usia 9 tahun ke atas - melatih kemampuan adaptasi sosial dan disiplin)
c. Sondah mandah, bermain kelereng, gatrik, gasing(untuk stimulasi visual-spasial.
d. Sapintrong, loncat tinggi, sondah mandah (untuk melatih kemampuan fisik dan kegigihan).
e. Membuat mainan dari daun kelapa, jerami, ranting-ranting kayu, ataupun dedaunan (untuk melatih motorik halus.

Bermain Tanah
Tentang bermain tanah. Meskipun selama ini saya memang menyengajakan agar anak-anak sering menyentuh tanah namun motivasinya lebih pada agar mereka memiliki pengalaman sensoris yang lengkap. Jangan sampai, mereka kehilangan kesempatan untuk bermain bebas di luar rumah. Kadang-kadang, ya masih juga ada larangan jika mereka sudah terlalu asyik :).

Akan tetapi, seperti disampaikan Kang Zaini, ternyata bermain tanah memberi efek lebih pada anak-anak selain motivasi saya di atas. Bermain tanah terutama tanah lempung memiliki manfaat yang sama dengan fungsi memainkan playdough. Bahkan di negara-negara Eropa, tanah liat katanya kini sudah menjadi penggati playdough(yang diduga memiliki kandungan racun berbahaya). Sebuah ironi tentu saja, di mana negara-negara maju mengganti playdough dengan tanah liat terbaik (dari Indonesia) tapi orang Indonesia justru berbangga-bangga memakai playdough dari luar.

Orang-orang tua zaman dulu bahkan teryata menganjurkan agar anak-anak dibiarkan sesering mungkin bermain tanah. Hal itu bukan tanpa maksud. Tanah adalah simbol kehidupan, tempat manusia bermula dan berakhir. Tanah juga adalah representasi dari karunia Allah atas manusia, di mana segala sesuatu yang menjadi kebutuhan manusia keluar darinya. Lebih jauh, tanah juga memiliki sifat-sifat menyerupai seorang ibu, sehingga muncul ungkapan dari para tetua, “Biarkan anak-anak bermain tanah supaya mereka jadi dekat dengan ibunya”.

Kalau dipikir-pikir , pernyataan tersebut tidaklah berlebihan. Bayangkan saja, meski diinjak-injak setiap hari, dimasuki kotoran setiap beberapa jam, digali untuk diambil bebatuan dan pasir-pasirnya, diterobos beribu-ribu ton alat berat untuk eksplorasi, namun tanah pula-lah yang memberi kehidupan pada makhluk-makhluk yang hidup di permukaannya. Bukankah dari bumi-lah keluar berbagai tetumbuhan yang buahnya mampu mengenyangkan, bahan baku sandang sehingga kita bisa berpakaian, dan mengeluarkan pohon-pohon berkayu yang dengannnya manusia dan bahkan hewan bisa mendirikan tempat tinggal.

Sifat-sifat bumi tersebut tak ubahnya karakter seorang ibu. Meski bayinya menumpahkan kotoran di tubuhnya saban hari, membuatnya pusing karena kerewelannya, dan amat lelah karena memenuhi kebutuhannya, namun ibu tetap menyuapkan makanan pada anaknya, mengganti dan mencuci popoknya, dan memberi tempat tidur yang nyaman setiap hari.

Dengan bermain tanah, baik ditinjau dari sisi kongkretnya (bumi) maupun nilai filosofisnya (ibu) diharapkan anak-anak jadi memilki kedekatan emosional dengannya, tumbuh kecintaannya, tumbuh keinginan besar untuk menjaga dan merawatnya. Jadi, edukasi pada anak tentang save the earth semestinya tidaklah harus bersusah payah”: Cukup ikuti nasihat para leluhur, “Biarkan anak-anak bermain tanah” ^_^.

Demikian resume saya tentang materi Seminar Permainan Tradisional. Banyak hal lain yang mungkin terlewat. Tetapi jangan khawatir, kita bisa mencari tahu lebih jauh dengan mengunjungi 'markas' Komunitas Hong di Jl. Bukit Pakar Utara 35 Dago Bandung. Yuk, belajar lagi permainan tradisional, dan temukan manfaatnya bagi pendidikan anak-anak kita!

Selasa, 05 April 2011

Mengangkat Kembali Nilai-Nilai Filosofis pada Permainan Tradisional (Bagian 1)

Alhamdulillah, saya bersyukur sekali, ketika saya begitu antusias memikirkan sesuatu, Allah juga menolong saya dengan "mengirimkan" teman-teman yang memiliki spirit yang sama. Bulan April 2011 ini saya memperoleh sesuatu yang begitu berharga melalui "Seminar Permainan Tradisional", yang diselenggarakan Temasek International School. Kang Muhammad Zaini Alif (dari komunitas Hong!), sebagai pembicara, benar-benar membuat saya terdorong untuk merealisasikan satu lagi item yang menurut saya penting, yaitu mengangkat kembali spirit permainan tradisional bagi anak-anak. Insya Allah akan saya buat dalam 2 bagian, karena terlalu banyaknya bahan yang harus dituliskan.

Sebelumnya, saya memang pernah mencoba mengajarkan anak-anak permainan zaman dulu, ya minimal permainan yang saya ketahui (sebagai jejak masa kecil di kampung). Sudah pernah juga anak-anak saya dan teman-temannya di komplek perumahan kami diajak main bersama. Akan tetapi, praktiknya hanya seumur jagung. Lama-lama mereka menghilang, seiring melemahnya motivasi saya yang waktu itu belum terlalu jelas melihat manfaatnya.

Sehabis mengikuti seminar Kang Zaini, mata saya seperti dibukakan pada sebuah visi yang sangat luhur dari permainan tradisional, yang kini mulai ditinggalkan. Judulnya bolehlah 'permainan', tapi kandungan nilai filosofis dan edukasinya ternyata tidak main-main. Kang Zaini ternyata sudah melakukan penelitian mendalam terhadap berbagai permainan tradisional di Nusantara. Bukan hanya jenis dan variasinya yang digali, melainkan juga jejak historis dan nilai-nilai filosofis permainan tersebut. Subhanallah, sangat mengagumkan buat saya.

Beliau pernah menulis buku kumpulan permainan hasil penelitian tersebut melalui proyek dana pemerintah, namun sayangnya tak terlacak jejak buku-buku tersebut ada di mana. Tapi kabar baiknya, beliau saat ini sedang berusaha menyusun kembali buku tersebut dengan banyak revisi dan akan diterbitkan untuk umum. Kalau belum ada penerbitnya, mudah-mudahan tulisan ini bisa menghantarkan dan menghubungkan. Bukankah naskah bermutu banyak ditunggu-tunggu para penerbit buku? ^_^

Kembali ke acara seminar. Buat saya ada beberapa hal yang menarik dari paparan Kang Zaini, berikut saya sarikan poin-poinnya. Mudah-mudahan juga akan menginspirasi teman-teman:

1. Permainan anak tradisional di berbagai negara satu sama lain ternyata memiliki kemiripan. Perbedaannya mungkin lebih kepada model, variasi aturan permainan, nama, media yang dipergunakan. Akan tetapi, esensinya tetap sama. Hal ini memang memicu banyak pertanyaan, terutama bagi mereka yang tertarik dengan hubungan temuan arkeologis dengan proses penyebaran budaya serta ras manusia. Terlebih-lebih lagi, kini sedang ramai-ramainya dibahas penelitian mengenai The Lost Continent Atlantis, yang diduga justru berada di Indonesia. Apakah benar, peradaban negeri Atlantis yang hebat itu memang berada di Nusantara? Benarkah telah terjadi banjir besar pada suatu masa di ribuan tahun yang lalu, sehingga manusia terpecah-pecah ke berbagai benua dan melahirkan ras-ras yang masih mengadopsi kebudayaan dari negeri asalnya? Apakah itu juga penyebab dari kemiripan jenis permainan tradisional berbagai negara di dunia yang ada saat ini? Pe er buat kita ^_^.

2. Setiap jenis permainan memiliki maksud tertentu, dan ternyata penuh dengan filosofi pendidikan. Misalnya saja pada permainan sondah mandah, dimana bidang permainan dibuat dalam bentuk bangun persegi beberapa kotak, dan diujungnya dibuat lingkaran besar. Menurut penelitian Kang Zaini, petak pertama media sondah adalah simbol dari bumi, sedangkan lingkaran besar di ujung adalah simbol dari surga.

Perjuangan para pemain sondah untuk mencapai tahap demi tahap permainan adalah simbol dari usaha di dunia ini. Ketika seorang pemain gigih bekerja keras, maka ia pun sedikit demi sedikit akan mendapat bintang di salah satu petak. Bintang itu sendiri adalah simbol kenikmatan duniawi. Jika satu kotak sudah ditandai bintang oleh satu pemain, maka pemain lain tidak boleh menginjaknya, tapi harus melangkahinya. Hal itu adalah simbol dari aturan dalam menghormati hak milik seseorang di dunia ini. Semakin banyak seorang pemain mendapat bintang ia semakin santai, dan sebaliknya pemain yang bintangnya sedikit ia pasti kerepotan karena harus melangkahi banyak petak orang lain untuk berjalan (begitulah juga kehidupan di dunia nyata, bukan? :)).

Filosofi lain yang tak kalah menarik adalah pada bintang yang diperoleh para pemain di lingkaran besar. Kalau pada petak permainan (dunia) para pemain dilarang meletakkan bintang di wilayah yang sudah dimiliki orang, namun berbeda dengan lingkaran di ujung itu (surga). Meskipun hanya satu area, tapi semua pemain boleh berbagi tempat meletakkan bintang di sana, tak peduli apakah pada petak permainan mereka punya banyak bintang (orang kaya) atau sedikit bintang (miskin). Sungguh filosofi yang menarik menurut saya.

3. Tahukah permainan paciwit-ciwit lutung? Entah di daerah lain selain Tatar Sunda bernama apa. Permainan itu adalah saling mencubit punggung tangan menumpuk ke atas. Lagu pengiringnya kalau di Tanah Sunda: Paciwit ciwit lutung si lutung pindah ka tungtung (saling mencubit para lutung (monyet), si lutung pindah ke ujung). Maka tangan yang paling bawah akan pindah ke atas, mencubit tangan temannya yang lain. Begitulah terus-menerus sampai setiap tangan bergantian naik ke atas dan kemudian tergeser rotasi permainan kembali ke bawah, dst.

Katanya, permainan itu adalah juga simbol kehidupan dunia. Manusia itu tidak selamanya sengsara, dan tidak selamanya juga kaya raya; tidak selamanya mendapat berkah, tidak selamanya juga berada dalam kesusahan. Hal itu sepertinya untuk menyadarkan manusia agar tidak sombong saat berjaya, dan juga tidak merasa rendah diri dan putus asa saat kondisi materil tidak terlalu memadai.

4. Permainan berikutnya adalah hompimpa. Lagu pengiringnya kurang lebih sebagai berikut, hompimpa alai hom gambreng dst. Menurut Kang Zaini, kata 'hom' setelah ditelusuri dalam berbagai konteks bahasa memiliki makna yang hampir sama, yaitu Tuhan. Jadi, hompimpa alai hom, artinya dari Tuhan kembali kepada Tuhan (Ummat muslim mungkin mengenal istilah innalillahi wa inna ilaihi rajiuun. Jadi, permainan ini sesungguhnya mengajarkan tentang hakikat kehidupan manusia. Semua makhluk berasal dari Allah dan pasti akan kembali kepada Allah, tidak ada yang abadi. Kata 'gambreng!" artinya menyentak atau menyadarkan agar manusia ingat akan hakikat tersebut.

Bagian yang lebih menarik lagi adalah aturan permainan setelah hompimpa. Seingat saya, biasanya hompimpa dipakai sebagai undian dalam permainan ucing sumput (petak umpet), yaitu untuk menentukan siapa yang duluan sembunyi dan siapa yang kebagian mencari.

Dalam permainan petak umpet, pemain yang sudah ditemukan akan diseru, "Hong!"(sambil disebut namanya), maka ia harus keluar dan tidak boleh ke mana-mana. Ia harus berdiri di dekat orang yang menemukannya untuk melihat permainan berlangsung sampai semua pemain yang sembunyi ditemukan. Menurut Kang Zaini lagi, permainan tersebut adalah simbol, bahwa orang-orang yang bermain itu adalah manusia di dunia ini. Ketika mereka akhirnya ditemukan, itu artinya mereka sudah dipanggil kembali kepada Allah. Dan pekerjaan dia adalah menonton manusia lain yang masih sedang "bermain" di dunia ini.

Jika saya kaitkan dengan beberapa ayat Al Quran, maka korelasinya menjadi begitu jelas, dan tentu saja jadi membuat saya juga merenung, apakah mungkin banjir besar pada zaman Atlantis (seperti di-klaim seorang peneliti)itu memang terkait dengan kisah Nabi Nuh A.S? Dan permainan-permainan zaman dulu itu memang dirancang oleh utusan Allah untuk mengajarkan anak-anak tentang hakikat kehidupan dan eksistensi Tuhan lewat permainan? Memang masih misteri, namun sulit dipercaya rasanya jika hanya orang biasa saja yang menciptakan permainan dengan kandungan nilai setinggi itu. Pastinya, siapapun dia/mereka, adalah orang-orang yang memiliki ilmu dan makrifat yang luar biasa(hanya Allah Yang Maha Mengetahui).


"Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu." (Q.S Al Hadiid : 20)



BERSAMBUNG



Tentang Saya

Saya, ibu dua anak. Anak-anak saya tidak bersekolah formal. Blog ini berisi pemikiran, hasil belajar, dan beberapa pengalaman.

Jika Anda menggunakan tulisan di blog ini sebagai referensi: (1) HARAP TIDAK ASAL copy paste, (2) Selalu mencantumkan link lengkap tulisan. Dengan begitu Anda telah berperan aktif dalam menjaga dan menghargai hak intelektual seseorang.