Artikel lain

Sabtu, 21 Juli 2012

Riyadhah Ramadhan: Sedikit Tapi Kontinyu

Ketika muncul buku-buku yang berisi tips untuk menumbuhkan rasa senang berpuasa pada anak-anak di bulan Ramadhan, saya sendiri merasa tidak punya tips khusus. Akan tetapi alhamdulillah, seiring usia anak-anak, mereka akhirnya sampai juga pada satu fase punya keinginan sendiri untuk berpuasa, tanpa paksaan, tanpa iming-iming.

Anak-anak kami bisa dikatakan agak terlambat untuk mulai berpuasa dibandingkan anak-anak lain yang bahkan sudah mulai pada usia 6 tahun. Baru di usia 8 Azkia mulai ingin belajar puasa setengah hari, dan di usia 9 tahun nyaris penuh, kecuali batal karena perjalanan jauh kami ke Sumatra Barat dan Aceh tahun lalu.

Sementara itu, si kecil Luqman, tahun lalu, di usia 7 tahun baru mulai mencoba puasa setengah hari sampai jam 3. Namun Ramadhan tahun ini, di hari pertama shaum, terlihat ia berusaha begitu keras. Setelah pukul 12 siang berdentang, ia masih bertahan, menjelang jam 3 ia minta izin berbuka dengan air tapi puasa lagi setelah itu. Saat maghrib tiba, ia tidak mau berbuka makan duluan kecuali bersama-sama.

Kunci inti yang saya simpulkan dalam menanamkan keinginan untuk berpuasa itu sebenarnya lahir dari integritas orang tua. Ketika orang tua menganggap penting puasa Ramadhan, memuliakan hari-hari di bulan ini maka lambat laun anak-anak akan memperoleh aliran energi untuk melakukan hal yang sama. Seperti sebuah celotehan ringan seorang kawan, "Untuk menjadikan anak-anak menjadi baik itu, gampang. Jadilah orang tua yang berakhlak baik, insya Allah anak-anaknya juga akan baik."

Segepok tips hanya diperlukan bagi mereka yang kurang memiliki ikatan emosional dengan anak-anaknya. Percayalah, dengan interaksi yang baik, dengan komunikasi yang baik, yang terjalin antara kita dan anak-anak, nilai-nilai itu tidak perlu dijejalkan, melainkan cukup hanya dicontohkan dan anak-anak akan tergerak untuk menirunya dengan kesadaran sendiri. Adapun pemahaman mereka tentang hakikat amalan yang mereka tiru adalah fase berikutnya, sebagai sebuah perjalanan spiritual mereka sendiri.

Saya tidak membuat form isian untuk melatihkan disiplin Ramadhan. Saya ganti form riyadhah dan semacamnya dengan cukup melatihkan sedikit (1-2) kebiasaan baru yang bisa mereka jangkau secara konsisten. Sederet aktivitas yang terlalu penuh bisa jadi malah tidak sanggup mereka jalani. Akibatnya, mereka tidak memiliki kesan yang baik dengan Ramadhan.

Ketidakmampuan mencapai target bagi anak-anak tidaklah sederhana. Ketika impuls saraf di otak akan melontarkan energi listrik yang luar biasa sehingga gairah belajar naik saat anak berhasil mencapai sesuatu, maka ketika gagal dan terlalu banyak gagalnya, akan berdampak sebaliknya.

Kita tidak perlu membandingkan anak kita dengan anak lain. Setiap anak berkembang sesuai kapasitasnya. Terpenting, proses belajar tidak pernah berhenti. Proses adalah tahapan yang jauh lebih penting untuk dihargai daripada hasil. Tugas manusia adalah berikhtiar, sementara hasilnya ada dalam kekuasaan Allah Yang Maha Berkehendak.

Buat saya, perubahan kecil yang bisa dijalankan secara kontinyu jauh lebih baik daripada perubahan banyak yang hanya sesekali bisa dilakukan. Bukankah Rasulullah SAW bersabda, “Amalan yang lebih dicintai Allah adalah amalan yang terus-menerus dilakukan walaupun sedikit”(HR Bukhari dan Muslim).

Wallahu'alam bishshowwab. Selamat menunaikan ibadah Shaum Ramadhan.

Kamis, 17 Mei 2012

Belajar, Proses, dan Sunatullah

Ada semacam rasa perasaan tidak sreg dengan konsep pendidikan yang membiarkan anak-anak 'diabur', dilepas semaunya demi spirit kemerdekaan. Namun saya belum menemukan argumentasi yang pas untuk mematahkan konsep tersebut untuk diri saya pribadi (bukan untuk orang lain, karena setiap orang punya paradigma dan alasan sendiri-sendiri). Bersyukur, beberapa hari yang lalu, saya seolah mendapat insight tentang persoalan tersebut.

Proses. Bahkan para wali Allah pun memperoleh ilmunya melalui belajar. Ilmu tidak turun dengan begitu saja kepada mereka, melainkan dengan belajar. Proses adalah sunatullah, dan belajar adalah salah satu wujud kongkret sebuah proses. Mengapa harus menentang sunatullah itu?

Berharap agar kemerdekaan dalam belajar terpenuhi mengingat sekolah formal dirasa terlalu mengekang, tidak harus menghancurkan sunnah-sunnah yang sudah ditetapkan Allah. Manusia di dunia fana ini bergelut dengan proses. Manusia di dunia fana ini bergelut dengan usaha-usaha. Demikian juga halnya untuk membuat anak-anak berpengetahuan, berkepribadian baik, berketerampilan, dan ideal-ideal lainnya tidak cukup hanya dengan menyerahkan mereka pada 'alam' tanpa proses belajar.

Jikapun ada keberhasilan yang diperoleh dengan cara tersebut, maka hasilnya untung-untungan. Ketika lingkungan yang membentuknya memang menggiring anak pada bertumbuhnya kemampuan-kemampuan, mungkin mereka akan mencapai taraf yang diharapkan, namun ketika kondisi lingkungan ternyata sebaliknya, bagaimana? Suatu hari saya yakin kita akan menyesal karena membiarkan waktu berlalu tanpa usaha, dan menggerus kesempatan anak-anak untuk mencapai kemampuan-kemampuan diri sebagai bekal hidup mereka.

Seperti juga berharap ada sajian makanan tertentu di meja makan, manusia membutuhkan ikhtiar dari mulai menyediakan bahan bakunya hingga belajar proses mengolahnya. Sekali lagi saya meyakinkan diri saya sendiri: Ikhtiar adalah sunatullah untuk kehidupan di dunia fana ini. Maksimalkanlah ikhtiar untuk semua urusan, baru sisanya bertawakal kepada Allah.

Aplikasinya, orang tua yang tidak menyekolahkan anaknya ke sekolah formal seperti saya, harus menuntun diri untuk konsisten dengan jadwal belajar anak-anak, betapapun sebentarnya. Jangan malas dan jangan lengah. Ilmu yang kita miliki akan dimintai pertanggungan jawab. Amanah yang diembankan juga akan ditanyai bagaimana kita menjaganya. Dan anak-anak adalah amanat besar bagi orang tuanya.

Kamis, 26 April 2012

Penyerbukan Bunga Markisa

Azkia belajar membantu penyerbukan pada bunga markisa. Karena posisi putik ada di atas, sedangkan benang sarinya ada di bawah, markisa sering harus dibantu penyerbukannya. Entah, walaupun banyak serangga yang berada di sekitar markisa, tapi mereka tidak terlalu tertarik dengan bunga ini rupanya. Padahal menurut saya, bunga markisa itu cantik sekali.

Awalnya, ketika kawan saya Mbak Suzanna Setiawaty, penghibah tanaman markisa ini :), memberi tahu bahwa bunga markisa harus dibantu penyerbukannya, saya hanya mencobanya dengan tangan. Dan sudah hampir 3 bunga yang saya 'bantu', tetap belum berhasil jadi buah. Bunga akhirnya jatuh tanpa meninggalkan buah. Namun suatu hari datang seorang tamu yang memberi tahu teknik lain, yaitu menggunakan alat bantu berupa lidi atau ranting berukuran kecil. Tidak ada salahnya mencoba, dan hore! Beberapa hari setelah itu, saat memeriksa kembali markisa kami, 2 buah markisa sudah mulai menggelantung.

Sayang jika tak dikenalkan pada anak-anak. Saya ajak Azkia mencobanya untuk 2 bunga baru. Penyerbukan bantuan dilakukan di hari Senin, dan saat hari Kamis diintip ke dalam bunga yang sudah mulai layu, tampak bakal buah mulai membesar. Berarti, Azkia juga berhasil. Tanpa sadar aktivitas itu menjadi ajang praktikum biologi, bukan? Pengalaman nyata yang luar biasa! Terima kasih buat Mbak Suzanna ^_^.

Tulisan menarik lainnya: Anglo Mini, Udara, dan Aku Bisa!

Senin, 23 Januari 2012

Peta Pikiran untuk Merangkum Pelajaran

Azkia (9 tahun) sekarang sedang belajar tentang 'Rangka dan Alat Indera Manusia' (pelajaran IPA kelas 4 SD semester 1). Awalnya begitu sulit dan moodnya juga lambat muncul saat pertama membuka pelajaran ini. Tapi, alhamdulillah, ketika diarahkan dengan sabar, akhirnya ia menemukan 'passion' dalam mempelajari hal-hal seperti ini.

Azkia sekarang belajar dengan menggunakan peta pikiran. Dia membuat rangkuman inti pelajaran dalam bentuk lingkaran-lingkaran peta yang mudah dibaca. Dan dengan inisiatifnya sendiri, setiap sub ia bagi-bagi menjadi kerangka tersendiri yang bisa ia pahami.

Berikut ini contoh catatan yang dibuatnya:




Motto yang kami tularkan sekarang pada anak-anak: "JANGAN HANYA KARENA SEBUAH PELAJARAN ITU SULIT LALU KITA BILANG ITU TIDAK PENTING. BERSUNGGUH-SUNGGUH ADALAH PINTU KEBERHASILAN, TEKUN DAN GIGIH ADALAH KUNCINYA"

Senin, 16 Januari 2012

Apa Manfaatnya Bagiku?

AMbak (Apa Manfaatnya bagiku?) Bagi anak-anak yang dibesarkan dengan iklim belajar tanpa paksaan, pertanyaan tersebut nampaknya sangat penting. Saya sebagai orang tua pun menyadari bahwa menjawab pertanyaan itu adalah "tugas" penting. Saya bercermin pada diri saya sendiri. Jika saya mengetahui bahwa sebuah perbuatan yang saya lakukan bermanfaat, biasanya akan mendongkrak semangat saya jauh lebih besar dibandingkan jika saya hanya melakukannya tanpa tujuan atau karena sebuah tugas saja.

Saya sering melihat binar-binar semangat menyala di mata anak-anak ketika kami berkumpul dan menceritakan banyak hal tentang fase-fase dan proses sebuah pelajaran berubah menjadi profesi yang penting dalam kehidupan.

Cerita-cerita semacam itu sangat efektif untuk menyuntik semangat mereka saat merasa kesulitan dengan sebuah pelajaran. Pesan moralnya: "Jangan hanya karena sebuah pelajaran itu sulit, lalu kita bilang itu tak berguna. Belajarlah terus meskipun lambat, karena ketika kita berhasil mempelajarinya, kelak hal itu akan menjadi simpanan berharga yang bisa dipergunakan ketika kita membutuhkannya."



Selasa, 03 Januari 2012

Pembelajaran Terintegrasi

Beberapa waktu terakhir, karena sebuah 'tugas', saya mempelajari sejarah beberapa ilmuwan muslim. Walaupun terasa sulit pada awalnya, namun hikmah buat saya adalah berpijarnya kembali pemikiran tentang dunia belajar.

Berdasarkan data yang saya peroleh, rata-rata para ilmuwan muslim zaman dulu menguasai berbagai bidang ilmu sekaligus, tidak dikotomis. Mereka menguasai matematika, kimia, kedokteran, dan juga ilmu tanaman, bahkan musik pada taraf faqih (mahir/ahli). Hal itu membuat saya menduga bahwa pada zaman dahulu ilmu memang tidak disekat-sekat menjadi cabang-cabang yang sempit. Setiap orang yang cinta ilmu belajar apa saja yang sekiranya diperlukan dan dianggap saling berkaitan satu sama lain.

Adapun munculnya pengelompokkan ilmu, sehingga disebut-sebutlah ilmuwan A ahli di bidang X atau ilmuwan B ahli di bidang Y, terjadi sesudahnya, oleh para akademisi, ketika memasuki era sekolah formal (baru dugaan saya, belum meneliti lebih jauh sejarahnya ^_^).

Melalui dugaan tersebut, saya makin tertarik untuk melanjutkan proses belajar yang terintegrasi. Satu bidang ilmu dengan yang lainnya ditempatkan saling berkaitan, karena memang demikianlah faktanya di dunia nyata. Secara alami kita bisa menggabungkan semuanya dalam sebuah kegiatan.

Pengetahuan yang diperoleh anak-anak biarlah nantinya dikelompokkan dalam cabang ilmu yang mana, terpenting mereka belajar dengan antusias apapun yang mereka minati. Biar saja informasi tentang cabang-cabang ilmu itu diketahui sesudahnya, dengan sendirinya. Tidaklah hal-hal semacam itu harus dijadikan pelajaran pertama seperti pada umumnya isi BAB 1 buku pelajaran sekolah. Bukankah isi lebih penting didahulukan daripada kerangka, meski kerangka juga penting pada akhirnya. ^_^.

Contoh sketsa ide pembelajaran terintegrasi adalah seperti gambar di bawah. Kalau dikembangkan terus setiap kelompoknya akan melahirkan banyak turunan gagasan yang seru. Hanya dari kegiatan memasak saja, kita bisa menyentuh beberapa cabang ilmu. Saya yakin, para pembaca bisa mengeksplorasi sendiri pengembangan gagasan berikutnya. Selamat mencoba!




Tentang Saya

Saya, ibu dua anak. Anak-anak saya tidak bersekolah formal. Blog ini berisi pemikiran, hasil belajar, dan beberapa pengalaman.

Jika Anda menggunakan tulisan di blog ini sebagai referensi: (1) HARAP TIDAK ASAL copy paste, (2) Selalu mencantumkan link lengkap tulisan. Dengan begitu Anda telah berperan aktif dalam menjaga dan menghargai hak intelektual seseorang.