Artikel lain

Kamis, 08 Desember 2011

Budaya Berguru

Salah satu pe er kami tentang pendidikan anak-anak adalah budaya berguru. Tanpa sadar, keseringan belajar mandiri, self exploration, kayaknya bisa memicu sikap tidak teacheble.

Meskipun sarana dan prasarana belajar mandiri makin banyak sekarang ini, namun kegiatan berguru punya arti tersendiri. Kegiatan berguru menurut saya menanamkan sikap 'mau diajari', dan itu berdampak pada bertambah luasnya ilmu dan menekan sikap egosentris di mana mereka merasa hebat sendiri. Hal itu tentunya berseberangan dengan ideal akhlak seorang muslim.

Jadi, dalam tahap-tahap kecil, kami mulai membawa anak-anak pada guru lain selain kami, orang tuanya. Berharap dengan cara itu, mereka menyadari pentingnya sosok guru di samping kemauan untuk belajar sendiri. Azkia sudah hampir 6 bulan ikut les bahasa Inggris dengan 12 murid dalam satu kelas dan guru berumur 27-an tahun. Mulai ikut les piano dengan guru berumur 70-an tahun; ikut les robotika dengan guru berusia sama dengan guru les Inggrisnya; belajar craft bersama Nenek, dan lain sebagainya.

Di luar fakta bahwa banyak guru formal juga belum tentu kompeten dalam mengajar, namun budaya berguru tidak akan bisa dilepaskan dari budaya belajar jika ingin anak-anak menjadi seorang pembelajar sejati.

Pembelajar mandiri bukan hanya sekadar tentang bisa belajar sendiri (tanpa sosok guru), namun juga selalu siap menyerap ilmu dari orang lain dan berguru padanya.Saya semakin menikmati proses perenungan ini. Pendidikan informal mewadahi pendalaman hakikat banyak hal, terutama soal belajar. Karena pada dasarnya bukan hanya anak-anak yang belajar, melainkan juga kami sebagai orang tuanya.



Kamis, 01 Desember 2011

Menyentuh Pelajaran Akademik secara Informal

Anak-anak saya sekarang sudah 9 dan 7 tahun. Kalau merujuk tahapan perkembangan anak, memang sudah memasuki fase operasional kongkret, usia siap belajar terstruktur. Sekarang kami membuat jadwal belajar akademik secara rutin setiap hari dengan persetujuan mereka. Waktunya diatur oleh mereka sendiri tapi diusahakan selalu tetap setiap harinya. Dan atas permintaan mereka, kami mulai jam 9 pagi. Maksimal durasi belajar kami tetapkan hanya 30 menit, namun faktanya sering lebih pendek ^_^.

Kami mulai memakai kurikulum sekolah formal sebagai salah satu bahan. Dengan begitu, jika suatu hari berniat ikut ujian kesetaraan, anak-anak tidak lagi kaget dengan formulasi pelajaran yang diujikan. Kami mencoba untuk bersikap pertengahan saja soal model pendidikan ini. Hari ini kami memilih pendidikan informal dan besok-besok mungkin tertarik dengan formal, ijazah kesetaraan dari lembaga nonformal adalah mediatornya. Jadi, tak ada ruginya juga menyiapkan anak-anak untuk berakrab-akrab dengan pelajaran KURNAS, toh mereka juga jadi mendapat tambahan ilmu.

Saya akui, buku pelajaran sekolah tidak terlalu menarik untuk dibaca anak-anak. Topiknya bermanfaat, tapi penyusunan isinya, dari mulai tipografinya, layoutnya, ilustrasinya, kalimat-kalimatnya, dan pertanyaan-pertanyaannya cenderung membosankan. Jadi bagaimana?

Awalnya kami pun enggan memakai kurnas, tapi kemudian membalik cara berpikir. Bukankah beberapa hal dalam hidup ini juga tidak menyenangkan kita. Reaksi dan cara kita berpikirlah yang membuat semuanya berbeda. Karena itulah, kami coba bersahabat dengan BSE (Buku Sekolah Elektronik) dan mengambil intisari pelajarannya. Sesudah itu, metode penyampaian kami coba otak-atik dengan berkreasi sendiri, dan alhamdulillah anak-anak mulai terbiasa juga menikmati KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) pelajaran sekolah tapi secara informal.

Jadwal belajar akademik berbahan baku kurnas kami coba permudah: Hanya 5 hari seminggu (Senin - Jumat), 1 atau 2 mata pelajaran per hari maksimal 30 menit. Satu kali belajar kami tetapkan hanya satu bab. Jika rata-rata buku pelajaran berisi 10 bab, maka dengan belajar seminggu sekali untuk setiap pelajaran, insya Allah anak-anak sudah selesaikan semuanya dalam 10 minggu (2,5 bulan) . Saya kira hal itu cukup ringan untuk dilaksanakan.

Muatan Ekstra
Tentu saja, jika sebelumnya anak-anak hanya belajar hal-hal yang mereka suka, penambahan kurnas tidak membuat hobi mereka jadi 'terlarang'. Bisa kita hitung sendiri, belajar akademik 30 menit, maka sisa waktu untuk yang lain masih sangat banyak. Anak-anak bisa baca buku yang mereka suka, bermain-main di kebun, bikin-bikin craft bersama teman-temannya, nonton film anak-anak atau film-film dokumenter, dan banyak lagi.

Untuk menambah keterampilan, Azkia pilih kursus Bahasa Inggris 2x seminggu (@1 jam per pertemuan), kursus piano 1x per minggu (@30 menit). Luqman suka mekanika, dan mulai mau lagi belajar robotika seminggu sekali. Dan mungkin yang lain-lainnya jika mereka sudah mulai tertarik untuk belajar.

Namun muatan ekstra yang terpenting dan kami usahakan tetap konsisten adalah hafalan Quran. Setiap hari, meski hanya 5 atau 10 menit kami rutinkan kegiatan tersebut supaya mejadi habit. Mudah-mudahan Allah SWT selalu memberi kekuatan pada hati kami untuk konsisten.

Belajar, selain merupakan hak, juga merupakan kewajiban bagi seorang mukmin setelah dewasa. Ketidaktahuan bisa mematikan langkah dan menyuburkan kebodohan. Seorang mukmin haruslah cerdas dan berpengetahuan. Satu-satunya jalan untuk mencapai titik tersebut adalah belajar.

Menurut saya, tugas orang tua pada anak-anak dalam hal ini, bukan hanya mengikuti apa yang mereka mau, tapi juga menumbuhkan rasa senang dan butuh terhadap belajar. Dengan begitu, ketika sudah tiba waktunya anak-anak masuk usia taklif belajar hal-hal yang lebih tinggi dalam agama dan kehidupan bermasyarakat, mereka sudah bisa mengatasi faktor-faktor penghambatnya. Mudah-mudahan, insya Allah.

Kreasi dari Kain Perca

Ketika nenek (ibu saya) berkunjung ke rumah, selalu menjadi peristiwa penting. Keterampilan-keterampilan klasik yang dikuasai nenek adalah harta karun. Jadi, saya selalu memanfaatkan kedatangan nenek untuk mengajar cucu-cucunya keterampilan baru.

Bulan ini seni merangkai kain perca jadi topik utama. Kebetulan, lebaran yang lalu ibu mertua saya memberikan sekantung bahan baku kain perca yang sudah dibentuk. Setelah lama tersimpan di koper, hari ini saya bongkar dan dimulailah acara merangkai perca bersama anak-anak tetangga yang main ke rumah.

Ternyata anak-anak antusias mau belajar. Cadangan jarum tangan pun dikeluarkan supaya semua anak kebagian mencobanya.





Tentang Saya

Saya, ibu dua anak. Anak-anak saya tidak bersekolah formal. Blog ini berisi pemikiran, hasil belajar, dan beberapa pengalaman.

Jika Anda menggunakan tulisan di blog ini sebagai referensi: (1) HARAP TIDAK ASAL copy paste, (2) Selalu mencantumkan link lengkap tulisan. Dengan begitu Anda telah berperan aktif dalam menjaga dan menghargai hak intelektual seseorang.