Pengalaman ini bisa jadi tidaklah terlalu istimewa buat Anda, tapi saya pikir tak ada salahnya untuk dibagi, karena bukan tak mungkin ada para bunda atau ayah yang mengalami kesulitan serupa jadi terinspirasi setelah membaca cerita saya ini.
Putera saya Luqman (4,5 tahun) memang berbeda dengan kakaknya - Azkia (6,5 tahun). Pada usia 3,5 tahun Azkia sudah bisa membaca, sedangkan Luqman, di usianya yang mau menjelang 5 tahun masih belum terlihat berminat untuk bisa membaca. Dia memang senang dibacakan buku, tapi saya belum menemukan metode yang tepat, yang membuat dia antusias untuk belajar membaca.
Setiap hari saya selalu berpikir keras bagaimana caranya membuat Luqman mau belajar membaca, dengan metode apapun lah! Entah Glenn Doman, suku kata, atau yang lainnya. Terpenting dia mau secara sukarela tertarik untuk belajar. Beberapa kali saya rancang model belajar untuk anak bungsu saya ini, tapi hasilnya belum memuaskan. Mood dia untuk belajar yang satu ini sepertinya menguap sebelum dimulai.
Nah! Sore ini saya seperti dikejutkan oleh ide kecil yang tiba-tiba melintas. Sambil istirahat sehabis bersih-bersih halaman, saya jadi teringat bahwa anak saya ini sebenarnya gampang mengingat sebuah informasi jika disampaikan secara lisan. Meski ia sangat aktif bergerak, tapi dia mampu menyerap info lisan yang dia dengar. Artinya, dia seorang pembelajar haptik - auditori!
Saya panggil si kecil untuk sekedar bermalas-malasan dan mencoba satu model belajar yang terpikir begitu saja. Saya coba sampaikan pendekatan prinsip suku kata secara lisan tanpa teks terlebih dulu. Saya bilang, "De, kalau B ditambah A dibacanya BA, C ditambah A dibacanya CA, dan D ditambah A jadi DA". Lalu saya tes dia untuk membaca tiga suku kata itu sekaligus BA CA DA. Entah mengapa dia jadi tertawa.
Langkah berikutnya, saya masuk ke gabungan 3 konsonan di atas dengan vokal i, u, e, dan o. Hasilnya, dia mampu menyerapnya dengan baik. Lalu saya tes dia untuk membunyikan gabungan konsonan baru: F, G, dan H dengan 5 vokal... Hasilnya sungguh mengejutkan saya, karena ternyata dia mampu membacakannya dengan benar. Sungguh, bukan hanya saya yang senang, dia pun tertawa begitu gembira dengan kemampuannya itu.
Karena penasaran, saya pun minta dia mengambil balpoin dan kertas. Duh, dengan semangat si kecil berlari memenuhi permintaan saya. Saya cobakan di atas kertas titian suku kata yang sudah kami pelajari tadi, dengan harapan otaknya terkoneksi dari suara ke visual.
Dan.. subhanallah, kabut yang selama ini menyelimuti pemahamannya seolah mulai terkikis. Dia mengerti dan mulai bisa membaca suku kata yang tertera di atas kertas. Kejutan berikutnya, anak saya bilang setelah selesai belajar, "Mama, Ade lebih suka belajarnya nggak usah pake buku membaca (yang dibeli), ditulis aja pake pulpen sama Mama."
Nah, lho! Ternyata anak-anak seringkali tak bisa ditebak. Kita pikir dia suka buku bagus yang berwarna-warni, yang sengaja kita beli supaya dia tertarik, eh ternyata dia lebih suka tulisan orang tuanya, meskipun tulisan ayah atau ibunya mungkin jauh dari bagus. Begitulah saya melihat: Mengajar Anak-anak Membutuhkan Seni tersendiri.
Artikel lain
Sabtu, 24 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tentang Saya
Saya, ibu dua anak. Anak-anak saya tidak bersekolah formal. Blog ini berisi pemikiran, hasil belajar, dan beberapa pengalaman.
Jika Anda menggunakan tulisan di blog ini sebagai referensi: (1) HARAP TIDAK ASAL copy paste, (2) Selalu mencantumkan link lengkap tulisan. Dengan begitu Anda telah berperan aktif dalam menjaga dan menghargai hak intelektual seseorang.
Jika Anda menggunakan tulisan di blog ini sebagai referensi: (1) HARAP TIDAK ASAL copy paste, (2) Selalu mencantumkan link lengkap tulisan. Dengan begitu Anda telah berperan aktif dalam menjaga dan menghargai hak intelektual seseorang.
1 komentar:
Yup... anak-anak selalu punya dunianya sendiri, dia bukan 'orang dewasa yang bertubuh kecil' cara berpikir mereka unik, sangat berbeda dengan cara pikir kita ...
Posting Komentar