Artikel lain

Sabtu, 23 Agustus 2008

Jadilah Fasilitator, Bukan Tutor

Hari ini (24 Agustus 2008) anak-anak antusias sekali untuk belajar menganyam. Mereka penasaran mengetahui bagaimana cara melakukan kegiatan itu, karena dua hari sebelumnya si sulung melihat barang-barang hasil anyaman dalam sebuah buku. Jadilah menganyam sebagai proyek belajar di hari minggu. Saya gunakan kertas sebagai bahan.

Homeschooling memberikan inspirasi pembelajaran yang sangat besar buat saya. Lewat homeschooling saya benar-benar bisa merasakan uniknya peran guru bagi seorang murid. Sejauh pendidikan yang pernah saya tempuh di sekolah formal, dan saya rasa sampai sekarang pun masih tak berubah, guru lebih sering bertindak sebagai tutor yang menggantikan buku bagi anak-anak. Malah dalam kasus yang ekstrem, beberapa guru hanya mengubah teks buku menjadi suara, tanpa dia benar-benar memahami apa yang sedang diajarkannya. Guru mendiktekan, murid-muridnya menulis. Saat bel berbunyi, kegiatan "belajar" itu pun selesai. Bertemu lagi keesokan harinya, acara dikte itupun dilanjutkan pada halaman berikutnya. Tak ada waktu untuk anak-anak bertanya atau mungkin mereka pun tak sempat terpikir untuk bertanya karena tidak tahu apa yang harus ditanyakan.

Berbeda dengan anak-anak homeschooling, setidaknya yang sudah pernah saya jumpai, hampir semuanya memiliki karakter belajar yang sama, yaitu MANDIRI. Saya kira, hal itu bukanlah tanpa sebab. Karakter belajar seperti itu terbentuk karena iklim belajar mengajar yang diciptakan di rumah memang membuat mereka jadi mandiri. "Guru-guru" homeschooling (dalam hal ini tentu saja orang tua sebagai centralnya) memang nyaris tak bisa menjadi tutor.

Anak-anak akan membaca beberapa buah buku dalam sehari dengan topik yang beraneka ragam ketika mereka memang ingin melakukannya. Mereka akan meminta lembaran-lembaran worksheet matematika ketika mereka sedang berminat. Mereka bisa menanyakan arti dari begitu banyak kosa kata yang mereka temukan dalam buku yang mereka baca: apa itu majelis ulama? Apa arti kata "menyongsong", "kenapa kita harus memasang bendera di hari kemerdekaan?", "kemerdekaan itu apa?", dll. Mereka akan memutar VCD dan menonton berulang-ulang film tentang pernapasan atau ilmu tentang benih sampai puas. Mereka belajar setiap hari tanpa harus ada instruksi khusus, apalagi instruksi untuk duduk rapi dengan tangan di atas meja.

Sampai saat ini, jujur saja saya jarang menjadi guru (jika guru yang dimaksud adalah seseorang yang selalu memberi tahu dan mengajari) buat anak-anak saya. Mereka lebih sering mengajari diri mereka sendiri lewat media-media yang kami sediakan. Terlebih saat anak sulung saya bisa membaca, dia bisa mengeksplorasi pengetahuan sendiri lewat bahan-bahan bacaan dan sekaligus menjadi asisten untuk mengajari adiknya. Dia hanya bertanya kalau dia menemukan sesuatu yang tidak dimengerti. Buat kami, sangat penting anak-anak mengetahui bahwa kami bukanlah gudang ilmu pengetahuan atau perpustakaan berjalan yang serba tahu. Jika kami tak bisa menjawab pertanyaan mereka, mereka sendiri-lah yang harus mencari tahu. Peran kami hanyalah membantu memfasilitasi mereka, menunjukkan pada mereka di mana bisa mendapatkan informasi.

Perbedaan terbesar yang akan tampak pada anak-anak dengan guru yang menjadi tutor dan guru yang menjadi fasilitator adalah kemandirian. Anak-anak yang dididik oleh guru secara tutorial akan terlihat lebih tergantung pada guru. Mereka belajar hanya jika ada guru yang mengajar di depan kelas. Mereka tidak terbiasa untuk mencari tahu sendiri, sehingga minat untuk belajar sendiri menjadi terkikis seiring pembiasaan yang terbentuk selama bertahun-tahun.

Kalau para guru di sekolah formal memahami dan mau belajar banyak tentang dampak metode pengajaran ini, sangat mungkin karakter belajar siswa di sekolah formal pun akan beranjak lebih mandiri. Semua akan berubah jika kita MAU mengubahnya. Dan sebenarnya, kemandirian dalam belajar bukanlah monopoli anak-anak homeschooling. Ketika pola ajar di rumah tidak mengarahkan anak untuk mandiri, hasilnya pasti sama saja.

Nah, peran apa yang hendak kita pilih? Yang jelas, menjadi guru itu akan sangat menyenangkan jika kita tidak menganggap murid-murid kita sebagai kotak kosong yang harus diisi, melainkan sebagai manusia yang dibekali otak cerdas sejak dalam kandungan. Tugas kita sebenarnya hanyalah menyalakan minat belajar mereka dan membantu mereka menemukan sumber-sumber belajar, sehingga di manapun anak-anak akan selalu tertarik belajar dan apapun yang mereka lihat dan mereka dengar akan menjadi magnet yang menarik mereka untuk mengetahui dan mempelajarinya.

Salam pendidikan!

Tidak ada komentar:

Tentang Saya

Saya, ibu dua anak. Anak-anak saya tidak bersekolah formal. Blog ini berisi pemikiran, hasil belajar, dan beberapa pengalaman.

Jika Anda menggunakan tulisan di blog ini sebagai referensi: (1) HARAP TIDAK ASAL copy paste, (2) Selalu mencantumkan link lengkap tulisan. Dengan begitu Anda telah berperan aktif dalam menjaga dan menghargai hak intelektual seseorang.