Bersyukur. Mungkin itulah kata yang paling tepat harus saya ucapkan. Puasa Ramadhan tahun ini (1431 H/2010 masehi), dengan karunia Allah Yang Mahapemurah, telah memberi saya banyak pelajaran. Dan hebatnya, pelajaran itu justru datang dari anak-anak saya.
Ramadhan tahun ini Azkia (kini 8 tahun), nyaris berhasil menamatkan puasanya kalau saja tidak terpotong oleh safar ke kampung pada hari terakhir. Padahal pada bulan Ramadhan tahun sebelumnya ia hanya puasa sekitar dua hari, itupun hanya sampai dzuhur. Keinginan berpuasa datang dari dirinya sendiri, sama sekali tanpa paksaan. Itikadnya yang kuat membuat saya merasa bangga sebagai orang tua. (Semoga tidak terjerumus pada takabur, insha Allah).
Satu kemajuan lagi pada Azkia adalah kemauannya mengenakan kerudung sepanjang hari saat keluar rumah. Awalnya sejak beberapa minggu sebelum bulan Ramadhan. Suatu hari Azkia berbisik, "Mama, ternyata Kakak berhasil lho seharian ini tidak buka kerudung saat di luar". Sebagai ibu yang juga masih belajar merespon dengan baik, saya berusaha mengekspresikan pujian yang normal padanya atas kemajuan itu. Dan alhamdulillah, hingga kini ia tetap mengenakan kerudungnya.
Adapun Luqman, yang sebelumnya masih sangat sulit diajak sholat, saat Ramadhan kemarin terlihat berusaha sungguh-sungguh untuk melawan rasa malasnya. Ia ikut sholat bersama kami walau bertahap hanya konsisten sholat shubuh dan maghrib. Dan itu masih berlangsung sampai hari ini.
Selain itu, yang paling mengherankan tapi sekaligus membuat saya bersyukur adalah sikap mereka yang jadi lebih sabar, tak banyak mengeluh, dan pandai mengibur diri.
Saat mudik kami naik kendaraan umum. Sejak berangkat memang saya berulang kali mengatakan pada mereka, "Kita akan melakukan perjalanan agak jauh. Mungkin sekali kita akan bertemu hal-hal yang tidak menyenangkan. Mungkin akan bertemu macet, panas, dan banyak lagi. Kita harus siap bersabar menghadapi semua itu. Mau berusaha sabar, kan?" Anak-anak mengangguk, menyanggupi.
Anak-anak memang sangat ingin bertemu nenek dan saudara-saudara sepupunya. Karena itulah, sepertinya mereka mau berusaha berkompromi dengan kemungkinan yang kurang enak, yang biasanya selalu membuat mereka sedikit rewel atau mengeluh.
Perjalanan pun dimulai dan kami sudah meniatkan perjalanan ini memang untuk sebuah latihan kesabaran. Bukan hanya untuk anak-anak tapi juga untuk kami semua. Jadi, mulut dijaga rapat-rapat untuk tidak bicara tentang keluhan. Kami berjuang untuk membincangkan hanya hal-hal yang positif.
Fase demi fase kami lewati. Tibalah kami di terminal terakhir menuju kampung. Cuaca sangat panas, debu beterbangan, bejubel orang-orang hendak berbelanja lebaran. Sebuah keadaan yang sangat mengganggu sebenarnya. Setelah sekitar 1 jam anak-anak menunggu di mesjid bersama papanya (karena saya membeli beberapa keperluan pesanan ibu saya) akhirnya kami mencari angkutan ke kampung. Kebetulan angkutan sederhana ala desa ada yang kosong. Kami pun naik.
Di dalam pick-up angkutan barang yang disulap jadi angkutan manusia kami dinaungi terpal. Seketika setelah kami naik, hawa panas menyengat. Saya bilang ke Luqman, "Agak panas ya, De? Mungkin juga akan agak lama kita menunggu". Mengejutkan, Luqman menjawab, "Enggak terlalu, Ma. Memang panas sih, tapi Ade bisa tahan. Dan tidak apa-apa lama ataupun sebentar. Kalau Ade mah, yang penting nyampe".
Saya dan papanya tertawa. Ajaib sekali! Luqman biasanya paling gampang mengeluh dan ternyata bisa berubah? Bahkan di tengah perjalanan, saat mobil yang kami tumpangi juga dimuati kayu bakar, rumput, dan dua karung jengkol hasil hutan, anak-anak saya tetap menikmati semuanya dengan relatif santai.
Ah, saya pun menerawang. Tampaknya memang tidak-lah sia-sia jika kita berusaha keras untuk memberikan teladan. Saya akui, sebagai ibu saya juga termasuk orang yang kurang sabaran selama ini. Sedikit impulsif dan kadang juga pengeluh. Jadi, sebenarnya tak harus heran jika anak saya menunjukkan perilaku seperti itu ^_^. Dan saat Ramadhan tahun ini, entah mengapa ada desakan yang sangat kuat untuk mengubah karakteristik diri yang kurang baik itu. Berjuang deh, pokoknya!:)
Saya tahu, pastinya usaha saya belum-lah maksimal. Tapi dengan perubahan yang saya lihat pada anak-anak, saya jadi yakin bahwa berawal dari usaha memperbaiki diri (sekecil apapun), semua ada pengaruhnya pada perkembangan mereka. Mereka adalah cermin diri saya (Setidaknya itulah yang selalu saya coba dengungkan dalam diri saya).
Ketika kami pulang, di mana kami harus menunggu hampir 3 jam di halte, dan juga terpaksa berdiri di bis selama kurang lebih 1,5 jam karena bisnya penuh, luar biasa! Anak-anak bisa melewati semua kondisi itu dengan riang.
Walau setiba di rumah badan saya remuk redam rasanya karena sesekali harus gantian menggendong anak-anak saat mereka terlihat lelah, tapi Puji syukur kepada Allah SWT. Kepingan-kepingan perjalanan latihan yang kami lewati dengan baik adalah hadiah lebaran yang sangat berharga buat saya.
Semoga kami sebagai orang tua juga diberi Allah sikap yang istiqomah/konsisten, sehingga anak-anak juga konsisten berjalan menuju kemajuan. Berbagai kemajuan yang tak hanya berwujud kepintaran akademis semata, melainkan juga mentalitas dan kepribadian mereka. Amin ya Allah ya Robbal 'aalamiin.
Artikel lain
Kamis, 16 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tentang Saya
Saya, ibu dua anak. Anak-anak saya tidak bersekolah formal. Blog ini berisi pemikiran, hasil belajar, dan beberapa pengalaman.
Jika Anda menggunakan tulisan di blog ini sebagai referensi: (1) HARAP TIDAK ASAL copy paste, (2) Selalu mencantumkan link lengkap tulisan. Dengan begitu Anda telah berperan aktif dalam menjaga dan menghargai hak intelektual seseorang.
Jika Anda menggunakan tulisan di blog ini sebagai referensi: (1) HARAP TIDAK ASAL copy paste, (2) Selalu mencantumkan link lengkap tulisan. Dengan begitu Anda telah berperan aktif dalam menjaga dan menghargai hak intelektual seseorang.
1 komentar:
Subhanallah... anak-anak adalah mutiara yang berharga. Bila diasah dengan baik, ia akan semakin berkilau. Namun bila diabaikan, ia menjadi kusam dan buram. Selamat belajar dari anak-anak!!
Posting Komentar