Artikel lain

Kamis, 09 April 2009

Mitos tentang Belajar

Bertahun-tahun lamanya sejak sekolah lahir, hakikat belajar lambat laun terselubungi mitos-mitos yang mendukung keberadaan institusi tersebut. Apakah itu? Jeanette Vos dalam bukunya yang padat berisi, berjudul The Learning Revolution menuliskan 4 hal, yaitu:

1. Sekolah adalah tempat terbaik untuk belajar
2. Kecerdasan bersifat tetap
3. Pengajaran yang menghasilkan pembelajaran
4. Kita semua belajar dengan gaya yang sama.

Kini, bahkan di sekolah sekalipun, sedikit demi sedikit konsep tentang belajar seperti 4 mitos di atas semakin ditinggalkan. Meski masih "terbata-bata" menerjemahkan paradigma belajar yang lebih menyenangkan, banyak sekolah, khususnya sekolah swasta memberlakukan cara belajar mengajar yang lebih dinamis: Buku pelajaran full color, tempat belajar ditata penuh warna, guru yang bersahabat, metode mengajar berbasis konsep multiple intelligence, dan hal-hal menyenangkan lainnya.

Akan tetapi, ternyata tak semua orang bisa memasuki wilayah belajar senyaman itu, karena kenyamanan yang diperoleh tak bisa dibayar hanya dengan senyuman, melainkan harus dengan merogoh uang jutaan. Sanggupkah?

Terlepas dari sanggup ataupun tidaknya kita mengeluarkan dana jutaan untuk sekolah yang nyaman, saya justru menemukan esensi penting dari semakin gugurnya mitos belajar seperti dikatakan Vos. Menurut saya, sejak jaman dulu, saat sekolah belum se-eksis sekarang, belajar bukanlah pekerjaan, sehingga seseorang yang ingin belajar harus tunduk pada sebuah birokrasi kerja. Belajar adalah kebutuhan hidup yang dengannya manusia bisa menjadi manusia mandiri. Karena itulah, orang seharusnya bisa belajar di manapun mereka menemukan sesuatu yang pantas, yang menarik, atau yang berguna untuk dipelajari.

Bukankah kisah-kisah para pencari ilmu di masa lalu memang lebih seru. Saking menariknya, sampai-sampai bisa dibuat serial cerita pengembaraan berpuluh atau bahkan beratus-ratus episode. Para pencari ilmu mengembara dari satu tempat ke tempat lain, mencari guru-guru yang faqih di bidangnya masing-masing, lalu kembali pulang sembari mengamalkannya di sepanjang perjalanan.

Saya rasa, kini pun hal semacam itu masih relevan dan akan terus relevan sepanjang waktu. Modal pentingnya hanyalah satu, yaitu Semangat untuk Belajar. Tanpa semangat belajar, anak lulusan sekolahan pun acapkali tergagap-gagap melihat realitas hidup, karena sesungguhnya mereka tak boleh berhenti belajar jika berniat mengarungi dunia nyata. Selama anak-anak tak kehabisan semangat belajar, mereka akan terus menjadi pembelajar mandiri di manapun mereka berada, dan mereka Insya Allah akan sanggup menghadapi tantangan hidup.

Masih percaya mitos?

Senin, 06 April 2009

Back to Homeschool (editted)

Hampir seumur Azkia (6,5 tahun) kami mempertimbangkan bolak-balik tentang model pendidikan apa yang cocok buat anak kami. Setelah membaca banyak literatur, pilihan pun mengerucut pada homeschooling. Akan tetapi, seiring usia anak kami yang sudah siap masuk SD, kami benturkan kembali opsi tersebut dengan berbagai pertanyaan dan argumentasi, agar keputusan kami benar-benar bisa dipertanggungjawabkan, dan kami tidak menyesal karenanya. Karena itulah, kami membuka peluang untuk juga mempertimbangkan sekolah formal.

Saya pun menyambangi sekolah swasta Islam sebagai pilihan pertama buat Azkia. Letaknya di kawasan Jatinangor, biar deket dari rumah. Secara keseluruhan, kurikulum berikut testimoni orang tua yang saya dapatkan, sekolah itu cukup bagus, berwawasan keislaman, dan juga maju dari sisi konsep belajar mengajar. Namun sayangnya, ternyata pilihan jam belajar cuma satu yaitu fullday. Dan itu menjadi poin yang memberatkan buat kami. Saya tidak berkarir di luar rumah karena ingin lebih banyak bersama anak-anak, dan kalau pada akhirnya anak bersekolah sepanjang hari, apalah gunanya pilihan saya itu. Sama saja, kami jadi jarang bertemu dan berinteraksi.

Selesai dengan satu sekolah, saya pun cari info sana- sini tentang SD negeri, yang jam belajarnya cukup pendek. Memang, secara biaya, bersekolah di sekolah negeri sangat menyenangkan, program SPP gratis itu memang sudah berlaku di tempat kami tinggal. Namun kembali ada yang mengganjal,kondisi SD negeri, ternyata tak pernah jauh berubah dengan apa yang sudah saya tahu selama ini (anak-anak ribut di kelas karena gurunya jarang masuk, pe er setiap hari, dan masih berkutat dengan kesulitan calistung di kelas 1 dan kelas 2). Konsentrasi guru terpecah pada begitu banyak anak, sehingga KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) hampir bisa dipastikan tidaklah efektif.

Sulit memang untuk memilih, tapi kami harus memilih. Setelah dipertimbangkan ulang, untung - ruginya sekolah, tujuan sekolah, dan mendaftar berbagai kekhawatiran jika tidak bersekolah formal, kami akhirnya memutuskan untuk kembali menjalankan homeschooling.

Yah! Lega sudah dengan keputusan bulat itu. Artinya, langkah kita akan terus maju. Kami ingin anak-anak memiliki pengalaman lebih banyak dan beragam dalam hidup mereka: Tidak dibatasi bel sebagai batas pelajaran, tidak pula dibatasi ujian untuk mempelajari hal-hal yang lebih menantang. Waktu mereka bisa dipakai untuk hal-hal yang lebih terarah.

Sejauh ini, homeschool bisa membuat kami fleksibel dalam mempelajari apapun. Kalau pusat kegiatan pendidikan dan keterampilan selalu di kota besar semisal Bandung dan kami harus tergantung dengan itu untuk membuat anak-anak kami memiliki keterampilan tertentu, duh rasanya kini sudah bukan jamannya lagi. Sumber pengetahuan melimpah di internet dan kami bisa mengaksesnya di mana pun, belajar bisa dengan siapa saja, tak mesti harus di sekolah.

Back to homeschool. Moga keputusan ini memang yang terbaik buat kami dan anak-anak.

Minggu, 05 April 2009

Ketika Puteriku Ketemu Para Penulis

Hari Sabtu, 4 April 2009 saya dan Azkia puteri saya hadir di acara Gathering milis Penulis Bacaan Anak. Alhamdulillah, selain saya mendapat pencerahan dan bisa silaturahmi dengan teman-teman para penulis dan juga editor, kegiatan sosialisasi buat Azkia juga nambah nih!

Anak saya memang suka jaim (jaga image) pada awalnya, tapi saya tahu dia sebenarnya senang bisa bertemu dengan penulis buku-buku yang sudah dibacanya. Ada Ana Puspita Dewiyana dari Pelangi Mizan (yang kebetulan teman baik saya), ada Ali Muakhir yang buku hasil karyanya cukup bertebaran di rumah, ada Benny Ramdhani, Ryu Tri, dll. Eh ya, meski malu-malu malah Azkia berfoto dengan Kak Andi Yudha yang kocak itu.

Satu hal yang saya tahu akan dia kenang dengan indah suatu saat nanti, adalah tanda tangan penulis yang dibubuhkan di bukunya. Kebetulan seminggu sebelumnya saya membelikan sebuah novel anak karya Chris Oetoyo buat dia. Sudah berulang-ulang dia membacanya dan Mas Chris ternyata datang di acara kemarin. Langsung aja deh saya mintakan tanda tangan beliau.

Ya, begitulah "reportase" kegiatan kami di minggu pertama bulan April ini. Azkia pasti tak akan melupakannya, apalagi, pas acara foto bersama, dia ikut jadi fotografer, lho. Tetap semangat deh!

Tentang Saya

Saya, ibu dua anak. Anak-anak saya tidak bersekolah formal. Blog ini berisi pemikiran, hasil belajar, dan beberapa pengalaman.

Jika Anda menggunakan tulisan di blog ini sebagai referensi: (1) HARAP TIDAK ASAL copy paste, (2) Selalu mencantumkan link lengkap tulisan. Dengan begitu Anda telah berperan aktif dalam menjaga dan menghargai hak intelektual seseorang.