Artikel lain

Kamis, 30 Oktober 2008

Semua Butuh Waktu

Malam kemarin (30/10/2008) saya mendapatkan sebuah pengalaman menarik dari putri saya Azkia (6 tahun). Sejak saya memutuskan untuk mulai mengajari dan mengajaknya sholat lima waktu, perjalanan ternyata tak semulus yang diharapkan. Ya, kadang masih zig-zag. Adakalanya ia melakukan shalat tapi wajahnya sedikit keruh, namun sering juga sholat dilakukan dengan wajah yang riang.

Saya sudah siap dengan semua itu, karena dalam banyak kebiasaan lainnya, sejak ia bayi sampai sekarang nyatanya saya menemukan satu prinsip yang sama, yaitu: Menanamkan Kebiasaan Membutuhkan Waktu. Jadi, saya hanya perlu menahan diri untuk tidak cepat menyerah. Tugas saya adalah tetap konsisten mengajaknya sampai ia terbiasa, sampai ia menganggap kebiasaan tersebut sebagai kebutuhan dalam hidupnya, meski saya juga tidak tahu kapan itu terjadi.

Sekitar seminggu sebelumnya Azkia pernah bertanya pada papanya, "Kenapa ya Pa, kakak suka malas untuk sholat?" Lantas papanya berkata, "Karena di dalam diri kita ada syaitan yang selalu membisiki hati agar kita malas." Dan seterusnya, terjadilah dialog pendek tentang apa itu syaitan, bahwa syaitan itu adalah musuh manusia yang tidak terlihat oleh mata,dan sebagainya.

Kembali ke peristiwa malam kemarin, saat Shalat Maghrib tiba, Azkia yang sudah tiduran di kasur sejak sore terlihat malas-malasan lagi ketika saya mengajaknya sholat. Mmmm.... saya tahu, memaksa bukanlah cara yang tepat. Jadi, akhirnya saya bilang, "Kakak ngantuk ya? Nggak mau sholat?" Dan ia pun mengangguk. "Ya sudah. Nggak apa-apa, tapi besok sholat lagi ya!".

Tapi beberapa saat kemudian, ketika saya turun dari tempat tidur untuk mengambil air wudhu, Azkia juga ikut turun. Saya tanya, "Mau ke mana?". Dia pun menunjuk ke kamar mandi. "Mau wudhu?", tanya saya. Ia pun mengangguk. Saya dan papanya tertawa, dan papanya bilang, "Kakak sudah bisa melawan musuh. Ya, kan?".

Pelajaran malam tadi membuat saya semakin yakin, bahwa anak-anak hanya perlu waktu untuk memiliki kebiasaan yang kita harapkan. Dan menjadi orang tua memang membutuhkan cadangan kesabaran yang lebih dari sekedar biasanya.

Mengulang Pelajaran

Mengulang pelajaran adalah salah satu cara agar kegiatan belajar ada jejaknya, menguat dalam ingatan, dan menjadi database untuk dikeluarkan lagi pada saat yang dibutuhkan.

Setiap orang yang pernah mengenyam bangku sekolah pasti mengenal istilah 'ulangan'. Itulah rutinitas yang paling tidak disukai oleh sebagian besar anak sekolah. Ulangan membuat mereka terpaksa harus membaca ulang pelajaran yang sudah dibahas dan mengingatnya sekuat mungkin agar bisa menjawab soal-soal yang diberikan guru, lalu dilupakan setelah ulangan selesai.

Kalau menelisik maksud pembuatan mekanisme 'ulangan' di sekolah, saya yakin tujuannya sama dengan apa yang saya paparkan di awal, yaitu agar pelajaran terekam lebih dalam saat anak-anak membacanya kembali. Tapi.... sayang hasilnya ternyata tidak sepenuhnya sesuai dengan tujuan tersebut. Ulangan pada kenyataannya hanya menjadi sebuah peristiwa yang membebani dan membuat sebagian besar anak-anak mengeluh atau mengambil jalan pintas dengan menyontek buat mereka yang malas.

Bagaimana caranya agar kegiatan mengulang pelajaran jadi menyenangkan buat anak-anak? Saya sendiri tidak tahu persis prosesnya seperti apa, yang jelas saya heran dengan kebiasaan kedua anak saya yang tak pernah bosan mengulang-ulang membaca banyak buku yang sama hingga beberapa kali padahal nggak pernah ada acara ulangan dan tak pernah juga disuruh-suruh. Uniknya, kalau bukunya bertambah, maka bertambah pula lingkaran pengulangan.

Si kecil Luqman yang kini berusia 4 tahun dan belum saya ajari membaca secara khusus, memang masih membutuhkan bantuan kami (saya, papanya, dan kakaknya) untuk membaca buku. Tapi secara prinsip, dia pun termasuk anak yang gila membaca. Tak peduli pagi, siang, sore, atau malam sebelum tidur dia akan minta dibacakan buku pada saat dia menginginkannya. Terlebih sebelum tidur, ia pasti akan membawa setumpuk buku yang diambil secara acak ke tempat tidur dan meminta salah satu dari kami untuk membacakannya. Kalau para pembacanya tidak menawar, pasti semua buku yang dia bawa harus dihabiskan.

Poin yang saya tangkap dengan mengamati kebiasaan kedua anak saya itu adalah bahwa mengulang pelajaran akan menyenangkan kalau anak-anak menyukai kegiatan belajar dan mereka tidak punya beban apa-apa saat melakukannya, bukan karena mengharapkan reward (hadiah)dan bukan pula karena ancaman punishment (hukuman). Mereka mengulang pelajaran karena mereka memang membutuhkan dan menginginkan hal itu.

Saya kira hal itu juga bisa terjadi di sekolah, jika kegiatan belajar di sekolah dibuat lebih menarik, lebih fleksibel, dan kaya dengan pengakuan untuk semua jenis kecerdasan, semua jenis karakter anak. Budaya pemeringkatan anak berdasarkan nilai akumulatif (untuk semua pelajaran) harus mulai dihilangkan agar semua anak memiliki citra diri positif terhadap dirinya, berdasarkan kelebihannya masing-masing.

Salam Pendidikan!

Minggu, 26 Oktober 2008

Berbagi Resep Roti

Sejak kasus masuknya unsur melamin pada produk susu dan makanan ringan mencuat, saya sedikit khawatir membeli makanan jadi untuk anak-anak. Oleh karena itu, sekalian mengasah keterampilan mengolah makanan camilan, sudah sebulan terakhir ini saya lebih sering membuat sendiri makanan kecil buat anak-anak daripada membeli camilan siap makan. Memang sih, sedikit repot, tapi tak apalah... Hikmahnya, saya jadi sedikit lebih mahir dari biasanya untuk bikin-bikin kue .

Nah, buat ibu yang juga senang mencoba-coba resep, mungkin komposisi resep roti sederhana berikut ini bisa dicoba juga di rumah. Bahannya sangat mudah didapat dan cara membuatnya pun bisa di sela-sela kegiatan lain, mungkin sambil menunggu nasi masak atau mesin cuci selesai bekerja.

Bahan:
1. 350 gram tepung terigu
2. dua buah kuning telur
3. 1/2 bungkus ragi instan
4. 2 sendok makan mentega
5. 3 sendok gulapasir
6. 1/3 sendok makan garam
7. 1 gelas air hangat
8. 1 buah kuning telur untuk memoles

Cara membuat:
1. Seduhlah gula pasir dan garam dengan 1 gelas air hangat sampai larut
2. Campurkan semua bahan dan larutan air gula-garam menjadi satu.
3. Uleni sampai kalis (tidak lengket di tangan)
4. Tutup adonan dengan plastik, diamkan selama 20 menit
5. Kempiskan adonan lalu bentuklah menjadi beberapa bagian (12 - 14 bagian). Bisa diisi meses atau susu jika suka. Olesi permukaannya dengan kuning telur.
6. Siapkan loyang persegi, olesi margarin
7. Taruhlah potongan adonan yang sudah dibentuk di atas loyang dengan jarak cukup renggang.
8. Biarkan selama 10 menit untuk mendapatkan tahap pengembangan kedua
9. Oven di atas api sedang selama 10 - 15 menit.
10. Roti siap disantap. Kita bisa memasukkan tambahan susu atau selai ke dalam roti dengan cara membelah roti dan mengolesi bagian dalamnya.

Setidaknya resep ini sudah saya coba hari ini, dan anak-anak ketagihan mau nambah. Selamat ber-eksperimen!

Sabtu, 25 Oktober 2008

Mengapa Orang Lebih Senang Menanam Tanaman Hias daripada Tanaman Herbal atau Sayuran?

Kalau saya perhatikan, di sepanjang jalan di komplek tempat saya tinggal, hampir semua rumah menghiasi halaman depannya dengan tanaman hias. Euphorbia, aneka sansevieria, dan tanaman berdaun lebar seperti kuping gajah adalah jenis-jenis tanaman hias yang mendominasi hampir setiap halaman rumah.

Memang, hal itu cukup memberi arti untuk membuat pekarangan depan terlihat lebih asri, namun saya sendiri berpendapat, jika hanya tanaman yang berfungsi sebagai hiasan saja yang kita tanam di halaman rumah kita, sayang sekali ya... Terlebih jika kita hanya memiliki halaman sempit, saya pikir akan jauh lebih berguna jika tanaman yang kita tanam juga berupa jenis yang bisa dikonsumsi atau digunakan sebagai obat-obatan alami.

Selain tanaman hias, sirih, kunyit, kencur, melati, cabai keriting, tomat, cabe rawit, jahe, atau sayur-sayuran seperti bayam dan kangkung, rasanya tak kalah indahnya berada di teras rumah kita jika tanaman-tanaman tersebut ditata dan dirawat dengan baik. Entahlah, saya sendiri sedikit kurang mengerti, mengapa kebanyakan orang lebih suka menanam tanaman hias daripada tumbuhan obat atau sayur-sayuran? Mungkin ada yang bisa menjawabnya?

Minggu, 19 Oktober 2008

Buku: Kreasi Kertas Koran

Aktivitas sangat penting untuk manusia, tak terkecuali buat anak-anak. Salah satu aktivitas yang menarik, melatih motorik anak, sekaligus bernilai ekonomi adalah membuat aneka craft atau kerajinan. Buku berjudul Kreasi Kertas Koran, hasil karya Bapak Rubiyar, yang diterbitkan oleh Tiara Aksa dapat kiranya membantu memicu gagasan untuk kebutuhan tersebut. Mau lihat covernya dan juga salah satu contoh produknya? Berikut saya bagi fotonya:



Kamis, 16 Oktober 2008

Contoh Poster Untuk Stimulasi Membaca

Beberapa waktu lalu saya pernah memposting tulisan tentang manfaat poster untuk kegiatan belajar. Kali ini saya tampilkan beberapa contoh poster stimulasi kemampuan membaca yang bisa dipergunakan di rumah maupun di kelas-kelas prasekolah atau bahkan Sekolah Dasar. Semoga memberikan inspirasi dan bermanfaat.





Menggambar, Menggunting, Lalu Buatlah Cerita

Hobi anak-anak, terutama si kecil Luqman ( 4 tahun) sekarang ini adalah menggambar, menggunting, dan mendongeng. Kereta api, rumah, mobil, dan ikan adalah gambar favoritnya. Percaya dirinya lumayan tinggi. Dia bisa menggambar dengan cepat dan dengan cepat pula menggunting gambar yang dibuatnya, lalu dibuatlah cerita tentang gambar itu tanpa merasa minder gambarnya akan dibilang jelek.

Nah, karena hobinya itu, kertas-lah yang paling sering diminta. Sekarang koleksi gambarnya mereka kumpulkan dalam sebuah stoples. Sebagian gambar juga dihasilkan dari print out dari komputer. Tentu saja gambarnya sudah jadi, di-copy dari internet. Nggak apa-apa kan ya copy-paste dari internet, asalkan bukan untuk keperluan komersial.
Dan... Salah satu kebiasaan mereka saat menggambar dan menggunting adalah berceloteh, berisi dialog cerita apa saja yang mereka ingat. Hal itu bisa jadi tak mungkin dilakukan jika dia berada dalam sebuah kelas. Celotehan mereka bisa membuat anak lain terganggu, kan...

Saya kira, itulah kiranya salah satu kelebihan homeschool yang kami rasakan buat keluarga kami: Membuat anak-anak bisa mengeksplorasi gagasan dengan cara yang khas, tanpa khawatir gagasannya dicela atau dikomentari secara berlebihan. Keep homeschool buat yang menganggapnya cocok!

Selasa, 14 Oktober 2008

Berbagi Peran dalam Mendidik Anak

Cari uang urusan ayah dan ngurus anak bagian ibu!

Begitulah kira-kira pandangan lama tentang pembagian peran ayah dan ibu dalam keluarga. Apakah harus sedemikian mutlaknya cara suami-istri mengelola peran untuk mendidik anak-anak?

Saya melihat,paradigma tersebut justru akan membuat proses pendidikan menjadi berat sebelah. Bukan dalam konteks keadilan jender tapi dalam konteks kepentingan anak-anak.

Ada hal-hal yang khas pada sosok ayah dan ibu. Anak-anak perlu mendapatkan input positif dari keduanya agar mereka memiliki figur yang seimbang dalam pendidikan. Anak perempuan kelak akan menjadi ibu dan dari contoh yang diperlihatkan ibunya ia akan belajar tentang pendidikan anak-anak. Demikian pula anak laki-laki suatu saat akan menjadi ayah, sehingga ia perlu figur seorang ayah yang peduli dengan pendidikan anak-anaknya agar kelak ia pun bisa menjadi ayah yang bertanggung jawab.

Ayah yang jarang terlibat dalam kegiatan belajar anak-anaknya sesungguhnya telah menanamkan citra bahwa bukanlah tugas ayah mengajari anak-anak, itu adalah tugas seorang ibu. Nah, Bagaimanakah pembagian peran ayah dan ibu dalam keluarga Anda? Sharing pengalaman Anda di pendidikan_rumah@yahoogroups.com.

Senin, 13 Oktober 2008

Homeschooling dan Trend Profesi Masa Depan

Homeschooling (HS) sebagai pendidikan alternatif memang masih tetap diragukan orang. Kritik masyarakat terhadap HS tak hanya menyangkut sosialiasi dan legalisasi yang dianggap lemah, melainkan juga pesimisme terkait pekerjaan dan profesi anak-anak kelak setelah dewasa. Kekhawatiran akan hal itu wajar terjadi jika kita melihat pekerjaan dan profesi hanya dari kaca mata formal.

Akan tetapi, seperti kita ketahui era digital telah menyumbangkan informasi bak banjir tak terbendung bagi masyarakat dunia. Hal itu telah melahirkan beragam jenis profesi baru yang seringkali mampu menyingkirkan aspek-aspek formal sebuah pekerjaan. Profesi di masa yang akan datang bisa jadi akan sangat-sangat berbeda dengan definisi profesi yang ada hari ini. Setidaknya akan ada tambahan varian profesi dan pekerjaan selain apa yang kita kenal sekarang.

Oleh karena itu, bersekolah formal ataupun tidak, berijazah formal ataupun tidak, bisa jadi tak lagi berpengaruh banyak terhadap eksistensi seseorang di masa yang akan datang. Skill, wawasan, attitude, dan kemauan belajar adalah penunjang terpenting yang bisa menghapuskan parameter-parameter formal dalam memperoleh kesempatan bekerja dan berkarya serta memperoleh penghasilan yang memadai.

Sampai saat ini, tak dapat disangkal bahwa jaminan pekerjaan dan profesi masih menjadi alasan utama mengapa orang tua menyekolahkan anak-anaknya. Sayangnya, fakta menunjukkan, sekolah formal pun ternyata belum mampu memberikan jaminan itu. Hanya anak-anak yang memiliki kapabilitas bersaing yang akan bisa diserap oleh pasar kerja, yaitu anak-anak yang rajin menambah skill dan wawasan mereka di luar kegiatan akademik.

Anak-anak yang dididik dengan model HS masih mungkin dan bahkan lebih mungkin memiliki kriteria seperti tersebut di atas. Tanpa kurikulum yang mengikat, anak-anak bahkan punya kesempatan lebih banyak untuk menggali potensi terbaik mereka pada beberapa bidang yang disukai. Kita tentu menyadari bahwa bidang-bidang profesi yang digeluti seseorang pada akhirnya hanya satu atau dua saja dari banyak bidang yang ada dan pernah ia kenal dan pelajari secara sepintas di sekolah.

Hal itu menunjukkan bahwa sesungguhnya jika seorang anak mampu memaksimalkan potensi mereka pada bidang-bidang tertentu secara serius, tentu hasilnya juga tidak akan kalah dengan mereka yang bersekolah di sekolah formal, yang mempelajari serba sedikit dari banyak pelajaran yang diberikan.

Ketika seorang anak benar-benar mampu menjadi seorang ahli di bidang yang ia sukai, hasil dari proses belajar yang sangat dalam dari berbagai sumber dan guru terbaik di bidang tersebut, yakinlah bahwa ia akan dicari banyak perusahaan untuk menjadi ahli mereka. Selebihnya, jika anak-anak yang tumbuh menjadi ahli tersebut sekaligus juga memiliki kemampuan enterpreunersip maka ia bisa mempergunakan kemampuannya untuk melakukan usaha mandiri.

Karena pendidikan di negeri ini tengah mengalami banyak persoalan, kehadiran homeschooling mungkin lebih nampak seperti riak-riak protes dan keraguan akan pendidikan formal. Padahal lebih dari itu HS sesungguhnya sebuah pilihan untuk menikmati pendidikan secara merdeka dan berorientasi pada masa depan anak. Bahkan akhirnya anak-anak sendirilah yang dibimbing untuk menentukan masa depan mereka, sehingga mereka tahu harus mempelajari apa dan harus belajar pada siapa.

Minggu, 12 Oktober 2008

Maksimalkan Pendidikan Alternatif

Sudah terlanjur masyarakat menganggap, bahwa pendidikan itu mesti dilakukan di sebuah lembaga formal, seperti halnya sekolah. Sementara itu, serangkaian persoalan klise berkaitan dengan sekolah, seperti gedung yang ambruk, kelas yang rusak, SPP yang mahal, DSP yang membengkak, gurunya kurang, dan banyak persoalan lainnya, sampai saat ini masih sulit untuk dituntaskan. Mayoritas berujung pada persoalan dana, sementara di sisi lain sektor pendidikan disinyalir merupakan tempat yang rawan penyelewengan dana.

Memang ironis dan menyedihkan. Jika pendidikan bertujuan untuk meninggikan kualitas manusia, sehingga tercipta masyarakat yang positif, produktif, dan bertakwa, maka dunia pendidikan di negeri kita nampaknya jauh meninggalkan tujuan itu. Imam Ghazali dalam bukunya Ayyuhal Walad, menetapkan makna pendidikan (tarbiyah) itu, bagaikan seorang petani yang tengah mencabut duri dan membuang tanaman asing yang mengganggu di antara tumbuhan yang ia tanam, agar tanaman tersebut tumbuh dan berkembang dengan baik.

Kapitalisme secara berangsur-angsur memang telah berhasil membumbui hampir semua sisi kehidupan dengan tujuan-tujuan materil, tak terkecuali bidang pendidikan. Sementara itu, berbicara penyelesaian masalah pendidikan yang kompleks, kunci satu-satunya justru adalah kepedulian; dan itu jelas berseberangan dengan prinsip-prinsip kapitalisme.

Menggalang Kepedulian
Sejak subsidi pendidikan dikurangi, efek yang langsung terasa oleh masyarakat, adalah mahalnya biaya sekolah. Terlebih dengan kebijakan otonomi sekolah, maka sekolah tak jauh beda dengan perusahaan. Tidak bisa tidak sekolah harus bisa mencari dana sendiri untuk memenuhi kebutuhannya dan jika dimungkinkan tentu bisa meraih keuntungan yang besar sebagaimana layaknya perusahaan.

Hal itu terjadi bahkan sejak level prasekolah, di mana sekarang berjamur Taman Kanak-Kanak dan Play Group yang biayanya mahal bukan kepalang. Kisaran minimal 2 juta hingga mencapai lima atau 6 juta hanya untuk uang pangkalnya saja. Belum lagi SPP dan uang seragam.

Lantas apa yang akan pertama kali dipelajari oleh anak-anak bahkan di usia yang sangat dini? Yakinlah bukan kualitas kurikulumnya, melainkan perasaan ekslusif karena mereka belajar di sekolah yang mahal, fasilitasnya lengkap, dan gedungnya megah. Jadi tidaklah salah bukan, jika kita katakan, bahwa dengan format sekolah seperti yang ada hari ini, anak-anak sudah menampung benih kapitalisme.

Lalu bagaimana dengan nasib anak-anak yang orang tuanya tak punya uang untuk membayar biaya sekolah semahal itu? Bagaimana pula nasib sekolah yang murid-muridnya dari kalangan kelas akar rumput, yang gedungnya pun tinggal puing-puing? Kesenjangan itu hanya akan semakin menganga lebar andai kita tak menggalang kepedulian.

Kalau pengadaan dana untuk rehabilitasi ratusan bahkan mungkin ribuan gedung sekolah negeri memberatkan pemerintah, sehingga tidak semua sekolah bisa tersentuh dana rehabilitasi, maka sebenarnya pemerintah bisa menggandeng tangan-tangan masyarakat yang masih peduli akan pendidikan. Salah satu contoh yang mungkin patut dipertimbangkan adalah gagasan yang dipaparkan di Tajuk Rencana PR (Jumat, 5/5) tentang program Cinta Almamater. Para alumni setiap sekolah bisa bergotong royong menyumbang ke sekolahnya masing-masing untuk membangun kembali gedung yang roboh, dengan catatan penggunaan dananya diawasi.

Selain berupa dana, masyarakat pun bisa berpartisipasi, seperti yang dicontohkan para sarjana di Ciamis yang membuka sekolah terbuka untuk anak-anak petani.
Adapun kepedulian pemerintah yang diharapkan dalam hal ini, adalah menaungi kegiatan pendidikan alternatif itu dengan pengakuan terhadap legalitas lulusannya, sehingga mereka juga punya kesempatan untuk melanjutkan pendidikan formalnya ke jenjang yang lebih tinggi.

Alternatif Pengganti Gedung
Faktor penunjang mahalnya biaya sekolah biasanya dinisbatkan kepada biaya gedung. Setiap siswa baru pasti terkena beban untuk membayar uang bangunan, yang jumlahnya bisa jadi cukup besar. Jika pemerintah mendukung lahirnya sekolah-sekolah alternatif yang dikelola masyarakat, persoalan gedung sebenarnya bisa diminimalisir; dan secara otomatis pula, hal itu akan menekan angka DO (Drop Out) karena biaya sekolah bisa menjadi lebih murah.

Dengan kata lain, gedung bukanlah segalanya untuk mendidik anak. Bukankah sesungguhnya rumah, pantai hutan, taman bermain, dan seluruh permukaan bumi ini adalah sumber-sumber dan sekaligus tempat yang disediakan Tuhan untuk mendidik manusia? Oleh karena itu , terlepas dari persoalan politis, ‘tak punya gedung sekolah’ tidak bisa lagi dijadikan alasan untuk menghentikan kegiatan pendidikan atau melemahkan semangat para pendidik untuk membimbing.

Kehadiran Sekolah Alam telah membuktikan bahwa anak-anak bisa dan bahkan sangat antusias belajar di alam terbuka. Semangat mereka untuk pergi sekolah seolah tak terhentikan. Mereka selalu menemukan hal baru setiap hari. Karena begitu banyak rahasia di alam yang bisa dipelajari. Peran guru adalah membimbing untuk mengarahkan anak-anak didiknya agar mau melakukan penjelajahan dan pembelajaran terhadap seluruh media belajar yang tersedia di alam. Meskipun dari segi biaya tidak lebih murah dari sekolah konvensional, namun sebagai sebuah alternatif untuk memecahkan kekakuan format pendidikan, model sekolah semacam itu bisa dijadikan pilihan.

Sekolah alternatif untuk anak petani di Ciamis, yang pernah diberitakan di harian Pikiran Rakyat- Bandung, juga merupakan contoh , bahwa anak-anak tetap bisa antusias belajar meski mereka belajar tanpa seragam dan atribut-atribut formal lainnya.. Semangat mereka untuk belajar bisa jadi mengalahkan anak-anak sekolah di kota yang sepatunya berharga ratusan ribu, gedung sekolahnya megah, dan uang sekolahnya jutaan rupiah.

Sebenarnya sudah banyak sekolah-sekolah alternatif didirikan, dan tempat belajarnya bukanlah di dalam sebuah gedung sekolah, seperti umumnya kita temui. Ada orang yang membuat sekolah di kolong jembatan, gerbong kereta api, atau rumah-rumah penduduk. Di satu sisi hal itu mungkin tampak menyedihkan, karena sebenarnya banyak orang kaya yang kelebihan hartanya lebih banyak dipakai untuk berfoya-foya, dan tak tersalurkan untuk mereka yang kekurangan. Namun jika kita berpikir positif, maka keberadaan sekolah ‘darurat’ itu merupakan sumber inspirasi untuk membuat bentuk-bentuk kreatif tempat belajar, di saat kebutuhan menuntut demikian.

Bahkan jika konsep ini bisa diterima, maka murid-murid dari sekolah yang sudah berjalan pun, jika sekiranya gedung sekolah masih belum berfungsi, maka mereka bisa didistribusikan ke beberapa tempat belajar. Rasanya masih banyak juga, terutama di pedesaan, orang tua siswa yang bersedia menyiapkan halaman, teras, ataupun salah satu ruangan di rumahnya (kalau ada) untuk dijadikan tempat belajar sejumlah 5 atau bahkan 10 anak. Bagaimana dengan gurunya? Dengan semangat peduli, rasanya masih banyak juga sarjana pendidikan maupun non kependidikan yang mau menyumbangkan tenaga, pikiran, dan mendedikasikan ilmu pengetahuan yang dimilikinya untuk anak-anak. Dan masyarakat yang memiliki kekuatan dana juga bisa “dipanggil” kepeduliannya untuk membayar upah para tenaga sukarela yang mau mengajar. Andai situasi itu bisa terjadi, alangkah indahnya!

Jumat, 10 Oktober 2008

Ketika Anakku Belajar Sholat

Sedikit terharu, takjub, dan harap saya rasakan saat menyaksikan anak sulung saya Azkia begitu gembira dengan kegiatan barunya, yaitu sholat lima waktu. Mungkin beberapa orang tua lain sudah mengawali pelajaran penting ini jauh lebih dulu dibandingkan saya, saat anak-anaknya berusia jauh lebih muda.

Azkia sekarang sudah 6 tahun, tepatnya tanggal 7 Oktober yang lalu. Saya sudah meniatkan jauh-jauh hari untuk mulai menggarap proses belajar dan pembiasaan sholat secara konsisten setelah ultahnya yang ke- 6 ini. Alhamdulillah, mungkin karena saya memang bersungguh-sungguh, anak saya seolah bisa menangkap spirit itu, sehingga ia mau menjalankannya dengan senang hati.

Sebelumnya kegiatan berwudhu, rukuk, dan sujud hanyalah sebuah pengetahuan sepintas lalu, yang ia tahu karena sering dilakukan oleh orang tuanya. Tapi sekarang, dengan mukena warna pink, gadis kecil saya benar-benar diajak untuk melakukan itu semua untuk menjadi "habit" dan kebutuhan yang abadi sepanjang hidupnya, rukuk dan sujud, menyembah Tuhannya dan Tuhan seluruh makhluk berikut alam semesta ini. Kami kini melakukan sholat berjamaah.

Betapa saya merasakan berat sekaligus mulianya tugas menjadi orang tua kian menghunjam. Hal itu pula yang membuat saya makin banyak melakukan introspeksi diri. Saya belumlah menjadi orang tua yang bisa diteladani, tapi mau ataupun tidak, ditunda atau dipercepat, tugas sebagai orang tua untuk mendidik anak-anaknya harus ditunaikan. Disebutkan dalam sebuah peribahasa: Anak adalah cerminan orang tuanya. Ya Allah, semoga Engkau memberi hamba dan juga kaum muslimin kekuatan, pengetahuan, dan jiwa yang istiqomah, yang dapat memberi anak-anak kami teladan yang baik untuk bekal hidupnya kelak. Amin.

Tentang Saya

Saya, ibu dua anak. Anak-anak saya tidak bersekolah formal. Blog ini berisi pemikiran, hasil belajar, dan beberapa pengalaman.

Jika Anda menggunakan tulisan di blog ini sebagai referensi: (1) HARAP TIDAK ASAL copy paste, (2) Selalu mencantumkan link lengkap tulisan. Dengan begitu Anda telah berperan aktif dalam menjaga dan menghargai hak intelektual seseorang.