Artikel lain

Rabu, 24 September 2008

Senangnya, Saat Anak Makin Mandiri

Kemandirian adalah salah satu tujuan pendidikan dan pengajaran. Hal itu tak bisa disangkal merupakan sebuah tolok ukur keberhasilan yang membanggakan bagi para pendidik di manapun.

Proses menuju mandiri berlangsung sejak anak-anak lahir. Tugas orang tua-lah untuk membimbing anak-anak untuk mencapai kemandirian sesuai dengan fase usianya. Hal pertama yang harus disadari adalah kenyataan bahwa belajar menuju kemandirian akan diawali dengan "kesalahan".

Cobalah kita cermati atau kita ingat-ingat perilaku bayi-bayi kita. Awalnya bayi-bayi hanya bisa terlentang dan perlu bantuan kita untuk telungkup, namun lama- kelamaan mereka bisa melakukannya sendiri dengan terus berlatih setiap hari. Seiring usia, bayi pun terus meningkatkan keterampilan fisiknya, dari duduk, merayap, merangkak, berdiri, hingga berjalan. Dan ternyata, ada beberapa hal yang jika sekiranya kita abaikan, perkembangan keterampilan fisik itu jadi terlambat atau bahkan kurang berkembang dengan baik.

Salah satu penyebab yang saya percaya bisa menghambat perkembangan gerak fisik adalah "kurungan" yang kita sediakan buat bayi-bayi kita. Apakah "kurungan" itu? Kurungan itu adalah hambatan-hambatan berupa ruang yang sempit untuk anak-anak bergerak, seperti misalnya roda bayi, kebiasaan sering digendong, dan televisi.

Dengan asumsi bahwa dengan alat bantu berupa roda atau baby-walker, bayi akan lebih cepat berjalan, hal itu kini mulai banyak ditentang secara empirik. Pada kenyataannya, "mobil" bayi itu hanya akan membuat bayi bisa membawa tubuhnya dari satu tempat ke tempat lain tapi tidak menggerakkan otot-otot kaki dan tangan mereka. Tanpa latihan gerak secara alami, justru membuat otot bayi menjadi kurang optimal perkembangannya. Boleh-lah dikatakan, bahwa memang BELAJAR YANG PALING EFEKTIF ADALAH DENGAN MELAKUKANNYA . Buat Anda yang pernah punya pengalaman membesarkan bayi, pasti bisa melihat efek-efek dari setiap pola yang terapkan kepada bayi-bayinya.

Dengan alasan khawatir anaknya akan terluka karena terantuk tembok saat merangkak atau terjatuh saat berdiri, beberapa orang tua memilih untuk terus menggendong bayinya, meski sang bayi sudah berumur 6 - 9 bulan. Dengan alasan tak mau kotor, beberapa orang tua juga terus-menerus memasangkan diapers pada anaknya hingga usia 5 tahun bahkan lebih tanpa melatih mereka untuk bisa buang air di kamar mandi. Dengan alasan kepraktisan, beberapa orang tua juga masih terus memandikan dan menceboki anak-anaknya hingga usia 7 tahun lebih. Dengan alasan tak mau banyak bicara dan agar anaknya tenang saat ia bekerja, beberapa orang tua mendudukkan anaknya di depan televisi hingga berjam-jam lamanya, padahal ia sendiri tahu bahwa acara televisi tidak semuanya baik untuk ditonton oleh anak-anak. Banyak hal, banyak alasan, sering dilontarkan orang tua untuk membuat "kurungan" pada anak-anaknya untuk tumbuh menjadi mandiri.

Benar, bahwa untuk membuat anak bisa melakukan semuanya sendiri membutuhkan pengorbanan, entah itu kotor dan basah saat mereka sedang belajar mengambil minuman dan makanan sendiri, atau kita harus sering mengepel lantai karena anak masih pipis di celana dalam fase latihan tanpa diapers, atau banyak kertas terpakai untuk latihan anak-anak mencorat-coret sampai mereka bisa menulis dan menggambar dengan baik, dan lain-lain.

Jangan remehkan kemandirian anak betapapun dalam hal-hal yang sederhana: Membuang sampah ke tempatnya, membaca buku tanpa disuruh, menyapu tanpa diminta, mengerjakan worksheet tanpa dinilai, merapikan mainan tanpa diperintah, dll. Tahukah, bahwa kemandirian begitu menakjubkan dan membanggakan, bukan hanya bagi para pendidik atau pengajar, melainkan juga bagi anak-anak itu sendiri. Kemampuan untuk mandiri akan membuat anak-anak memiliki rasa percaya diri yang luar biasa dalam menempuh kehidupan.

Sepanjang perjalanan pendidikan yang terus berlangsung, satu demi satu keterampilan hidup harus diperkenalkan dan diajarkan, hingga akhirnya kita akan melihat anak-anak tersenyum bahagia dan optimis menghadapi hidup. Betapa senangnya saat anak makin mandiri. Tidakkah demikian?

Jumat, 19 September 2008

Mengenal dan Mengolah Bahan Makanan

Salah satu fenomena di zaman serba instan ini adalah menurunnya minat anak untuk mempelajari keterampilan memasak. Remaja-remaja kita lebih suka jajan di luar dan mengonsumsi makanan instan daripada memasak. Selain berdampak pada meningkatnya pengeluaran finansial, kebiasaan jajan juga membuat anak-anak kita mengabaikan kesehatannya.

Kita tentu tahu bahwa banyak makanan yang dijual kurang memenuhi komponen gizi yang seimbang, terutama unsur serat. Selain itu, penambahan zat perasa dan pewarna makanan yang kadang berlebihan pada jajanan diluar sesusungguhnya tidak baik untuk kesehatan mereka.

Kini telah hadir buku berjudul Mengenal dan Mengolah Bahan Makanan yang mencoba memperkenalkan bahan-bahan makanan dan cara mengolahnya, ditujukan khusus buat anak-anak dan remaja usia 8 - 15 tahun. Buku ini diterbitkan oleh Chilpress - Imprint Salamadani Publishing Bandung.

Dukungan desain dan ilustrasi gambar juga foto dalam buku ini diharapkan bisa menggugah minat anak-anak untuk mulai mempelajari kegiatan mengolah makanan sejak dini sehingga mereka menjadi mandiri.

Selain berisi beberapa resep masakan, buku ini juga mengajak anak-anak untuk mengenal aneka bumbu masak, cara mencuci, mengupas, dan memotong sayuran; cara memotong dan mencuci daging serta ikan; cara membuat bumbu siap pakai, dan mengenal aneka sambal serta cara membuatnya.

Mau menghadiahkannya buat anak-anak, adik, atau keponakan Anda? Silakan kunjungi toko buku kesayangan Anda dan carilah cover buku yang saya tampilkan di sini.

Selamat membaca!

Jumat, 12 September 2008

Bermain Drama

Anak-anak menonton film pasti sudah biasa, tapi anak-anak menjadi pemain film, bahkan tanpa sutradara, itu baru luar biasa.

Itulah yang terjadi pada anak-anak saya. Sejak kami belikan VCD beberapa film ini: Fireman Sam (Si Pemadam Kebakaran), Postman PAT (Si Tukang Pos), dan Bob the Builder (Si Ahli Bangunan). Anak-anak akan memainkan tokoh-tokoh dalam film itu secara bergantian. Kadang-kadang mereka mainkan skenario pemadam kebakaran dan mereka jadikan benda-benda yang mereka mainkan sebagai tokoh-tokoh dalam film itu. Tentu saja benda-benda yang jadi tokoh film tidaklah menyerupai aslinya, melainkan hanya balok-balok atau kotak kardus yang mereka imajinasikan sebagai tokoh, dan merekalah yang menjadi pengisi suaranya.

Anehnya, mungkin karena mereka menonton dan memainkannya kembali, mereka jadi hafal dialog-dialog film itu secara persis. Sambil sibuk memindahkan kotak dan perlengkapan main, atau bahkan saat menggunting kertas dan mewarnai gambar biasanya mereka bergumam-gumam dalam sebuah dialog dengan intonasi yang persis sama dengan film aslinya.

Peralatan dan perlengkapan main yang mereka pakai hanyalah perlengkapan sederhana yang ada di rumah. Mereka pakai kardus bekas yang sengaja saya sediakan, kertas-kertas, gunting, pensil, buku-buku, dan lain-lain. Biasanya, buku dijadikan laptop, kursi kecil mereka jadikan mobil. Semua properti itu diubah-ubah sesuai keperluan skenario.

Nah, sudah jadi lah mereka para pemain drama. Orang dewasa mungkin sering kesulitan menghafal skenario, itu tidak terjadi pada anak-anak. Mereka menikmati setiap dialog dan ... nampaknya permainan itu demikian mengasyikkan sehingga selalu mereka lakukan setiap hari tanpa bosan. Hal positifnya, kosa kata mereka jadi bertambah dan kemahiran berbicara jadi meningkat. Mungkin mau mencobanya juga di rumah? Filmnya bisa apa saja asalkan bermuatan positif, tidak mengandung unsur kekerasan, dan tidak mengandung kata-kata yang negatif.

Selasa, 09 September 2008

Bertani Yuk!


Kegiatan pertanian cukup menarik untuk dilakukan bersama anak-anak. Tentu saja pertanian yang dimaksud dilakukan dalam porsi sederhana: Asal anak-anak terlibat dan kenal dan mudah-mudahan akhirnya jadi suka dan cinta pertanian. Buat keluarga yang tidak punya halaman yang luas dan bahkan mungkin sudah tidak menyisakan tanah kosong kecuali ruang bersemen di depan atau di belakang rumah, solusinya adalah memanfaatkan polybag atau pot sebagai tempat menanam.

Saat ini kami sedang menikmati pertumbuhan sawi putih yang kami tanam sekitar 1,5 bulan yang lalu. Kebetulan, sawi putih adalah sayuran kesukaan Azkia. Setelah kami coba menanamnya, banyak hal baru kami temukan. Sawi putih yang senang tempat lembab ini begitu cepat tumbuh. Dalam 3 hari benih yang kami tabur di atas semaian sudah bermunculan. Hampir tak percaya bahwa itu adalah bibit kecil sawi putih, karena bentuknya memang berbeda dengan sawi putih dewasa.

Setelah sawi cukup besar, mulailah muncul ulat sayur yang gemuk di salah satu helai daunnya. Wah, tentu saja itu jadi tontonan mengasyikkan buat anak-anak. Hal menarik lainnya adalah kemunculan banyak belalang kecil di halaman gara-gara sayuran kami itu. Meskipun anak-anak senang bukan main melihat belalang yang melompat-lompat saat di sentuh, tapi tentu saja fokus kami adalah sayurannya. Jadi, kami usir......

Sekarang sawi putih kami sedang menjalani masa pertumbuhan yang pesat. Setiap pagi selalu terlihat pertumbuhan yang berarti. Modalnya hanya menyirami mereka secara rutin pagi dan sore. O'ya. Media tanam yang kami pakai adalah tanah, pupuk kandang, dan sekam bakar dengan perbandingan 1:1:1.

Banyak tetangga yang ikut memperhatikan pertumbuhan sawi-sawi kami. Tahukah, ternyata mereka juga penasaran ingin melihat sawi-sawi itu mencapai bentuk sempurna, sama dengan sawi putih yang biasa mereka beli di warung sayur.

Sebagai salah satu kegiatan belajar praktis ala homeschooler, bertani kecil-kecilan seperti ini sangat menantang dan pastinya menghasilkan :) Mau mencoba?

Minggu, 07 September 2008

Cara Lain Membuat Playdough

Beberapa waktu lalu saya sempat memposting cara membuat lilin mainan atau playdough. Akan tetapi, ternyata cara saya itu kurang efisien, karena daya tahannya hanya bisa 1 minggu maksimal. Ada cara lain yang membuat playdough buatan kita bisa tahan lebih lama sampai 1 bulan. Ini dia resep dan cara membuatnya.....


Bahan

- Tepung terigu 200 gram (yang kualitasnya tidak terlalu bagus)
- Garam 1 cangkir
- 1 - 2 gelas air
- 2 sendok minyak goreng
- Pewarna makanan


Cara membuatnya
- Campurkan tepung dengan air, aduk sampai rata
- Masukkan garam dan minyak goreng
- Panaskan adonan di atas kompor dengan api kecil sampai kental dan kalis (tidak lengket di panci)
- Setelah dingin pisahkan gumpalan adonan menjadi beberapa bagian
- Warnai setiap bagian dengan warna berbeda
- Nah, playdough siap digunakan.
- Simpan kembali playdough di lemari es setelah dipakai. Gunakan wadah tertutup supaya adonan tidak tertetesi air.

Selamat mencoba!


Selasa, 02 September 2008

Kurikulum Tentang Obat dan Kesehatan

Suatu pagi saya membaca sebuah berita di salah satu koran terbitan Bandung, tentang jaminan kesehatan untuk rakyat miskin yang kini agak semakin sulit didapat. Terpajanglah foto antrian para pasien GAKIN yang penuh sesak di loket administrasi sebuah rumah sakit. Sebuah potret yang pasti juga akrab kita saksikan jika kita sesekali menyambangi rumah sakit pemerintah untuk menengok kerabat atau mungkin ada anggota keluarga kita yang dirawat di sana.

Di luar konteks bahwa memang ada strata sosial yang berlaku di sebuah lembaga pengobatan resmi, saya pikir masalah lainnya yang juga penting adalah paradigma masyarakat tentang obat dan kesehatan. Beberapa pertanyaan cukup mengganggu pikiran saya, di antaranya adalah: Tak adakah cara lain untuk mengobati sebuah penyakit selain ke rumah sakit, sehingga orang terkategori pasien miskin rela mengantri susah payah, harus pula membawa beberapa lembar surat, untuk sebuah diagnosis dan resep obat?

Malah dengan adanya tambahan persyaratan untuk askeskin, peluang untuk memperoleh pelayanan kesehatan di rumah sakit pun kian menyempit. Jika pun bisa, banyak hal yang harus dikorbankan, di mana salah satunya adalah waktu yang diulur. Tak jarang ada banyak pasien tak tertolong jiwanya hanya karena keterlambatan birokrasi di bagian administrasi.

Namun, tanpa harus menunggu jawaban mereka, saya bisa menebak jawabannya apa: Yaitu, karena mereka dan pada umumnya masyarakat bahkan mungkin termasuk kita, tidak mengerti bagaimana mendeteksi sebuah penyakit dan apa yang bisa dijadikan obat.

Ilmu Kesehatan
Kesehatan adalah bidang yang terpenting ke-dua setelah pangan atau pertanian. Mengapa begitu? Pasti kita tahu, karena hal itu terkait dengan jiwa manusia. Sayangnya, justru ilmu tentang kesehatan justru menjadi bidang yang eksklusif, yang hanya bisa dipelajari oleh orang-orang yang bersekolah di bidang kesehatan, entah itu kedokteran, kebidanan, ataupun keperawatan. Sebuah sekolah yang biayanya juga tak mungkin dijangkau oleh orang-orang "kebanyakan".

Jika kesehatan dianggap sebagai bidang yang penting bagi masyarakat, semestinya hal itu disosialisaikan dan diajarkan sejak seseorang mulai menempuh pendidikan, baik formal, informal, maupun nonformal.

Setidaknya, setiap orang tahu bagaimana menjaga kesehatan mereka dan tahu alternatif-alternatif obat yang bisa mereka usahakan jika tindakan medis modern tidak bisa dijalani karena mahalnya biaya berobat.

Obat-Obatan Alami
Banyak harapan bisa disandarkan pada obat-obatan dari bahan alami. Namun tantangannya lagi-lagi adalah paradigma dan juga pengetahuan. Kalau kita selalu berpikir bahwa sesuatu yang dinamakan obat adalah pil, kapsul, atau cairan dari rumah sakit atau dokter, dan selain itu tak bisa dijadikan obat, maka hal itu akan mensugesti pikiran kita setiap kali kita sakit. Selain itu, kenyataannya, pengetahuan tentang resep-resep pengobatan alami dari warisan orang-orang tua dulu tidak diwarisi oleh generasi sekarang.

Banyak tanaman yang tumbuh di sekitar tempat tinggal kita bisa dijadikan obat, bahkan untuk penyakit-penyakit berat. Namun karena ketidaktahuan kita, tanaman itu mungkin akan kita basmi habis karena dianggap mengganggu. Sebagai gantinya, kita pun kembali menyambangi rumah-sakit yang penuh sesak untuk mendapatkan obat saat kita sakit.

Ironis sekali jika kemiskinan menjadi dalih kita tak bisa sehat karena mahalnya biaya berobat ke rumah sakit, padahal di halaman rumah kita ada obat mujarab yang bisa kita peroleh secara gratis. Semua hanya disebabkan oleh kurangnya pengetahuan.

Lebih dari itu, budaya instan yang sudah menghinggapi hampir seluruh masyarakat hingga ke pedesaan. Hal itu menyebabkan kegiatan meracik obat dari bahan alami kurang diminati. Memang sangat wajar, karena dengan obat pabrik kita hanya cukup membuka bungkusnya lalu meminumnya, sedangkan obat-obatan alami membutuhkan beberapa tahapan proses yang tak semua orang telaten untuk melakukannya.

Sejak Dini
Tak kenal maka tak sayang. Ajari anak-anak kita sejak dini dengan pengetahuan tentang kesehatan, tentang obat-obatan hasil alam yang sudah dianugerahkan Allah pada manusia. Dengan begitu, mudah-mudahan ragam penghambat penggunaan obat alami yang dialami orang-orang dewasa saat ini tidak terjadi pada mereka kelak.

Setiap orang bisa berbeda pendapat, tapi inilah pendapat saya.
Salam pendidikan!

Tentang Saya

Saya, ibu dua anak. Anak-anak saya tidak bersekolah formal. Blog ini berisi pemikiran, hasil belajar, dan beberapa pengalaman.

Jika Anda menggunakan tulisan di blog ini sebagai referensi: (1) HARAP TIDAK ASAL copy paste, (2) Selalu mencantumkan link lengkap tulisan. Dengan begitu Anda telah berperan aktif dalam menjaga dan menghargai hak intelektual seseorang.