Artikel lain

Jumat, 29 Agustus 2008

Aku Lakukan Maka Aku Ingat

Suatu pagi saya bercerita pada suami saya bahwa saya baru saja meminta batang pohon kenanga dari tetangga, untuk di tanam dengan cara stek. Mendengar hal itu suami saya langsung bertanya, "Stek itu apa?"Kontan saja saya tertawa, "Nggak tahu stek? Itu, kan pelajaran biologi SMP!"

Suami saya menggeleng, juga sambil ketawa geli, "Yah! Biologi sih memang nggak terlalu suka dari dulu. Jadi, maklum aja kalau nggak inget."

Kalau dipikir-pikir, mungkin benar juga ya... Hanya pelajaran yang kita sukai atau gurunya kita sukai biasanya akan membuat kita enjoy, sebaliknya jika pelajaran itu tidak atau belum kita minati, apalagi gurunya mengajar dengan cara yang kaku dan membosankan, dipaksa-paksa juga, paling-paling kita hafalkan demi ujian saja.

Selain itu, pelajaran yang kita praktekkan, biasanya itulah yang kita ingat: Tak hanya ketika ujian, tapi juga sepanjang hidup kita. Coba saja perhatikan di dunia kerja. Para editor penerbitan misalnya, meski bukan dari Fakultas Sastra, karena saking intensifnya dengan dunia penyuntingan kata, EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) jadi "nempel" di kepala tanpa harus buka buku lagi. Padahal ketika kuliah, mungkin banyak mahasiswa dipusingkan dengan materi EYD, meskipun bukunya sangat tipis jika dibandingkan buku Laskar Pelangi.

Lantas bagaimana relevansinya dengan Ujian Nasional yang sudah mulai hangat diobrolkan meski baru memasuki tahun ajaran baru? Anak-anak dari tingkat SD terlebih di tingkat SMU sepertinya sangat awas dan was-was menghadapi momentum penting ini. Saya tak melihat ada alasan untuk merasa demikian, kecuali bahwa mereka takut tak bisa memperoleh tanda lulus alias ijazah, sehingga mereka tak bisa melanjutkan pendidikan formal ke jenjang selanjutnya.

Belajar di sekolah formal tak boleh salah. Tak peduli bagaimana caranya anak-anak menghafal, semua harus benar, atau setidaknya prosentase benarnya harus lebih banyak dari prosentase salahnya. Jika tidak begitu, seorang murid akan dicap sebagai anak yang gagal. Memang wajar kalau kemudian anak-anak sekolah menjadi sangat tegang menghadapi ujian. Bayang-bayang kegagalan menghantui mereka. Standar lulus yang semakin naik menjadi ancaman. Sekian tahun menempuh pendidikan bisa jadi kandas di tahap akhir, yaitu ujian nasional.

Namun demikian, ujian nasional hanyalah sebuah kebijakan. Seiring waktu, dengan pergantian pemimpin, kabinet, dan sebagainya, masih selalu ada peluang agar UN ditinjau ulang fungsi dan mekanismenya. Setidaknya sejauh yang saya lihat, sampai saat ini UN tak berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan kualitas lulusan sekolah.

Selama jumlah belajar praktek di sekolah tetap minim dibandingkan teori, nampaknya sekian tahun ke depan lulusan sekolah memang masih tetap harus sangat awas melihat peluang kerja, karena nyatanya hanya sedikit lapangan pekerjaan yang tidak membutuhkan skill.

Kamis, 28 Agustus 2008

Arti Sebuah Mainan

Sesekali, jika kita perhatikan anak-anak, kita akan dapati mereka lebih asyik memainkan sepotong kayu, tali plastik, dan sebuah gelas air mineral bekas daripada mainan mahal yang kita belikan. Berjam-jam mereka bisa berinteraksi dengan mainan sederhana semacam itu tanpa bosan.

Setelah sebelumnya sempat menjadi "maniak" membelikan mainan edukatif, yang sebagiannya bahkan cukup mahal untuk ukuran kami, kini saya melihat kebutuhan akan mainan dari sudut pandang yang berbeda. Sebagai sebuah alat untuk mengeksplorasi kecerdasan anak, mainan edukatif sesungguhnya bertebaran di rumah kita: Tanpa harus kita beli secara khusus. Kenapa bisa begitu? Ya, tentu saja bisa, karena alat-alat bermain itu adalah juga perabotan dan benda-benda yang biasa kita pakai sehari-hari.

Karena saya memutuskan untuk berhenti dulu membeli mainan, tampaknya hal itu membuat anak-anak'terpaksa' jadi kreatif. Beberapa minggu terakhir ini mereka sering menyulap barang-barang yang ada di rumah menjadi mainan yang seru. Buku-buku hardcover berubah jadi laptop (menurut mereka), kardus bekas jadi rumah-rumahan, dan apapun benda yang ada di ruang tengah jadi apapun yang membuat mereka merasa punya mainan baru setiap hari.

Setelah saya pikir-pikir, memang ada hikmahnya juga tak lagi meanggarkan jatah biaya 'belajar' kami pada mainan, karena sebenarnya mainan buat mereka hanyalah salah satu alat belajar yang mereka sendiri tak pernah mendefinisikannya secara khusus.

Sebagai variasi, tentunya kita bisa ikut andil membantu mereka menyediakan bahan-bahan murah yang bisa memicu ide-ide kreatif mereka makin banyak lagi.

Minggu, 24 Agustus 2008

Kurikulum Homeschooling

Kurikulum selalu ditanyakan saat bersinggungan dengan homeschooling. Apa sebenarnya bahasa yang lebih mudah untuk menerjemahkan kurikulum? Saya lebih suka menyebutnya outline atau kisi-kisi. Kurikulum hanyalah peta yang memandu kita untuk menentukan topik yang ingin kita pelajari. Penjabarannya tentu sangat beragam. Setiap keluarga bisa menciptakan kegiatan belajar yang amat kaya dari sebuah kisi-kisi pelajaran.

Salah satu keunikan homeschooling terletak pada keleluasaan untuk menentukan urutan prioritas. Kalau kurikulum diknas memiliki urutan-urutan yang sudah baku, maka homeschooler bisa mengubahnya sama sekali. Mungkin istilah level-level kelas 1, 2, 3, dan seterusnya tidaklah berlaku dalam homeschooling. Anak homeschooling usia 8 tahun bisa jadi masih suka mewarnai sekaligus sudah menguasai pelajaran matematika kelas 6 SD. Belajar biologi bisa jadi tak berawal dari definisi biologi, tapi dari kegiatan mengamati kupu-kupu atau serangga di kebun belakang. Alasannya sangatlah sederhana, "Kita akan menyerap pelajaran lebih banyak ketika kita berminat dan antusias untuk mempelajarinya".

Kalau selalu dibingungkan dengan masalah kurikulum, maka carilah dengan pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
"Apa yang ingin aku tahu?"
"Apa yang kuingin anak-anakku tahu?"
"Apa yang ingin anak-anakku ketahui?"

Jawaban dari pertanyaa-pertanyaan di atas, ITULAH dia kurikulum, setidaknya kurikulum sementara sambil kita lakukan penyempurnaan dalam perjalanan. Selamat berwisata di alam belajar tanpa batas!

Sabtu, 23 Agustus 2008

Jadilah Fasilitator, Bukan Tutor

Hari ini (24 Agustus 2008) anak-anak antusias sekali untuk belajar menganyam. Mereka penasaran mengetahui bagaimana cara melakukan kegiatan itu, karena dua hari sebelumnya si sulung melihat barang-barang hasil anyaman dalam sebuah buku. Jadilah menganyam sebagai proyek belajar di hari minggu. Saya gunakan kertas sebagai bahan.

Homeschooling memberikan inspirasi pembelajaran yang sangat besar buat saya. Lewat homeschooling saya benar-benar bisa merasakan uniknya peran guru bagi seorang murid. Sejauh pendidikan yang pernah saya tempuh di sekolah formal, dan saya rasa sampai sekarang pun masih tak berubah, guru lebih sering bertindak sebagai tutor yang menggantikan buku bagi anak-anak. Malah dalam kasus yang ekstrem, beberapa guru hanya mengubah teks buku menjadi suara, tanpa dia benar-benar memahami apa yang sedang diajarkannya. Guru mendiktekan, murid-muridnya menulis. Saat bel berbunyi, kegiatan "belajar" itu pun selesai. Bertemu lagi keesokan harinya, acara dikte itupun dilanjutkan pada halaman berikutnya. Tak ada waktu untuk anak-anak bertanya atau mungkin mereka pun tak sempat terpikir untuk bertanya karena tidak tahu apa yang harus ditanyakan.

Berbeda dengan anak-anak homeschooling, setidaknya yang sudah pernah saya jumpai, hampir semuanya memiliki karakter belajar yang sama, yaitu MANDIRI. Saya kira, hal itu bukanlah tanpa sebab. Karakter belajar seperti itu terbentuk karena iklim belajar mengajar yang diciptakan di rumah memang membuat mereka jadi mandiri. "Guru-guru" homeschooling (dalam hal ini tentu saja orang tua sebagai centralnya) memang nyaris tak bisa menjadi tutor.

Anak-anak akan membaca beberapa buah buku dalam sehari dengan topik yang beraneka ragam ketika mereka memang ingin melakukannya. Mereka akan meminta lembaran-lembaran worksheet matematika ketika mereka sedang berminat. Mereka bisa menanyakan arti dari begitu banyak kosa kata yang mereka temukan dalam buku yang mereka baca: apa itu majelis ulama? Apa arti kata "menyongsong", "kenapa kita harus memasang bendera di hari kemerdekaan?", "kemerdekaan itu apa?", dll. Mereka akan memutar VCD dan menonton berulang-ulang film tentang pernapasan atau ilmu tentang benih sampai puas. Mereka belajar setiap hari tanpa harus ada instruksi khusus, apalagi instruksi untuk duduk rapi dengan tangan di atas meja.

Sampai saat ini, jujur saja saya jarang menjadi guru (jika guru yang dimaksud adalah seseorang yang selalu memberi tahu dan mengajari) buat anak-anak saya. Mereka lebih sering mengajari diri mereka sendiri lewat media-media yang kami sediakan. Terlebih saat anak sulung saya bisa membaca, dia bisa mengeksplorasi pengetahuan sendiri lewat bahan-bahan bacaan dan sekaligus menjadi asisten untuk mengajari adiknya. Dia hanya bertanya kalau dia menemukan sesuatu yang tidak dimengerti. Buat kami, sangat penting anak-anak mengetahui bahwa kami bukanlah gudang ilmu pengetahuan atau perpustakaan berjalan yang serba tahu. Jika kami tak bisa menjawab pertanyaan mereka, mereka sendiri-lah yang harus mencari tahu. Peran kami hanyalah membantu memfasilitasi mereka, menunjukkan pada mereka di mana bisa mendapatkan informasi.

Perbedaan terbesar yang akan tampak pada anak-anak dengan guru yang menjadi tutor dan guru yang menjadi fasilitator adalah kemandirian. Anak-anak yang dididik oleh guru secara tutorial akan terlihat lebih tergantung pada guru. Mereka belajar hanya jika ada guru yang mengajar di depan kelas. Mereka tidak terbiasa untuk mencari tahu sendiri, sehingga minat untuk belajar sendiri menjadi terkikis seiring pembiasaan yang terbentuk selama bertahun-tahun.

Kalau para guru di sekolah formal memahami dan mau belajar banyak tentang dampak metode pengajaran ini, sangat mungkin karakter belajar siswa di sekolah formal pun akan beranjak lebih mandiri. Semua akan berubah jika kita MAU mengubahnya. Dan sebenarnya, kemandirian dalam belajar bukanlah monopoli anak-anak homeschooling. Ketika pola ajar di rumah tidak mengarahkan anak untuk mandiri, hasilnya pasti sama saja.

Nah, peran apa yang hendak kita pilih? Yang jelas, menjadi guru itu akan sangat menyenangkan jika kita tidak menganggap murid-murid kita sebagai kotak kosong yang harus diisi, melainkan sebagai manusia yang dibekali otak cerdas sejak dalam kandungan. Tugas kita sebenarnya hanyalah menyalakan minat belajar mereka dan membantu mereka menemukan sumber-sumber belajar, sehingga di manapun anak-anak akan selalu tertarik belajar dan apapun yang mereka lihat dan mereka dengar akan menjadi magnet yang menarik mereka untuk mengetahui dan mempelajarinya.

Salam pendidikan!

Jumat, 15 Agustus 2008

Model Pendidikan Yang Nyaman Buat Anak (2)

Tentang bagaimana membangkitkan kreatifitas anak, saya jadi ingat dengan salah seorang guru SD saya dulu. Beliau mengajar kami di kelas 5 dan kelas 6. Sekolah saya dibangun dengan program SD INPRES, yang sebentar-sebentar kembali rusak dan bahkan roboh karena kualitas bahan bangunannya menyedihkan. Tapi hebatnya, guru saya yang honorer ini tetap gembira mengajar dan menurut saya sangat kreatif. Belajar bersama beliau membuat kami tidak bosan di dalam kelas dan bahkan cenderung malas untuk pulang ke rumah.

Guru saya selalu punya media yang menarik untuk menjelaskan sebuah materi pelajaran. Beliau pancing rasa ingin tahu dan ketertarikan kami dengan media-media visual yang kami buat sendiri. Sering sekali beliau memberikan tugas-tugas praktis secara berkelompok ataupun perorangan untuk membuat sesuatu, yang kini saya baru sadar, ternyata dimaksudkan untuk mempermudah visualisasi sebuah materi pelajaran. Misalnya saja, beliau tugaskan kami untuk membuat poster dengan model kliping: Gambar-gambar dari potongan koran atau majalah bekas ditempelkan di atas selembar karton putih. Poster itu lalu dipasang di dinding. Setiap kelompok kebagian topik yang berbeda-beda. Ruangan kelas kami pun menjadi semarak. Minimalnya, ada sesuatu yang enak dipandang mata saat berada di dalam kelas.

Selain itu, beliau juga mengajak kami untuk melengkapi dan meperindah sekolah dengan membuat pagar bersama-sama dari bambu. Karena kami tinggal di desa, tentu tak sulit untuk mendapatkannya. Kami bawa batang-batang bambu yang sudah dipotong-potong dengan ukuran yang sama dan siap untuk disusun dan digabungkan dengan bambu-bambu yang dibawa oleh seluruh anggota kelompok. Di sekolah kami memaku bambu-bambu itu, dan jadilah pagar-pagar buatan kami sendiri. Sungguh membuat kami bangga, lho!

Saat musim hujan tiba, kami juga punya jadwal untuk berkebun. Karena halaman sekolah kami tidak bersemen alias tanah merah yang kosong, jadi kami bisa menanaminya dengan macam-macam sayuran. Setiap hari Jumat kami membawa peralatan berkebun dari rumah. Setiap kelompok diberi jatah lahan sama rata. Supaya kami termotivasi, guru kami yang inovatif ini memberikan tantangan agar kami berlomba dalam mengurus kebun sampai kebun kami menghasilkan tanaman yang bisa dipanen.

Satu hal lagi yang masih saya ingat adalah ketika kami berlomba membuat dan menghias tumpeng dari nasi uduk yang harus kami buat dengan cara diliwet. Di halaman belakang kelas, kami membuat tungku-tungku untuk memasak. Alatnya hanya panci kastrol dan wajan. Keterampilan memasak nasi liwet adalah pelajaran yang remeh tapi menurut saya menarik dan tentunya bermanfaat. Tragedi menimpa saya saat itu. Nasi liwet yang saya buat masih mentah, padahal waktu yang diberikan sudah habis(he he). Meskipun sudah banyak konsep hiasan yang saya siapkan dari rumah,tapi semuanya tidak berarti karena nasinya nggak bisa dimakan sama sekali. Duh, sedih sekali rasanya waktu itu!

Nah, kembali ke guru saya: Saya menyimpulkan bahwa apa yang beliau lakukan dulu tidaklah tercantum dalam silabus atau kurikulum pendidikan yang diperoleh dari diknas. Buktinya, guru-guru lain di sekolah saya tidak pernah melakukan hal itu pada kelas yang dipegangnya. Apa yang beliau lakukan adalah murni hasil inovasi beliau sendiri.

Jadi, yang akan membuat anak-anak kreatif, menurut saya juga dipengaruhi oleh semangat guru-gurunya. Buat para homeschooler, maka orang tua-lah guru utamanya, dan buat anak-anak di sekolah formal, maka guru-lah yang menjadi pembimbingnya.

Selamat berkreasi buat para guru di manapun berada. Jangan lupa untuk selalu belajar dan terus belajar tanpa henti, karena pintar dan kreatifnya anak didik kita juga tergantung dari peningkatan kualitas guru-gurunya.

Kamis, 14 Agustus 2008

Model Pendidikan Yang Nyaman Buat Anak (1)

Tulisan ini saya buat berdasarkan sebuah pertanyaan yang dilontarkan salah seorang pembaca blog Pendidikan Rumah ke email saya. Pertanyaannya adalah: "Bagaimana membuat konsep pendidikan yang nyaman buat anak didik serta menumbuhkan minat dan kreatifitas anak?"

Saya bukanlah pakar pendidikan. Jawaban saya hanyalah berdasarkan pengetahuan otodidak yang saya dapat dari buku-buku yang saya baca dan pengayaan yang saya lakukan saat berinteraksi dan mengamati anak-anak saya belajar.

Secara singkat bisa dikatakan: konsep pendidikan yang nyaman buat anak adalah model pendidikan yang sesuai dengan dunia mereka, karakter mereka, dan kebutuhan mereka. Adapun dunia anak bisa saya jelaskan sebagai berikut:

1. Anak-anak hidup dalam dunia bermain. Kalau kita ingin memasukkan nilai atau muatan pelajaran apapun pada mereka, masuklah dari dunia bermain. Contohnya: Ajari mereka memasak dengan membawa mereka ke dapur, dan biarkan alat-alat dapur sekaligus menjadi alat-alat mereka untuk bermain.

2. Bagaimanakah karakter anak-anak? Banyak teori memang terkait karakter ini. Tapi secara umum saya bisa menyimpulkan bahwa hampir semua anak terbuka terhadap hal-hal baru jika orang tuanya membuka kran untuk itu. Kalau seandainya kita adalah guru di sebuah sekolah formal, prinsipnya tidaklah jauh berbeda. Ciptakan suasana gembira dan BEBAS DARI RASA TAKUT UNTUK BERTANYA, MELAKUKAN, dan MENCOBA HAL-HAL BARU di kelas kita.

CATATAN: Hal-hal baru buat anak-anak bisa jadi merupakan sesuatu yang nggak penting buat orang dewasa. Di situlah kita harus bijak dan mengerti. Seekor ulat mungkin nggak ada hebatnya buat orang dewasa, namun begitu menarik untuk diamati dan diteliti oleh anak-anak.

3. Apakah kebutuhan anak-anak? Kebutuhan anak-anak pada setiap fase pasti berbeda dan juga amat beragam antara satu anak dengan anak lainnya. Bagi seorang guru di sebuah kelas yang terdiri dari beberapa anak, hal ini memang agak rumit. Butuh kesabaran dan kejelian mengamati semua anak dan melayani semua kebutuhan mereka. Ilmu tentang Multiple Intelligence akan membantu kita untuk mengatasi kesulitan ini.

Sabtu, 09 Agustus 2008

Membuat Anak Suka Membaca

Teknik Mengajar Balita Membaca adalah topik yang selalu dicari oleh para orang tua pemula. Saat anak sudah mencapai usia 3 tahun, new parents pasti mulai melirik banyak model yang ditawarkan untuk membuat anak bisa membaca di usia lebih dini. Alasannya memang sangat beragam. Saya sendiri melakukannya, lebih karena ingin agar anak saya bisa mandiri dalam belajar. Rasa senang dan bangga, pasti juga tak terelakkan. Keberhasilan anak memecahkan misteri gabungan huruf, yang sebenarnya abstrak buat mereka, adalah pintu pembuka untuk membawa anak-anak mengenal dan menguasai keterampilan lain.

Sayang, banyak orang tua puas sampai pada tahap "Membuat Anak BISA MEMBACA". Setelah segala upaya dilakukan, dari mulai mengenalkan huruf, menggabungkannya menjadi suku kata dan kemudian kata, daya dorong anak untuk mau membaca secara sukarela tak jarang malah menguap begitu saja. Mereka tampak tak berminat dengan bahan-bahan bacaan yang mungkin melimpah di rumah. Lalu, kecewakah kita?

Sangat wajar kalau kemudian kita agak sedikit kecewa. Tapi, tak perlu patah arang. Kita masih bisa mendorong atau tepatnya membangkitkan rasa suka anak terhadap kegiatan membaca kapan saja. Caranya?

1. Mulai sekarang berikanlah contoh positif dari kita. Lakukanlah kegiatan membaca, walau mungkin hanya satu halaman buku sehari.

2. Walaupun anak-anak sudah bisa membaca, tak ada salahnya sesekali membacakan mereka buku untuk memberikan nilai rasa pada bahan bacaan. Suguhkan irama membaca yang menarik dan penuh motivasi, supaya anak-anak menangkap kesenangan dalam membaca buku.

3. Berikan umpan balik atau studi kasus terhadap apapun yang dibaca anak, sehingga mereka merasa bahwa kegiatan membaca memang ada manfaatnya buat mereka. Caranya adalah dengan menghubungkan setiap isi bacaan dengan kegiatan kita sehari-hari atau apapun yang kita temui dalam keseharian. Misalnya, setelah anak membaca tentang pentingnya membuang sampah pada tempatnya, kita bisa ingatkan anak tentang hal itu saat melihat selokan mampet dan airnya luber ke jalan.

Meskipun anak-anak BELUM BISA MEMBACA, mereka bisa jadi sudah memiliki kesenangan dari kegiatan membaca yang dilakukan orang tuanya untuk mereka. Hal itu terjadi pada anak kedua saya. Berbeda dengan kakaknya yang sudah bisa membaca di usia 3 tahun, anak laki-laki saya LUQMAN (4 tahun) memang belum secara sengaja diajari membaca. Namun saya melihat ada kelebihan pada anak yang sudah suka membaca sebelum ia bisa, yaitu sikap mau diajar, mau bertanya.

Saat salah satu di antara kami, saya, suami, atau kakaknya membacakan buku, dia pasti memberikan respon, baik berupa pertanyaan ataupun penegasan terhadap apa yang dibacakan. Misalnya saja, saat papanya membacakan salah satu cerita tentang Marcopolo, dia bertanya, "Papa, Marcopolo itu siapa? Tinggalnya di mana?" dan sebagainya. Sisi auditori (pendengaran) pun jadi lebih terasah, sehingga setiap informasi berupa suara akan cepat diserapnya. Kosa katanya pun menjadi sangat kaya, tak kalah dengan anak-anak yang sudah bisa membaca.

Selamat bereksplorasi, amati dan dengarkan, betapa anak-anak adalah makhluk yang pintar dan mereka bisa menjadi apapun yang mungkin tak pernah terpikirkan oleh kita. Modali mereka dengan kesukaan terhadap belajar, di manapun dan dari siapapun. Insya Allah, mereka akan tumbuh mandiri bersama rasa haus mereka untuk menimba ilmu dari para ahli ilmu.

Salam pendidikan!

Selasa, 05 Agustus 2008

Adu Argumentasi

Percakapan menarik terjadi di antara kedua saya. Si sulung Azkia (mau 6 tahun Oktober nanti), membeli biskuit better waktu diajak ke mini market, sedangkan adiknya Luqman(4 tahun) membeli coklat cair. Sesampainya di rumah, sang adik mengeluh, "Mana better punya Ade?"

Ya, kumat lagi kebiasaannya. Maklum anak kecil, kadang-kadang dia merasa nggak mau sewaktu belanja, tapi sampai di rumah jadi kepengen juga. Untung kakaknya bijak, "Nanti dikasih sama Kakak, De" katanya.

Beberapa lama kemudian, entah apa yang terjadi, terdengar kakaknya protes, "Kata Papa, kita nggak boleh ngambil punya orang lain!"

Adiknya pun tak mau kalah, dia keluarkan "dalil" yang lain, "Kita harus berbagi dengan sesama!" He he.... Lucu juga. Punya jurus masing-masing untuk membenarkan tindakannya. Ternyata, bukan cuma partai dan aliran pemikiran yang bisa beradu argumentasi, anak kecil pun sudah bisa.

Tentang Saya

Saya, ibu dua anak. Anak-anak saya tidak bersekolah formal. Blog ini berisi pemikiran, hasil belajar, dan beberapa pengalaman.

Jika Anda menggunakan tulisan di blog ini sebagai referensi: (1) HARAP TIDAK ASAL copy paste, (2) Selalu mencantumkan link lengkap tulisan. Dengan begitu Anda telah berperan aktif dalam menjaga dan menghargai hak intelektual seseorang.