Artikel lain

Minggu, 02 Maret 2008

Saatnya Pendidikan Menjadi Lebih Kontekstual

Betapa mendesaknya menghubungkan pendidikan dengan dunia nyata. Saya makin yakin dengan hal itu setelah dua bulan terakhir saya berjibaku dengan sebuah pekerjaan serius. Pekerjaan yang membuat saya hampir 'tumbang', terutama secara psikis. Pekerjaan itu adalah menyusun buku untuk anak-anak.

Saya tidak merasa kompeten untuk menulis naskah buku anak, tapi saya tertantang untuk mencobanya. Pengalaman paling berharga ketika mengerjakan itu adalah timbulnya perasaan bertanggung jawab terhadap bahan bacaan anak-anak dan empati terhadap para penulis buku anak. Betapa tidak mudahnya membuat bacaan bermutu bagi anak-anak. Ketika pendidikan di sekolah terlalu teoritis dan anak-anak lebih banyak tak mengerti apa yang hendak dicapai dari semua teori yang diajarkan pada mereka. Pe er yang jumlahnya kini semakin banyak belum tentu membuat mereka mengerti tentang esensi belajar. Tugas-tugas hanya menjadi beban yang kemudian dilupakan setelah hasilnya diserahkan kepada guru. Buku di luar sekolah semestinya menjadi angin segar yang membuat sesuatu yang awalnya tak menarik menjadi menarik untuk dipelajari, yang awalnya tampak tak ada tujuannya, menjadi jelas tujuannya. Walau bagaimanapun visi adalah titik yang penting untuk dimiliki agar memberikan daya dorong untuk belajar.

Untuk apa belajar sejarah? untuk apa belajar matematika? untuk apa belajar bahasa? untuk apa belajar geografi? Semua pelajaran itu nampak tak menarik ketika kita dan juga anak-anak tak tahu manfaat yang ada di dalamnya dan tak melihat ada tautan penting antara bahan ajar dengan dunia nyata.

Motivasi anak pasti akan jauh meningkat ketika mereka diajak untuk melihat hal-hal praktis dan menemukan hubungan antara hal praktis itu dengan teori. Sebelum anak-anak diajarkan tentang medan magnet, akan lebih menarik jika mereka disuguhi keunikan magnet secara langsung, misalnya bagaimana magnet dalam kapasitas besar bisa mengangkat sebuah mobil dan memindahkan mobil itu ke tempat lain tanpa harus merepotkan manusia.

Begitu pula tentang pelajaran organ tubuh manusia, hal pertama yang harus disuntikkan pada anak-anak adalah manfaat mempelajari hal itu. Misalnya saat mempelajari tentang ginjal, pelajaran bisa diawali dengan mengaitkan antara kebutuhan minum 8 gelas sehari dengan kesehatan ginjal. Tanpa air yang memadai, ginjal akan mengalami kesulitan untuk melakukan proses pembuangan sisa kotoran karena terjadi penumpukkan. Akibatnya, sisa kotoran itu mengkristal dan membuat penderita penyakit ginjal sulit untuk buang air kecil dan menimbulkan efek sakit yang luar biasa pada kandung kemih. Pelajaran tentang cara kerja ginjal pun akan bergulir menarik.

Seandainya saja, para praktisi dari berbagai bidang ilmu di negeri kita mau menjawab tantangan pendidikan dengan menelurkan buku-buku kontekstual bagi anak-anak, suasana pembelajaran menjadi lebih berwarna dan berdaya guna bagi kehidupan.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Ibu Maya,
Saya setuju dengan tantangan Ibu untuk menelurkan buku-buku kontekstual bagi anak-anak. Apalagi jika hal ini dihubungkan dengan keseharian kita, utamanya dapur. Banyak kegiatan di dapur yang sangat bermanfaat bagi anak, utamanya anak usia dini. Buku anak dapat dimulai dari dapur, mulai dari mengenalkan manfaat makanan, matematika dengan bahan makanan yang akan diolah, belajar siklus hujan/air dengan melihat ketel saat merebus air, membaca resep masakan, menakar, dan sebagainya. Akan lebih bagus lagi kalo disertai "parent guide" sehingga anak tertarik untuk melakukan langsung bersama orangtua mereka. Ini lah sekolah rumah yang menurut saya luar biasa. Kami sangat menunggu buku Bu Maya untuk anak Indonesia.
Salam hormat,
ekkopadu

Tentang Saya

Saya, ibu dua anak. Anak-anak saya tidak bersekolah formal. Blog ini berisi pemikiran, hasil belajar, dan beberapa pengalaman.

Jika Anda menggunakan tulisan di blog ini sebagai referensi: (1) HARAP TIDAK ASAL copy paste, (2) Selalu mencantumkan link lengkap tulisan. Dengan begitu Anda telah berperan aktif dalam menjaga dan menghargai hak intelektual seseorang.