Bersekolah menyisakan kenangan buat kita semua yang pernah mangalaminya. Setidaknya, itulah salah satu sisi kehidupan yang kita singgahi hingga usia sekarang ini. Ada yang menyenangkan, ada pula yang menyedihkan, bikin sebel, dan tak sedikit bagian-bagian yang kita jalani di sekolah mempengaruhi pola berpikir kita hari ini. Tapi, pernahkah muncul pertanyaan: Mengapa kita bersekolah, dan apa yang kita nikmati dari sekolah?
Hari ini saya menyempatkan diri untuk mensurvey satu sekolah Islam di kawasan Jatinangor. Setidaknya, di usia si sulung yang sudah mencapai 6,5 tahun, saya berharap sudah punya keputusan yang jelas, apakah ia akan homeschooling saja ataukah diperkenalkan dunia sekolah formal.
Saya tidak bisa bilang bahwa pendidikan anak diwakili oleh istilah sekolah, baik sekolah rumah ataupun sekolah formal. Menurut saya, pendidikan mencakup keseluruhan proses hidup seorang manusia, baik di rumah maupun di lingkungan luar rumahnya. Seandainya pun seorang anak bersekolah formal, maka itu hanyalah bagian dari dunia di luar rumahnya, tak beda dengan kursus atau apapun kegiatan yang bisa menambah pengetahuan dan skill.
Oleh karena itulah, saya berencana mensurvey beberapa sekolah, yang sekiranya ada yang cocok untuk anak saya berkiprah, berkegiatan, dan menambah skill-nya, saya pun tak keberatan menanggalkan status homeschooler buat anak saya. Tak dapat dipungkiri, ada sesuatu yang tidak dapat tumbuh maksimal dalam diri anak saya jika saya memaksanakan diri menjalankan homeschooling, sementara dia ingin tumbuh bersama sekelompok teman atau lingkungan yang mengeksplorasi pertemanan.
Bagaimana dengan homeschooling?
Tak ada model pembelajaran yang sempurna tanpa kelemahan. Homeschooling, dalam definisi originalnya (yang tidak dilembagakan, tidak dikomersilkan) sesungguhnya memiliki banyak kelebihan dari sisi subjektif anak. Artinya, dengan homeschooling anak-anak bisa diarahkan pada hal-hal yang benar-benar ia sukai, orang tua bisa memilihkan materi ajar yang cocok, dan anak-anak juga sekaligus bisa didorong untuk menyukai banyak hal tanpa batasan kurikulum sebagaimana sekolah formal.
Banyak keluarga mampu menyiasati kurangnya intensitas bergaul dengan teman sebaya dengan memasukkannya ke lembaga kursus atau mengadakan acara bersama dengan keluarga homeschooling yang lain.
Nah! Buat saya sekarang, homeschooling ataukah sekolah formal bukanlah kata terakhir untuk merepresentasikan pendidikan anak-anak kami. Di mana pun, dengan cara apapun, andai tujuan kita melakukannya murni untuk kebaikan anak-anak kita, pendidikan dengan model apapun hanyalah sebuah alat untuk membuat mereka berkualitas sebagai manusia.
Semoga.
Artikel lain
Rabu, 11 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tentang Saya
Saya, ibu dua anak. Anak-anak saya tidak bersekolah formal. Blog ini berisi pemikiran, hasil belajar, dan beberapa pengalaman.
Jika Anda menggunakan tulisan di blog ini sebagai referensi: (1) HARAP TIDAK ASAL copy paste, (2) Selalu mencantumkan link lengkap tulisan. Dengan begitu Anda telah berperan aktif dalam menjaga dan menghargai hak intelektual seseorang.
Jika Anda menggunakan tulisan di blog ini sebagai referensi: (1) HARAP TIDAK ASAL copy paste, (2) Selalu mencantumkan link lengkap tulisan. Dengan begitu Anda telah berperan aktif dalam menjaga dan menghargai hak intelektual seseorang.
3 komentar:
Pendidikan memang kuncinya. Mencari ilmu untuk menumbuhkan kebaikan dan kemaslahatan baik untuk sang anak maupun sebanyak mungkin orang.
Saya saat ini sedang mencari model pendidikan untuk anak pertama saya. Terima kasih dengan tulisan Mbak Maya saya bisa mendapat input berharga.
artikel yang menarik mas...
saya pikir pendidikan yang hakiki sebaiknya dikembalikan ke rumah. orang tua tetap memgang peranan utama sebagai 'the sole role' dalam mencetak karakter anak. ranah pengetahuan dan keterampilan bisa saja diambil alih oleh sekolah dan lembaga lainya, namun keluarga memberikan fondasi atas semuanya...
You're welcome to visit my new blog (just click the link) http://catatan-guru.blogspot.com Please enjoy...
apapun metode pendidikan dan namanya, orang tua tetap adlah pendidik utama bagi seorang anak. Peran ini tidak bisa ditinggalkan dan diabaikan begitu saja. Salah satunya adalah agama dan etika. Sayangnya karena lemahnya dasar-dasar agama dan etika orang tua maka mereka lebih mempercayakan pendidikan anak-anaknya pada fihak lain.
Posting Komentar