Artikel lain

Kamis, 22 Mei 2008

Mengelola Minat Anak

Setelah mengamati ketertarikan kedua anak saya dalam belajar, saya melihat bahwa Azkia (5 tahun 9 bulan) dan Luqman (3 tahun 10 bulan) memiliki arah minat yang khas. Azkia suka dengan teks, gambar, belajar bahasa asing, menghafal kata-kata, mengerjakan worksheet, dan 'ngoprek' program komputer. Keberaniannya untuk mencoba-coba tools pada program MS. Word, Power Point, dan Corel Draw beberapa kali membuat kami agak kelimpungan. Masalahnya, banyak tools yang jarang kami gunakan justru dia pakai. Kalau sudah bingung, terpaksa deh nanya sama dia untuk mengembalikannya ke format normal.

Sementara itu, Luqman-adiknya, lebih suka membongkar pasang benda-benda. Sepeda barunya yang dibeli 2 bulan yang lalu sekarang sudah tak sama lagi bentuknya: stangnya melengkung, boncengannya terlepas, remnya tinggal satu, dan paling dramatis, sekarang dia hobi melepas dan memasang sendiri roda sepedanya. Papanya cerita, setiap kali pergi ke bengkel sepeda ia sangat antusias mengamati sang montir mengotak-atik sepedanya. Rupanya, itulah yang ia praktekkan di rumah. Kini ia jadi akrab dengan kunci inggris, obeng, tang, dan perkakas lainnya.

Mengamati arah ketertarikan anak-anak membantu kami untuk membuat semacam planning kegiatan untuk keduanya. Azkia yang suka minta diajarin matematika, minta diberi worksheet, belajar bahasa, dan komputer, akan kami tambah bahan, metode, dan porsinya. Luqman yang suka otak-atik rencananya akan diberi kegiatan pertukangan yang real. Membuat berbagai barang dari kayu, seperti bangku-bangku kecil, traktor mainan, dan lain-lain adalah bagian dari rencana kami untuk dia. Sekalian, lewat kegiatan itu kami juga berharap bisa memasukkan pelajaran lain yang sulit menarik perhatiannya jika disajikan secara tutorial dan teks, contohnya adalah matematika saat ia belajar mengukur dan membandingkan benda.

Semakin hari saya makin yakin, tujuan pendidikan seharusnya bukan hanya untuk membuat anak berpengetahuan, tapi bisa membuat mereka berdaya menyelesaikan masalah kehidupan. Karena itu, ajaklah anak-anak belajar dari kehidupan nyata dan membaur dengan kehidupan nyata.

Salam Pendidikan!

Jumat, 02 Mei 2008

Homeschooling dan PKBM

Menarik tapi juga miris. Untuk kedua kalinya saya mendapat telpon dari ibu yang memiliki persoalan dengan sekolah anaknya. Kasus yang pertama, anak (kelas 1 SD) terlalu aktif di kelas sehingga gurunya merasa terganggu atau lebih tepatnya tidak sanggup menanggulangi. Secara halus sang guru menolak anak itu berada di kelas lewat dialog dengan orang tuanya. Mungkin mirip kasus Totto-chan ya.

Kasus kedua, sang anak (kelas 1 SMP)berulang kali mangkir dari sekolah dan berbohong pada orang tuanya. Dia lebih memilih singgah di rumah familinya daripada mengikuti pelajaran. Sang ibu sedih sekali, tapi mau bilang apa.

Meski kasusnya sedikit berbeda, yang jelas orang tua kedua anak ini akhirnya melihat homeschooling (HS) sebagai alternatif. Akan tetapi, hal "menakjubkan" ternyata harus mereka temui lagi di ranah homeschooling. Ketika lembaga pendukung HS mereka datangi, ternyata biaya yang ditawarkan membuat mereka tercengang. Jumlah pertemuan dengan tutor yang hanya 2 kali atau 3 kali seminggu dibayar jauh lebih mahal daripada pertemuan tiap hari di sekolah umum. Ya, mungkin juga bisa dikatakan wajar, karena gurunya dibayar dengan standar privat. Tetapi, bagi keluarga menengah, tetap saja hal itu sangat memberatkan.

Saya akhirnya katakan pada kedua ibu ini agar mereka mencari PKBM untuk mengurus masalah legalitas dan memperoleh draft kurikulum diknas sebagai acuan. Tapi, jelas kegiatan belajar menjadi tanggung jawab orang tua. Untuk mata pelajaran yang memang membutuhkan tutor, mereka bisa mengundang guru privat yang mau dibayar alakadarnya atau patungan dengan anak dari keluarga lain.

Pada kasus seperti ini, berpikir substansialis adalah obat. HS sendiri saat ini masih menggunakan jalur persamaan sebagai salah satu cara untuk mendapat legalitas, di samping juga ijazah formal jika bergabung dengan sekolah yang mau menaungi para homeschooler (umbrella school). Bagi keluarga yang tidak memungkinkan secara finansial untuk bergabung dengan lembaga-lembaga pendukung HS atau bekerja sama dengan "umbrella school", PKBM adalah solusi yang paling mudah dan jauh lebih murah.

Kalau orang tua bisa serius mengelola kecenderungan belajar anak-anaknya, mampu menemukan bakat dan minat mereka, serta memfasilitasi pengembangan bakat dan minat itu dengan tepat, saya yakin hasilnya juga tak akan kalah dengan anak-anak HS yang bayar mahal ke lembaga-lembaga berorientasi profit. Seringkali, prinsip memanfaatkan fasilitas minimal dengan cara maksimal akan lebih berhasil mendongkrak berbagai hambatan dalam hal apapun.

Homeschooling mungkin hanya sebuah pilihan di antara pilihan-pilihan yang ada, namun untuk beberapa kasus (termasuk dua kasus yang saya ceritakan di atas), HS adalah jalan satu-satunya. Hanya saja, kini terjadi degradasi yang besar pada pelaksanaan HS. Sebuah model pendidikan yang harusnya bisa memerdekakan pikiran dan juga meninggalkan jauh bentuk-bentuk eksploitasi materil secara berlebihan, nyatanya berubah menjadi sarana baru pengerukan income. Entahlah, apa mungkin karena ini abad materialisme, sehingga model pendidikan alternatif apapun akhirnya berujung pada eksploitasi materil. Akhirnya saya hanya bisa bilang, selamat datang tantangan!

Senjata Mainan

Fire! Fire! Dor! Dor!
Berulang-ulang suara itu terdengar di halaman depan. Anak tetangga punya mainan baru, sebuah senjata elektrik. Sebentar, anak laki-laki saya nampak terkagum-kagum setiap kali temannya itu mengacung-acungkan senjatanya. Tapi syukur deh, setelah itu dia tak lagi peduli. Ia mengayuh sepeda roda "empat"-nya untuk berlatih.

Saya tidak mengerti mengapa beberapa orang tua mau membelikan mainan senjata seperti itu buat anak-anak balitanya. Bagi saya pribadi, terlalu sedikit hal positif yang bisa dipelajari anak dari mainan semacam itu. Selain tidak membuat anak-anak bergerak, mainan semacam itu juga memberikan pengaruh emosional yang impulsif dan menyerang. Imajinasi anak, saya yakin juga akan melayang pada situasi yang kurang bagus, yaitu peperangan dan penyerangan.

Entahlah, mungkin setiap orang memang memiliki cara pandang masing-masing tentang bagaimana mendidik anak-anaknya. Akan tetapi, saya pikir tak ada salahnya kalau orang tua belajar tentang edukasi sedalam-dalamnya, sehingga beberapa hal yang bersifat prinsipil tak terlewatkan.

Tentang Saya

Saya, ibu dua anak. Anak-anak saya tidak bersekolah formal. Blog ini berisi pemikiran, hasil belajar, dan beberapa pengalaman.

Jika Anda menggunakan tulisan di blog ini sebagai referensi: (1) HARAP TIDAK ASAL copy paste, (2) Selalu mencantumkan link lengkap tulisan. Dengan begitu Anda telah berperan aktif dalam menjaga dan menghargai hak intelektual seseorang.