Artikel lain

Kamis, 31 Januari 2008

Ketika Anak-Anak Berbicara

Berikut ini adalah rekaman beberapa dialog dengan anak saya yang masih berumur 3,5 tahun dalam seminggu terakhir. Percaya atau tidak, sesungguhnya anak-anak ternyata sudah berpikir analitis dan juga kritis.

Cicak Makan Apa?
Malam menjelang tidur, suami saya menangkap nyamuk dengan raket elektrik. "Tar! Tar!" terdengar suara pecahnya isi perut nyamuk yang menyentuh aliran listrik di raket. Setelah beberapa hari raket itu ada di rumah, tak biasanya, anak laki-laki saya mengomentari apa yang dilakukan papanya.

Awalnya dia bernyanyi,
Cicak cicak di dinding
diam-diam merayap
datang seekor nyamuk
hap! lalu di tangkap


Lalu dengan polosnya dia berkata, "Harusnya nyamuk jangan dihilangin pake raket. Kan, nyamuk itu makanan cicak. Kalau nyamuknya dihilangin, cicak makan apa? makan cacing? Kan cacing hidupnya di tanah,"

Terang saja kami tertawa sekaligus terkejut.Kok bisa kepikiran sampai ke sana ya...

Pasirnya Wangi?
Waktu televisi menayangkan pemakaman mantan presiden Soeharto, kami menonton bersama-sama. Saat peti dimasukkan ke liang lahat, lagi-lagi Luqman, anak laki-laki saya bertanya, "Apa yang dimasukkan ke dalam tanah?"

Saya bilang, "Pak Harto?"
"Kenapa dimasukkan ke dalam tanah?" tanyanya lagi.
Saya bilang, "Karena Pak Harto sudah meninggal, sudah mati (untuk memudahkan dia mencerna)"
"Kenapa dia mati?" tanya dia makin penasaran.
"Karena dia sudah tua dan sakit", kata saya.
Sebentar dia berpikir, lalu bertanya lagi, "Kalau sudah tua jadi mati?"
"Iya, karena dia juga sakit" lanjut saya.

Sesaat hening. Saya pikir tak akan ada lagi pertanyaan. Tapi ternyata, ketika liang lahat mulai ditimbun dengan pasir anak saya bertanya lagi, "Kenapa pasirnya dimasukkan ke situ?"
Saya bilang, "Pasir itu untuk menimbun petinya Pak Harto"
Tentu bukan anak kecil kalau dia tak penasaran. Berikutnya dia lanjut bertanya, "Kenapa petinya harus ditutup pasir?"
"Makhluk yang sudah mati itu akan berbau. Coba saja kalau ada tikus yang mati, bau kan? Supaya tidak bau, ya ditimbun dengan tanah atau pasir'.
"Jadi, pasirnya wangi? Iya Mama, pasirnya wangi ya?"

Begitulah, selanjutnya jelas pertanyaan beruntun pun berlanjut hingga tayangan habis. Kenapa kuburan itu dikasih bunga, kenapa orang-orang itu duduk di dekat makam, dan sebagainya.

Memangnya, Air Mandi Itu Mengandung Petir?
Sore itu hujan turun rintik-rintik. Suara petir bersahutan membuat anak-anak sedikit takut. Saya bilang sama anak-anak, sekarang mandinya dilap saja.

Luqman jelas selalu menolak untuk dilap. Dia lebih suka mandi. Tapi saya bilang, "Sekarang kan lagi ada petir, jadi dilap aja ya?!" Setelah itu dia diam, membiarkan bajunya dibuka. Saya pikir semua lancar dengan argumentasi itu. Tapi tanpa terduga, saat tubuhnya sedang dilap dia bertanya, "Jadi, air mandi itu mengandung petir ya Mama?"

Sabtu, 26 Januari 2008

Membuat Anak-anak Merasa Berarti

Pernahkah merasa useless? Mungkin sesekali, beberapa orang merasa tidak berarti dalam hidupnya, dan bukan tak mungkin anak-anak kita yang masih belia pun mengalaminya. Namun lihatlah para pemulung, yang saban hari berkeliling memeriksa bak sampah di depan rumah-rumah kita. Mereka, dengan baju dan karung yang sama kumalnya, tanpa sadar sudah memberikan kontribusi untuk mengurangi sampah di TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Bisa jadi jasa mereka lebih bernilai di mata Allah SWT daripada jasa-jasa besar kita yang mungkin saja dipenuhi riya.

Mengijinkan anak-anak untuk menyapu, melipat baju, membuang sampah, membuang sisa air cuci piring, menyiram tanaman, dan pekerjaan-pekerjaan remeh lainnya, adalah langkah kecil untuk memberinya rasa berarti. Saat mereka besar nanti, saya yakin, pelajaran itu akan membuat mereka bisa mengatasi perasaan useless dengan lebih dinamis. Tak selalu harus menjadi orang terkenal, tak harus selalu menunggu menjadi pemuka masyarakat atau orang yang berharta banyak untuk membuat dirinya berarti. Mereka bisa menemukan arti dirinya lewat hal-hal kecil yang berguna untuk orang lain, termasuk dengan mengepak rapi sampah-sampah kering untuk diberikan kepada para pemulung. Dengan begitu, mereka (pemulung) pun tak perlu mengacak-acak bak sampah kita untuk memilah sampah yang mereka butuhkan. Simbiosis Mutualisme (hubungan yang saling menguntungkan) terjadi dengan konteks yang lebih humanis, bukan?

Kamis, 24 Januari 2008

Seberapa Besar Cinta Kita pada Alam?

Kesulitan beberapa bahan pangan beberapa tahun terakhir ini cukup menimbulkan pertanyaan. Negeri kita begitu luas. Kalau kita lihat di peta, wilayah Indonesia terbentang ke kiri dan ke kanan jauh melampaui Singapura yang kecil di tengah-tengah. Tapi mengapa kita sering mengalami krisis pangan, bahkan amat parah? Dulu, saat saya masih sekolah, Indonesia dikenal dengan negara agraris, tapi buktinya kini, bahan pangan kita ternyata banyak berasal dari impor.

Tampaknya hal itu bukanlah terjadi dengan sendirinya. Keberlimpahan sumber daya alam di negeri kita ternyata menimbulkan dampak lain yaitu kemalasan. Karena keberlimpahan itu pula, muatan pendidikan bagi anak-anak berangsur-angsur meninggalkan akhlak pada alam dan tata nilai spiritual. Mungkin tanpa sadar para pendidik kita berpikir, TIDAK PENTING LAH MENGAJARKAN KECINTAAN PADA ALAM DAN PERNAK-PERNIKNYA. KARENA ALAM KITA BEGITU KAYA, TAK AKAN HABIS DIMAKAN OLEH BERABAD-ABAD GENERASI SEKALIPUN.

Tapi fakta hari ini menunjukkan hal yang berbeda. Kita sudah berada di ambang krisis pangan, karena kita memang sudah kurang peduli dengan alam. Beberapa petani kita bahkan menjadi lebih bangga menukar hijaunya lahan pertanian yang mereka miliki dengan TV plasma, mobil mewah, dan atribut kecanggihan zaman modern lainnya. Tanah-tanah penghasil pangan mereka jual pada para pemilik modal. Beberapa tempat yang dulunya penghasil sayur-sayuran misalnya, kini telah berubah menjadi kawasan rumah peristirahatan dan taman bunga. Bunga menjadi lebih menarik untuk ditanam, karena harganya jauh lebih tinggi daripada sawi atau kol. Sepetak tanah yang ditanami bunga bisa menghasilkan rupiah yang lebih banyak daripada satu hektar tanah yang ditanami kedelai atau wortel.

Dapat kita bayangkan, jika hari ini para petani saja sudah mulai menciut minatnya untuk bertani, bagaimana generasi anak-anak kita di masa yang akan datang. Bahkan sarjana pertanian pun enggan terjun ke lahan-lahan pertanian dan membantu petani menyelesaikan masalah-masalah pertanian, apalah lagi mereka yang bidangnya berjauhan dengan tanah dan tumbuhan.

Saya ingat sewaktu kecil dulu, di sekeliling rumah tumbuh banyak pohon buah-buahan. Untuk memenuhi kebutuhan vitamin C, kami tak butuh suplemen atau buah-buahan impor. Kami makan sirsak, jambu biji, kecapi, rambutan, dan lain-lain. Musim buah-buahan yang bergantian menjamin kami untuk tetap sehat dengan cara yang murah, bahkan tanpa resiko terkena racun dari lilin pelindung buah seperti halnya buah-buahan impor. Pekarangan rumah yang tak begitu luas pun bisa menghasilkan sayur-sayuran berselang-seling. Saya begitu menikmati indahnya menggemburkan tanah, menanam biji kacang panjang, kecipir, dan bayam; membantu membuat pagar bambu yang ditancapkan di tanah bersilang-silang. Saya rasakan kegembiraan saat mengusir ayam yang kadang nakal mematuki benih yang mulai tumbuh. Kebanggaan pun makin terasa ketika tanaman itu tumbuh dan mulai berbunga dan berbuah. Setiap hari kami punya pasokan sayur-sayuran. Dengan membawa bakul dari bambu anak-anak kecil memetik kacang panjang yang bisa satu meter panjangnya. Jika berlebih kami berbagi pada tetangga.

Kini, keadaan semacam itu pun menjadi langka, bahkan juga di pedesaan. Orang desa malah lebih tertarik menjadi kuli di kota, padahal ada tanah yang bisa menghidupi dia di desa. Seringkali saya merindukan suasana di desa dulu. Hijau, udara bersih, dan teduh.

Saya ingin anak-anak saya menikmati keindahan yang saya rasakan dulu. Saya juga ingin agar semua anak mengenal alam dan kemudian mencintainya. Tarikan zaman yang mengajak kita untuk meninggalkan alam kiat kuat. Tak ada yang akan menahannya kecuali kita mendidik anak-anak kita mencintai alam sejak sekarang.

Peliharalah tetumbuhan di halaman rumah dan biarkan anak-anak bersentuhan dengan tanah dan basahnya rerumputan di pagi hari. Kenalkan mereka pada berbagai jenis tumbuhan, entah sayur-sayuran, padi, jagung, kedelai, dan kacang hijau. Tanpa proses pengenalan, bahkan orang dewasa sekarang pun ada yang tak kenal bagaimana rupa pohon jagung atau wortel, dan bahkan rupa kacang kedelai.

Segala puji bagi Allah yang telah memberi begitu banyak ragam bahan pangan dan sumber penghidupan. Berawal dari orang tua, mari kita gugah kembali kecintaan pada alam, sehingga anak-anak kita pun mencintainya dan mau menjaganya.

Salam pendidikan!

Senin, 21 Januari 2008

Kurikulum untuk Anak Usia Dini

Kurikulum untuk anak usia dini, perlukah?

Anak-anak usia dini hidup dalam dunia bermain. Meskipun demikian,tak ada salahnya jika orang tua memiliki rancangan bahan atau materi untuk mengisi hari-hari mereka. Hal yang pasti, kurikulum untuk anak usia dini haruslah sangat fleksibel, sesuai dengan kemampuan dan minat anak.

Kelas-kelas prasekolah seperti Play Group (PG) atau Taman Kanak-Kanak (TK) pasti memiliki kurikulum dan target-target, namun karena tuntutan aturan formal, mau tidak mau guru akan menilai perkembangan anak secara kasar, berdasarkan akumulasi kemampuan yang dikuasai anak selama kurun waktu tertentu. Jelas penilaian itu tidak valid, karena ketika guru memasuki kurikulum mewarnai misalnya, beberapa anak mungkin belum siap dengan fase itu. Mereka mungkin menolak untuk melakukannya atau hanya membubuhkan satu coretan pendek di kertasnya, karena dia memang belum berminat.

Di sinilah peran orang tua sangat dibutuhkan. Tak peduli apakah anak-anak masuk TK ataupun tidak, tugas orang tua-lah untuk memahami anak-anaknya dengan baik, sehingga tahu kapan harus memperkenalkan sebuah keterampilan, kapan harus menundanya, kapan harus memacunya lebih kencang, dan bagaimana membuat anak menjadi tertarik untuk mempelajari sesuatu tanpa harus dipaksa oleh waktu dan penilaian pihak lain.

Pendidikan sungguh jauh melampaui batas-batas nilai kuantitatif seperti diterapkan di sekolah. Pendidikan adalah rangkaian proses belajar untuk menjadi manusia yang terus tumbuh, baik secara fisik, mental, maupun spiritual.

Menyusun kurikulum untuk anak usia dini berarti siap mengikuti irama mereka dan siap untuk melangkah lebih jauh saat mereka berminat untuk tahu lebih banyak. Ketika anak-anak diperkenalkan tentang kuda misalnya, bisa jadi rasa ingin tahu mereka berkembang, ingin tahu tentang makanannya, di mana tidurnya, dan mungkin ingin mencoba menaikinya dan mengoleksi gambar-gambarnya.

Adapun secara terstruktur, ada banyak model kurikulum anak usia dini yang telah dikembangkan di dunia. Kurikulum Montessori adalah salah satu di antaranya. Model ini cocok bagi mereka yang senang dengan keteraturan dan mengharapkan anak-anak juga bersikap teratur dan runut. Sebuah buku berjudul Montessori untuk Prasekolah yang disusun oleh seorang praktisi kurikulum Montessori bernama Elizabeth G. Hainstock dan diterbitkan edisi terjemahannya oleh penerbit Delapratasa Publishing, bisa menjadi pilihan untuk mengetahui lebih detail kegiatan-kegiatan ala Montessori.

Melalui buku tersebut akan kita temukan bahwa model Montessori lebih banyak mempergunakan perabotan rumah tangga sebagai media dan mempergunakan kegiatan rutin sehari-hari di rumah sebagai aktivitas belajar.

Temuan tentang multi kecerdasan oleh Howard Gardner juga bisa menginspirasi kita untuk menyusun kurikulum. Delapan bahkan sembilan jenis kecerdasan versi Gardner, yaitu: kecerdasan bahasa, logika-matematika, visual-spasial, fisik, interpersonal, intrapersonal, musikal, natural, dan spiritual bisa dijadikan acuan untuk memilih ragam kegiatan belajar-bermain di rumah.

Buku yang ditulis Thomas Amstrong berjudul Sekolah Para Juara mencoba menjabarkan konsep multi kecerdasan tersebut dalam konteks sekolah formal untuk anak-anak yang lebih besar. Namun bukan tidak mungkin hal itu bisa menginspirasi para orang tua yang memiliki anak usia dini untuk menerapkan jalan pikiran Amstrong ke dalam konteks belajar anak usia dini di rumah.

Kurikulum berdasarkan Perkembangan Anak
Perkembangan anak secara umum ternyata bisa diukur dengan beberapa ukuran berikut: perkembangan fisik motorik, perkembangan kognitif, perkembangan moral & sosial, emosional, dan komunikasi (Slamet Suyanto, Dasar-dasar Pendidikan Anak Usia Dini:192. Penerbit: Hikayat Publishing. Yogyakarta)

Kita bisa menciptakan kurikulum dengan mengacu pada teori tersebut. Berikut gambaran kasar kurikulum yang mungkin diterapkan:

Perkembangan fisik motorik
- Motorik Kasar: Berlari, memanjat, menendang bola, menangkap
bola, bermain lompat tali, berjalan pada titian keseimbangan, dll.

- Motorik Halus: Mewarnai pola, makan dengan sendok, mengancingkan baju, menarik resluiting, menggunting pola,menyisir rambut, mengikat tali sepatu, menjahit dengan alat jahit tiruan, dll.

- Organ Sensoris:Membedakan berbagai macam rasa, mengenali berbagai macam bau, mengenali berbagai macam warna benda, mengenali berbagai benda dari ciri-ciri fisiknya, mampu membedakan berbagai macam bentuk, dll.

Perkembangan Kognitif

Misalnya: mengenal nama-nama warna,mengenal nama bagian-bagian tubuh, mengenal nama anggota keluarga,mampu membandingkan dua objek atau lebih, menghitung, menata, mengurutkan; mengetahui nama-nama hari dan bulan; mengetahui perbedaan waktu pagi, siang, atau malam; mengetahui perbedaan kecepatan (lambat dan cepat); mengetahui perbedaan tinggi dan rendah, besar dan kecil, panjang dan pendek; mengenal nama-nama huruf alfabet atau membaca kata; memahami kuantitas benda, dll.

Perkembangan Moral dan sosial
Misalnya: Mengetahui sopan santun, mengetahui aturan-aturan dalam keluarga atau sekolah jika ia bersekolah, mampu bermain dan berkomunikasi bersama teman-teman, mampu bergantian atau antre, dll.

Perkembangan Emosional
Misalnya: Menunjukkan rasa sayang pada teman, orang tua, dan saudaranya; menunjukkan rasa empati; mengetahui simbol-simbol emosi: sedih, gembira, atau marah dan mampu mengontrol emosinya sesuai kondisi yang tepat.

Perkembangan Komunikasi (Berbahasa)

Misalnya: Mampu mengungkapkan keinginannya dengan kata-kata,mampu melafalkan kata-kata dengan jelas (bisa dimengerti oleh orang lain).

Begitu beragam model kurikulum yang ada. Mau pilih yang mana? Mengumpulkan sebanyak mungkin sumber dan memilahnya sesuai kekhasan keluarga masing-masing adalah cara paling baik agar kita memiliki bahan yang lebih kaya untuk anak-anak kita.

Salam Pendidikan!

Minggu, 20 Januari 2008

Homeschooling dan Kesiapan Orang Tua

Tulisan ini saya dedikasikan untuk para peminat homeschooling.

Homeschooling kini bukan lagi sebuah wacana. Sudah banyak orang yang mencobanya. Namun sejauh ini, persoalan tentang legalitas masih saja menjadi bahan pembicaraan dan bahkan polemik. Pemerintah sendiri nampaknya memiliki paradigma sendiri tentang kehadiran homeschooling. Memperkaya model pendidikan, tentu iya, namun di sisi lain, ketika homeschooling sudah tersosialisasikan wacananya kepada masyarakat, tata kelengkapan teknisnya juga perlu disiapkan. Satu hal yang sangat penting untuk ditindaklanjuti, adalah kesiapan orang tua.

Homeschooling dalam persepsi saya, bukanlah perkara yang mudah. Kendati dalam gambaran kasar sepertinya begitu menyenangkan dan fleksibel, tapi karena kefleksibelan itu pula orang tua harus memiliki wawasan yang kaya dalam melayani kebutuhan belajar anak-anak. Orang tua membutuhkan panduan untuk membimbing anak-anak, meski tidak selalu harus menjadi guru dalam pengertian guru yang berdiri di depan kelas. Tidak semua orang tua siap dengan kondisi fleksibel dan serba harus menyiapkannya sendiri. Hal itu pula nampaknya yang memicu munculnya "sekolah-sekolah" homeschooling. Dengan menyadari bahwa tidak semua peminat homeschooling adalah orang-orang yang siap dari sisi mental dan juga skill, banyak lembaga-lembaga berlabelkan homeschooling berdiri di tengah-tengah kita.

Homeschooling bagi saya adalah pendidikan alternatif yang berbasis rumah. Namun faktanya, makna homeschooling kini menjadi bias. Menjamurnya "sekolah" berlabel homeschooling di beberapa tempat, khususnya Jakarta dan Bandung, membuat homeschooling memang hanya sebuah istilah yang tak bisa dicerna dari akar kata. Sama halnya ketika kita menamai sebuah tempat dengan sebutan cipanas tapi udara dan air di tempat itu ternyata dingin.

Setelah melewati berbagai pengkajian pribadi, saya bisa katakan bahwa homeschooling membutuhkan pertanggungjawaban. Jangan sampai wacana homeschooling hanya menjadi pemicu untuk merebaknya gerakan anti sekolah yang didasari oleh kemalasan. Karena bukan tidak mungkin, peminat homeschooling yang tidak siap secara mental dan skill, mereka tak hanya meninggalkan sekolah tapi juga meninggalkan belajar.

Homeschooling itu memang asyik, tapi tetap ada resikonya. Perhitungkan dengan matang untuk memilih homeschooling, sampai kita yakin betul bahwa pilihan itu memang paling tepat dan sesuai dengan kondisi dan kesiapan kita serta anak-anak. Seorang peminat homeschooling yang benar-benar serius, menurut saya bahkan harus memperhitungkan untuk siap dengan kondisi paling buruk, misalnya tanpa ijazah. Itu memang pilihan radikal, tapi ketika tujuan pendidikan pribadi sudah ditetapkan, hal itu bukanlah persoalan besar.

Keberadaan ijazah pada mulanya, bisa jadi memiliki tujuan filosofis yang lebih tinggi dari sekedar tanda lulus. Ijazah adalah simbol dari keseriusan belajar anak sekolah dalam masa pendidikannya. Kalau kemudian terjadi degradasi nilai pada ijazah, itulah anomali dari sebuah konsep. Kita pun akan menemukan hal itu di bidang apapun di luar bidang pendidikan.

Meskipun banyak persoalan terjadi di dunia pendidikan, untuk menyelesaikannya tidaklah bisa dengan cara-cara impulsif, saling curiga, dan menghakimi. Kalau homeschooling itu bisa menjadi salah satu pilihan di antara banyak pilihan yang ada, cari tahu dan pahami lebih dulu dengan sedalam-dalamnya. Mengalirlah seperti air, temukan hal-hal baru, dan teruslah belajar. Karena hanya dengan belajar kita bisa menemukan kearifan dari setiap pengetahuan dan pendapat yang hidup di sekeliling kita.

Sabtu, 19 Januari 2008

Dibalik Naiknya Harga Kedelai

Satu bulan terakhir saya tak membeli beras, karena di rumah masih ada persediaan. Alangkah kagetnya hari ini, saat saya membeli beras lagi, ternyata harganya sudah jauh melambung. Berita di koran lokal - Bandung, topik pembicaraan lebih terarah pada naiknya harga kedelai. Masyarakat yang diwawancarai pun adalah pembuat tahu-tempe dan tukang gorengan. Saya tak mengira bahwa kenaikan harga justru juga melanda beras, yang jelas lebih signifikan pengaruhnya terhadap masyarakat. Apakah kenaikan harga kedelai adalah pengalihan isu?

Entah kenapa, sepulang dari warung hati saya seperti dilecut oleh sesuatu yang amat keras. Ya Tuhan, bagaimana dengan para tukang becak dan orang-orang lain yang penghasilannya pas-pasan? Belum lagi biaya sekolah, biaya berobat, biaya ini dan itu pun ternyata tidaklah murah.Banyak di antara kita memiliki penghasilan cukup, tapi menghamburkannya untuk sesuatu yang kurang perlu. Banyak di antara kita yang memiliki perbendaharaan ilmu, tapi menahannya kecuali dibayar dengan harga tinggi.

Setiap hari, di banyak tempat, kita selalu disuguhi macam-macam hal yang mengenaskan. Tukang gorengan mati karena stress dengan naiknya harga minyak dan kedelai, seorang anak bunuh diri karena nggak bisa bayar SPP, anak jalanan ditemukan terpotong-potong tanpa makna, pedagang kaki lima histeris karena dagangannya digusur, diobrak-abrik Satpol PP. Andai kita menganggap setiap tempat dan waktu adalah lahan untuk memberikan cinta, mungkin kita akan lebih banyak bersedekah dan membantu biaya pendidikan orang-orang papa daripada berwisata atau berkali-kali haji dan umrah; kita akan lebih menahan diri untuk berbelanja hal-hal yang mubazir; kita akan lebih banyak berbagi ilmu daripada berhitung untung-rugi; kita akan menanggalkan ego-ego kita ketimbang memuaskannya.

Ya, Allah. Saya benar-benar diingatkan dengan naiknya harga beras dan kedelai. Semua harus dimulai dari diri sendiri. Semoga hari ini adalah awal yang baik untuk saya dan keluarga berbenah diri.

Selasa, 15 Januari 2008

Membuat Lingkaran Peran

Hari Senin kemarin, saya melihat pemandangan yang sedikit menyentuh. Dari angkot yang saya tumpangi, sekilas saya lihat seorang ibu berjalan agak terseok-seok. Sambil menggendong bayi ia diikuti dua anaknya yang lain, yang sudah berseragam SD. Kelihatannya ibu muda itu baru saja menjemput dua anaknya dari sekolah. Saya salut melihatnya. Terlintas dalam pikiran saya, bukan tak mungkin, dibalik wajahnya yang nampak berseri karena make up, sebenarnya si ibu menyimpan kelelahan yang lumayan hebat.

Mengurus bayi adalah pekerjaan yang sudah terbayang seluk-beluknya. Butuh emosi yang sehat, badan yang sehat, dan juga keuangan yang cukup. Belum lagi jika tak punya pembantu, otomatis pekerjaan rumah juga siap menyita waktu. Anak-anak yang sudah sekolah pasti pula harus diperhatikan, entah baju seragamnya, entah pe er-nya, atau juga pertengkaran kecil dengan saudaranya yang lain. Betapa hebat para ibu yang bisa memerankan banyak fungsi sekaligus dengan sabar. Saya sendiri masih harus banyak belajar untuk itu.

Setelah dipikir-pikir, diinginkan ataupun tidak, seorang ibu memang harus punya manajemen waktu yang baik. Ada lingkaran peran yang semuanya harus dimainkan. Menjaga untuk tetap ikhlas menjalankan setiap peran adalah perjuangan yang tak akan pernah ada habisnya. Seorang ibu juga adalah seorang anak dari ibunya, seorang istri dari suaminya, seorang kakak dari adiknya, seorang sahabat dari teman-temannya, seorang karyawan dari bosnya, dan lain sebagainya. Berbahagialah para wanita yang bisa menjalankan semua perannya dengan baik, mampu mengelola waktunya dengan tepat, dan mampu menjaga keikhlasannya sehingga apapun yang dikerjakannya membuat ia tetap bahagia.

Nampaknya mulai hari ini, saya pun harus mulai menggambar lingkaran peran pada secarik kertas, mendefinisikan peran saya dengan jelas, sehingga saya tak terjebak menjadi berlebihan dalam satu peran dan mengabaikan peran lainnya.

Sebuah refleksi.

Selasa, 08 Januari 2008

Menularkan Keberanian pada Anak

Idul Adha bulan Desember 2007 lalu adalah momentum bersejarah buat saya. Untuk pertama kalinya saya berani membawa kedua anak saya berboncengan naik sepeda. Dua hari sebelumnya saya baru berani bawa si kecil Luqman (3 tahun). Itu pun diawali dengan perasaan ngeri. Bahkan saya tak mau membayangkannya.

Karena kasihan melihat mereka, yang beberapa hari di minggu itu tak bersentuhan dengan hal-hal menarik, sedikit keberanian mengalahkan sejuta ketakutan. Dengan basmalah, saya mengumpulkan energi untuk melakukan hal baru. Hebatnya, anak-anak justru begitu percaya pada saya yang sebenarnya sangat ragu bisa menjalankan sepeda dengan mulus.

Awalnya sedikit terseok-seok, tapi dengan tatapan lurus ke depan dan berpikir hanya selamat, akhirnya sepeda melaju dengan aman. Anak-anak tertawa gembira, apalagi saat sepeda melaju lebih kencang. Sebuah pengalaman yang luar biasa buat mereka. Celoteh mereka tak henti-henti selama dalam perjalanan. Mereka tak tahu, kalau saya justru sedang berjuang melawan rasa was-was.

Setibanya kembali ke rumah, hati rasanya begitu lapang. Suami saya bahkan mungkin tak tahu suasana batin saya saat itu, kecuali ia membaca tulisan ini. Pengalaman hari itu memang menjadi awal keberanian untuk hari-hari berikutnya.

Satu kesimpulan yang terpikir kemudian adalah, bahwa dalam banyak hal, kita orang tua pasti akan dihadapkan pada situasi-situasi semisal itu dalam menempuh kehidupan. Jika kita memberikan aura keberanian dan optimisme dalam menghadapi apapun, sikap mental itu akan menular pada anak-anak kita. Sebuah modal berharga bagi mereka untuk survive, kelak setelah dewasa.

Sabtu, 05 Januari 2008

Bersahabat dengan Cita-Cita

Semalam, hampir 4,5 jam sejak pukul 20.00 saya 'melahap' Edensor-nya Andrea Hirata. Entah, mungkin karena sudah diniatkan membaca, mata tak mau terpejam sebelum buku itu habis. Dua kali listrik padam, tapi kemudian menyala lagi. Saya masih belum mengantuk. Pada bagian tertentu yang sangat kocak, saya terkekeh-kekeh menahan tawa. Saya lihat kedua anak saya dan bapaknya tidur terlelap. Tentu saja, karena waktu itu sudah jam 12 malam. Takut membuat mereka terbangun, saya pindah ke ruang tamu, sekalian menyempatkan diri sebentar untuk shalat sunnah.

Berjuta persepsi menjuntai membentuk replika kehidupan. Bukan lagi replika atau mozaik kehidupan Ikal dan Arai yang tercitrakan di pikiran. Mozaik hidup saya-lah yang seolah bergantian menampakkan diri. Kalimat inspiratif yang menggugah hati saya terletak di bagian awal buku, "Hidup dan nasib, bisa tampak berantakan, misterius, fantastis, dan sporadis, namun setiap elemennya adalah subsistem keteraturan dari sebuah desain holistik yang sempurna. Menerima kehidupan berarti menerima kenyataan bahwa tak ada hal sekecil apapun yang terjadi karena kebetulan. Inilah fakta penciptaan yang tak terbantahkan-Diinterpretasikan dari pemikiran agung Harun Yahya-" (Andrea Hirata).

Tak pernah ada yang remeh, tak pernah ada yang sia-sia. Betapapun mungkin nasib kita tak sebaik orang lain, atau betapapun paras wajah kita tak semolek selebritis, atau tinggi badan kita tak semampai layaknya para model, kita adalah makhluk-Nya yang amat berharga. Bukan pandangan orang lain yang menentukan siapa kita, tapi kita-lah yang membentuk citra diri kita sendiri. Kenali diri sendiri dan galilah kemampuan tak terhingga yang dihadiahkan Allah untuk kita, maka kita akan temukan, bahwa segala sesuatu itu selalu mungkin ketika kita memang meyakininya.

Pesan yang saya tangkap dari perjalanan Ikal dan Arai di Eropa hingga Afrika adalah, Milikilah cita-cita walaupun mungkin begitu musykil kelihatannya. Suatu saat, cita-cita itu akan menjelma menjadi nyata tanpa kita menyadarinya. Itu adalah kejutan indah yang dihadiahkan Allah atas keyakinan kita.

Bertahun-tahun saya pernah dilanda perasaan imperior yang parah. Tak ada yang bisa meyakinkan saya tentang potensi yang saya miliki, karena saya terjerembab dalam perasaan rendah diri yang luar biasa berat. Namun, ternyata saya masih menyisakan cita-cita kecil di dalam hati yang mungkin sangat kuatnya, sehingga ia tak padam oleh dinginnya semangat. Sisa impian itulah yang nampaknya menggiring saya menuju potongan (mozaik) kehidupan yang saya cita-citakan. Tak masuk akal, tapi hal itu memang benar-benar terjadi. Saya dipertemukan dengan seorang suami yang baik, yang memahami saya apa adanya, dan menyulut semangat saya tanpa bosan. Prosesnya berliku, tapi waktu seolah memandu saya untuk terus memilih, menuju harapan yang lambat-lambat terus mengalun tak ubahnya semilir angin yang setiap hari berhembus menyapu wajah-wajah kita.

Sudah bisa ditebak, sejak mulai tertidur pukul 01.30, tidur saya diramaikan suasana hiruk-pikuk Ikal, Arai, dan teman-temannya yang tak jelas. Beruntung saya masih bisa mendapatkan subuh, meski mata terasa perih. Bersahabatlah dengan cita-cita, bertemanlah dengan impian-impian baik, alam pasti memberi ruang, dan memberi kita semesta sumber daya untuk mewujudkannya.

Ya Rabb, begitu melimpah 'ayat-ayat'-Mu, terbentang tak terbatas, bahkan melintasi ruang dan waktu. Berikan aku kearifan tuk bisa melihat dan memahami-Nya.

Rabu, 02 Januari 2008

Tahun Baru dan Fotografi

Hari pertama tahun baru saya terpaksa keluar rumah tanpa suami dan anak-anak. Langit yang mendung sejak pagi tak menyurutkan niat saya untuk melakukan pemotretan. Ya, saya memang butuh foto beberapa tanaman untuk keperluan pekerjaan. Kamera digital 6.0 mega pixel yang dipinjam dari seorang teman kemarin sore saya kalungkan di leher. Wah, benar-benar seperti fotografer amatiran.

Berbekal referensi teman, saya ditemani adik, pergi ke kawasan Wisata Bunga Cihideung-Lembang. Hujan sesekali turun rintik-rintik, tapi sesaat kemudian kembali deras. Mobil-mobil pribadi mendominasi jalanan menuju Cihideung. Padat sekali. Memang situasi ini biasa terjadi setiap liburan tahun baru tiba. Angkot yang berbaris menunggu penumpang, sedikit membuat ciut. Harus menunggunya penuh untuk bisa segera jalan. Sementara calon penumpang nampaknya tidak terlalu banyak. Tak ada yang bisa dilakukan, kecuali menunggu.

Setelah kurang lebih 30 menit termangu, angkot yang saya tumpangi penuh juga. Satu demi satu pemandangan yang menakjubkan singgah di mata. Kabut tipis lambat laun pergi diganti semburat matahari yang berhasil lolos dari halangan awan hitam. Ada harapan...

Kami turun di perkampungan penduduk. Meski tak ada satu pun yang saya kenal di kampung itu, tapi saya tak begitu cemas. Walau bagaimanapun orang Bandung itu memang ramah. Cukup bertanya, mereka pasti mau menunjukkan arah, apalagi memakai bahasa daerah.

Memang tak semua tanaman yang saya butuhkan ada di perkampungan itu. Kami memutuskan berjalan menuju ke arah pulang, berharap menemukan sisanya di perjalanan. Bunga-bunga beraneka warna memanjakan mata yang bosan dengan polusi perkotaan. Udara sangat sejuk. Kami melewati banyak penjual tanaman hias dan juga buah-buahan. Beberapa tanaman yang menarik perhatian, saya ambil juga fotonya. Tentu saja saya minta ijin pemiliknya sebelum itu. Wah, mereka begitu ramah. Sikap mereka sesejuk air hujan yang malu-malu membasahi areal wisata itu.

Tak terasa, jauh juga kami berjalan. Tapi, keindahan tempat-tempat di sepanjang jalan membuat kami tak lagi merasakan lelah. Jagung bakar panas menemani istirahat kami di sebuah trotoar. Perjalanan pun berlanjut. Pejalan kaki seperti kami harus bersaing dengan berbaris-baris kendaraan yang memadati jalan. Jalanan di sana memang sempit. Kalau tak hati-hati, kami bisa terserempet mobil-mobil mewah itu.

Setelah kurang lebih 4 atau 5 kilo kami berjalan, ada angkot kosong yang berhenti. Kami selamat dari guyuran hujan deras yang turun setelah itu. Pengalaman yang indah di tahun baru.

Setiba kami di rumah, saya memasukkan hasil foto ke komputer. Saat itulah saya benar-benar dibuat takjub untuk yang ke sekian kalinya. Subhanallah! Tekstur buah, daun, dan bunga yang berhasil diambil begitu jelas. Luar biasa indahnya ciptaan-Mu Ya Robb. Sepertinya, saya jadi cinta fotografi setelah ini.

Saat Tahun Lama Pergi

Tak biasanya, malam pergantian tahun membuat saya menangis. Di tengah bisingnya suara petasan dan kembang api di luar rumah, tetesan hujan yang jatuh bersahutan seolah menyuarakan kesedihan yang saya rasakan. Ada sesuatu yang hilang bersamaan dengan datangnya tahun baru, dan tersisa pesan yang tak terungkapkan untuk saya, "Lanjutkan hidupmu! Selesaikan tugas-tugasmu!"

Berulang kali saya membangun semangat hidup yang kadang-kadang meredup. Bahkan setiap kali bangun dari tidur, hal pertama yang selalu harus saya bangunkan adalah semangat. Saya tahu, tanpa semangat, apa pun tak lagi berarti apa-apa. Saat malam semakin larut, saat kantuk tak juga datang, saya bersujud dalam tumpahan air mata yang tak mau berhenti mengalir.

Melihat anak-anak yang tertidur pulas menambah keharuan. Saya, seorang ibu yang masih begitu banyak melakukan kesalahan dan kaya dengan kekurangan. Hanya dengan Kasih Sayang Yang Maha Penyayang saya masih berdiri, dipercaya untuk menjaga titipan-Nya yang begitu berharga.

Saya percaya, hidup yang telah diberikan-Nya pada kita berisi tugas-tugas penting. Namun seringkali kita tak bisa melihat dengan jelas tugas-tugas itu. Kita terlalu disibukkan dengan rutinitas dan terkesima dengan kejadian-kejadian tak terduga yang menimpa kita.

Meski tersisa sedih, hidup harus berlanjut, dan tugas-tugas harus diselesaikan. Setiap orang mungkin punya tugas yang berbeda. Mari temukan tugas kita, dan berusaha untuk menyelesaikannya.

Tentang Saya

Saya, ibu dua anak. Anak-anak saya tidak bersekolah formal. Blog ini berisi pemikiran, hasil belajar, dan beberapa pengalaman.

Jika Anda menggunakan tulisan di blog ini sebagai referensi: (1) HARAP TIDAK ASAL copy paste, (2) Selalu mencantumkan link lengkap tulisan. Dengan begitu Anda telah berperan aktif dalam menjaga dan menghargai hak intelektual seseorang.