Artikel lain

Kamis, 27 September 2007

Homeschooling: Pendidikan Berbasis Keluarga

Siapapun yang tertarik dengan tema-tema seputar homeschooling (HS), informasi ini mungkin cukup bermanfaat.

HS sudah mulai hangat dan bahkan kini agak "panas" dibicarakan di ruang publik. Selain karena terbitnya buku-buku HS karya penulis lokal yang promonya cukup gencar, atau mungkin juga karena HS ternyata sudah mampu menarik perhatian dan menyulut respon subjektif anggota dewan dan pakar pendidikan.

HS memang unik, tapi bukan berarti aneh. Pendidikan anak yang dipayungi oleh institusi keluarga adalah fondasi pendidikan yang paling sempurna. Kemunculan istilah HS yang berasal dari barat hanyalah sebuah istilah yang memudahkan penyebutan. Namun pada faktanya, pendidikan keluarga yang dimotori oleh orang tua sudah hidup berabad-abad lamanya, bahkan mungkin sejak zaman Nabi Adam a.s.

Kita tentu belum lupa bahwa para Nabi adalah para pendidik utama anak-anaknya dan memiliki pendidik yang terbaik semasa kecilnya. Tanggung jawab pendidikan itu mereka aktualisasikan lewat fase-fase kehidupan bersama anak-anak yang alami namun penuh dengan visi.

Nabi Ibrahim a.s mendidik langsung putranya Ismail dengan ajaran Allah lewat peristiwa-peristiwa nyata kehidupan. Bahkan sejak awal Ismail sudah dilibatkan dalam pendirian Baitullah ('Rumah' Allah)di Makkah dan dilatih sikap pengorbanannya lewat peristiwa penyembelihan. Semua itu memang bukanlah kebetulan, melainkan gabungan antara ketaatan dan usaha seorang manusia dan bimbingan Sang Khalik.

Begitu pula dengan Nabi Musa a.s, Nabi Isa a.s, beliau semua tumbuh terdidik dengan hadirnya orang-orang yang sangat peduli dengan pendidikan mereka. Nabi Musa a.s memiliki Aisiyah dan Bunda kandungnya sebagai pengasuh dan juga pengarah, meski beliau hidup dalam lingkungan Firaun yang zhalim. Adapun Nabi Isa a.s memiliki Maryam sebagai pengasuh dan pendidik yang disucikan Allah.

Demikian halnya dengan Nabi Muhammad saw terhadap putrinya Fathimah Az Zahra dan sepupunya Ali bin Abi Thalib, pendidikan untuk mereka telah dilakukan sejak kecil dengan tempaan-tempaan hidup yang keras, yang akhirnya mengokohkan iman serta akhlak dan pribadi mereka. Hal itulah yang akhirnya menjadi harta berharga yang mampu memelihara kualitas keturunan Nabi setelah Nabi tiada.

Bagaimana dengan kita? Anak-anak pada zaman ini sesungguhnya tengah dikelilingi oleh srigala-srigala lapar yang sedang mengumpulkan teman. Kapitalisme menjelma dalam berbagai wujud, termasuk dalam dunia pendidikan. Kini, anak-anak lebih membutuhkan fondasi pendidikan dari keluarganya jauh lebih besar daripada anak-anak zaman dulu. Karena tanpa fondasi yang kuat, mereka akan lebih mudah terbawa arus.

Mencermati gaya hidup anak-anak dan remaja saat ini, terasa hati miris dan juga khawatir. Media yang menjajakan produk dan nilai-nilai liberalisme moral bertebaran di mana-mana hingga ruang untuk mengingatkan manusia akan tujuan hidup dan hakikat kematian nyaris tak tersisa. Dan ironisnya, media-media itu justru dilegalkan oleh pemerintah.

Beberapa pihak sering menafikan bahwa media tidaklah berpengaruh besar terhadap perilaku anak-anak. Namun benarkah demikian? Fakta di lapangan justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Media ternyata telah menjadi rujukan anak-anak untuk menciptakan citra atas dirinya. Pakaian mereka, cara mereka berbicara, cara mereka bergaul, cara mereka belajar, dan cara mereka bersikap, nyaris semuanya adalah hasil copy-paste dari idola mereka yang dipublikasikan besar-besaran oleh media.

Lalu, siapa yang bisa bertanggung jawab jika sebagian besar anak dan remaja tumbuh tanpa jati diri dan akhlak yang terpuji. Saya pikir, media ataupun para idola itu tak akan mau bertanggung jawab atau bahkan tak pernah merasa bersalah. Ya, tentu saja tidak ada lagi yang bisa mengemban tanggung jawab besar terhadap pendidikan anak-anaknya kecuali ORANG TUA.

Pesan Al Quran surat At Tahrim (66) ayat 6 berbunyi, “Hai, orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakunya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

Sehubungan dengan HS, sesungguhnya ada misi yang indah yang tersimpul dari homeschooling, home-education, home-learning, atau apapun namanya, yaitu mengembalikan basis pendidikan anak-anak yang selama beberapa waktu terakhir secara tidak sadar bertumpu pada lingkungan dan sekolah formal, kembali kepada keluarga.

Jangan simpulkan HS sebagai rival sekolah formal, karena spirit HS sesungguhnya telah hidup jauh sebelum sekolah formal ada. Kalau saja kata “sekolah” agak mengganggu persepsi kita yang sudah terlanjur melekat pada sekolah formal, maka saya lebih suka menyebutnya pendidikan rumah. Sebuah frasa yang menaungi wilayah yang lebih luas dari sekedar kegiatan belajar-mengajar atau tutorial.

Saya percaya, bahwa sekolah formal saja tak akan sanggup memberikan kebutuhan pendidikan anak-anak kita tanpa pendidikan yang komprehensif di dalam keluarga. Satu hal yang paling penting dalam hal ini adalah akhlak. Sekolah formal mungkin bisa melakukan transfer pengetahuan pada anak-anak, namun belum tentu mampu menghembuskan nilai-nilai moral dari setiap pengetahuan.

Misalnya saja ilmu tentang jenis-jenis kebutuhan dalam ilmu sosial: kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Apa yang diketahui anak-anak tentang hal itu selain hapalan tentang contoh-contohnya? Saya kira hanya guru yang memiliki visi yang mampu mengaitkan pengetahuan itu dengan konteks moral, misalnya bagaimana kebutuhan sekunder dan tersier seperti pakaian mewah atau mobil mewah bisa dikesampingkan jika kita masih melihat orang-orang yang kelaparan dan tak punya pakaian layak masih terlihat di sekitar kita.

Akhlak adalah produk pengetahuan. Pengetahuan yang baik dan ditransfer dengan cara serta visi yang baik lebih mungkin menghasilkan anak-anak yang berakhlak baik. Adapun pengetahuan yang baik, namun disampaikan dengan cara dan semangat yang kering dari para pengajarnya, hanya akan menjadi sebuah hapalan yang mungkin segera terlupakan setelah materi itu selesai diujikan dalam test.

Kita tentu tak bisa menuntut banyak dari guru dan sekolah formal untuk melakukan prombakan pembelajaran. Oleh karena itu, orang tualah ujung tombak dalam menancapkan nilai-nilai transenden sebuah pengetahuan yang tak terbilang banyaknya ini.

Mari kita usahakan, “Make a good family for the best country”.

Salam Pendidikan!

Senin, 24 September 2007

Berkunjung ke Perpustakaan


Hari Senin, 24 September 2007 adalah pengalaman pertama buat Azkia dan Luqman pergi ke perpustakaan umum. Selama ini kami lebih sering ke toko buku untuk berburu bacaan-bacaan baru.

Jarak perpustakaan daerah tidak terlalu jauh dari rumah. Hanya kurang lebih 20 menit, kami sudah tiba di sana. Setelah mengamati sekeliling kami naik ke lantai dua, karena di sanalah ruangan untuk buku-buku anak. Seorang petugas memberitahu kami tentang hal tersebut, ketika kami terlihat mencari-cari.

Waah, sekarang ruangan anak tampak lebih nyaman. Dengan beralaskan karpet, kami bisa membaca sambil duduk lesehan. Beberapa bantal besar juga terlihat ada di tengah ruangan, tak ketinggalan juga boneka-boneka berjejer di atas rak buku.


Koleksi bukunya sekarang lumayan bertambah, tapi masih tetap kurang untuk perpustakaan sebesar itu. Kebanyakan buku yang ada sudah berusia lanjut. Terlihat lapuk dan memang hasil terbitan lama. Hanya beberapa ensiklopedi yang terlihat masih bagus, tapi sayangnya tak bisa dipinjam ke rumah.

Si kecil Luqman memilih beberapa buku lalu duduk bersama papanya minta dibacakan. Tapi baru 15 menit berlalu, dia sudah mulai bosan. “Mama, pulang yuk! Adek pengen makan nasi…” Jadilah ia diajak dulu jalan-jalan keluar untuk beli makanan.


Sementara azkia terlihat masih penasaran dengan beberapa rak yang belum dilihat-lihat. Sampai akhirnya dia menemukan satu rak berisi buku bilingual. Ia memang sedang suka baca buku bilingual. Keinginannya untuk belajar bahasa Inggris sangat besar.

Akhir-akhir ini, tanpa sadar ia sudah membaca lebih dari 10 buku bilingual, dan selalu tertarik membaca teks-teks bahasa Inggris yang ia lihat di majalah ataupun di brosur-brosur produk.

Awalnya kami hanya membacakannya sekali untuk setiap kalimat, lalu dia menirunya. Setelah makin banyak kata-kata yang dia tahu cara mengucapkannya, kini hanya kata-kata yang dianggap baru yang kami koreksi pengucapannya.

Setelah menghabiskan kurang lebih 4 buku, Azkia siap pulang karena Luqman sudah datang. Itulah pengalaman pertama ke perpustakaan dan mereka cukup menikmatinya.

Kamis, 20 September 2007

Saat Kami Mulai Homeschooling Terstruktur


Inilah mungkin momentum yang paling dinanti. Setelah kurang lebih 4 tahun lalu saya memutuskan untuk menjalankan homeschooling (HS) bagi anak-anak, tanggal 19 September 2007 saya beritikad untuk menjalankan HS secara lebih terstruktur.

Hal tersebut dipicu oleh semakin nyatanya sinyal-sinyal kesiapan anak pertama saya Azkia (5 tahun) untuk diajari secara sengaja. Kalau saya tidak segera tanggapi, bisa-bisa spirit belajarnya menguap sebelum menjadi energi yang memberdayakan.

Tanggal 20 September hari Kamis 2007, Sejak pagi saya mulai menyiapkan beragam lembar kerja dari berbagai sumber, termasuk dari internet dan ensiklopedi yang ada di rumah. Wow! ternyata asyik juga menjadi guru. Sumber-sumber dari internet yang sebagian besar berbahasa Inggris sedikit menjadi kendala, namun juga memicu semangat untuk menggali lagi sisa-sisa kemampuan berbahasa yang cukup lama tak pernah dipergunakan.

Beberapa website yang menyediakan free worksheet untuk sains dan matematika seperti www.HomeEducationResources.com dan www.funteaching.com cukup membantu saya dalam penyediaan bahan-bahan awal.

Satu hal yang menambah semangat adalah antusiasme anak-anak yang saya beritahu tentang akan dimulainya kegiatan sekolah di rumah. Mereka ikut sibuk dan menunggu-nunggu apa yang terjadi.

Beberapa poster baru tentang herbivora animal, tanaman obat, peralatan dapur, dan rambu-rambu lalu lintas saya pasang di dinding untuk memicu gagasan dan rasa penasaran mereka. Ruang belajar yang selama ini ditata seadanya dibuat lebih kondusif dan memancing semangat.Buku-buku yang awalnya sering berserakan setelah dibaca, kini punya tempatnya sendiri.

Pelajaran pertama Azkia hari ini adalah menulis. Selama ini dia belajar menulis secara autodidak. Walaupun secara prinsip sudah bisa menulis, namun komposisi huruf masih sekenanya. Karena dia sendiri yang minta diajari menulis, saya rasa tidak ada salahnya mengajari dia cara menulis yang baik, setidaknya secara estetis tidak terlalu kacau.

Saya rancang form untuk menulis di komputer dan dicetak di kertas HVS A4. Setelah itu, dibukukan dengan mempergunakan strapler dan lakban hitam. Covernya dari kertas concorde 220 gram berwarna biru. Saya beri judul: Buku Belajar Menulis Azkia Ainul Mardhiah, di beri dekorasi bunga, dan di bagian bawahnya ditambahkan kata: "homeschooling". Sudah bisa ditebak, Azkia senang sekali, karena ia merasa istimewa dengan buku pribadi seperti itu.

Setelah acara menulis selesai, saya mulai memperkenalkan konsep worksheet sebagai tantangan. Sebuah teks dengan kata-kata yang tidak lengkap. Dia harus mengisi kata yang kosong dengan daftar kata yang ada di sebuah kotak. Isi teks sebenarnya sudah sering dia baca sebelumnya di ensiklopedi, sehingga worksheet itu hanya sebagai reminder saja.

Hari sudah sore, pelajaran terstruktur dicukupkan dulu. Saya tahu, gumpalan rasa penasaran masih mengganggu Azkia. Tapi, masih ada esok, yang siap memberi tantangan berbeda.

Selasa, 18 September 2007

Ketika Anak Bersikap Baik


"Nasinya masih dimasak. Tunggu sebentar ya," ujar saya pada anak-anak. Mereka sudah minta makan siang, sementara saya agak terlambat memasak nasi.

Tak disangka si sulung Azkia berkata, "Nggak apa-apa. Kakak lagi sibuk beres-beres kok. Mama terusin aja kerja lagi."

Wah, merdu sekali terdengar di telinga. Begitulah ketika anak-anak sedang bersikap manis, kata-kata dan sikap mereka begitu menyenangkan.

Tapi saya sedikit merenung juga, kenapa adakalanya anak-anak be te sehingga prilaku mereka bikin kesal, tapi adakalanya juga mereka bersikap manis. Setelah dipikir-pikir, nampaknya itu tergantung juga dari sikap kita.

Anak-anak pun sesungguhnya punya ego bawaan sejak lahir, dan ego itu akan bekerja manakala benteng pertahanan mereka diserang dengan kata-kata atau sikap orang lain, termasuk orang tuanya, yang kurang menyenangkan. Sebaliknya, anak-anak juga makhluk yang tahu berterimakasih. Mereka akan bersikap sangat santun ketika orang tuanya juga ramah pada mereka.

Jadi, ramahlah pada anak untuk mendapatkan senyum dan sikap manis mereka yang indah.

Kamis, 13 September 2007

Belajar Multi Disiplin Ilmu


Beberapa waktu lalu saya sempat bertemu dengan Ibu Yayah Komariah, ketua komunitas Homeschooling Berkemas Jakarta. Lewat bincang-bincang dengan ibu yang penuh semangat ini, ada satu hal yang menarik perhatian saya, yaitu tentang model belajar multi disiplin ilmu.

Model belajar yang saya maksudkan itu adalah model belajar, di mana dengan satu kegiatan bisa langsung diperoleh atau digali beberapa disiplin ilmu. Anak-anak mungkin tidak menyadari disiplin ilmu apa yang ia pelajari, namun mereka mendapatkan inti sarinya.

Misalnya saja, ketika kita mengajak anak-anak belajar memasak di dapur, kita bisa kenalkan nama jenis-jenis bahan makanan yang akan dimasak dan kandungan vitamin yang ada di dalamnya. Itu berhubungan dengan pelajaran biologi. Selain itu, kita juga bisa menceritakan beberapa proses memasak, seperti menggoreng, mengukus, menumis, dan membakar.

Sehubungan dengan pelajaran IPS kita juga bisa sambil cerita tentang proses distribusi makanan-makanan itu: Dari petani atau peternak, diolah dipabrik, lalu dikirimkan ke pasar, toko-toko, atau warung, lalu sampai di rumah-rumah, dan dimasak.

Terkait dengan pelajaran matematika, kita bisa meminta anak-anak untuk menghitung jumlah bawang yang harus dikupas misalnya, atau jumlah kemiri yang akan dihaluskan. Kalau kita punya timbangan kecil, bisa juga anak-anak diajari menimbang bahan-bahan makanan tersebut. Misalnya menimbang 50 gram cabai merah atau 50 gram bawang putih.

Nah, sehubungan dengan pelajaran agama, kita bisa ceritakan pada anak-anak bahwa Allah-lah yang telah menciptakan semua sumber makanan itu, sehingga kita harus bersyukur kepada-Nya.

Ya, deskripsi itu hanyalah sampel kasar tentang sebuah kegiatan yang bisa mencakup beberapa mata pelajaran. Tentu saja, kalau kita mau menggalinya lebih jauh, akan kita temukan lebih banyak lagi tautan disiplin ilmu dalam satu kegiatan.

Saya melihat, kelebihan dari model belajar seperti itu adalah: pertama, anak-anak dibawa pada dunia nyata, sehingga mereka bisa melihat langsung adanya manfaat dari sebuah pengetahuan. Kelebihan yang kedua, anak-anak bisa lebih mudah dan cepat menyerap pelajaran, karena mereka belajar dalam keadaan senang.

Kiranya, tanpa bermaksud mengecilkan model terstruktur dari sebuah proses belajar-mengajar, model belajar multi disiplin ilmu ini patut diperhitungkan sebagai sebuah terobosan untuk memaksimalkan tujuan pengajaran, termasuk juga di sekolah formal.

Salam Pendidikan!

Selasa, 11 September 2007

Memahami Cara Belajar Bayi dan Anak-Anak

Apakah Anda termasuk orang tua baru yang bingung menghadapi anak balitanya? Semua orang tua pasti menginginkan anak-anaknya mendapat pendidikan yang baik sejak dini. Namun menghadapi anak usia dini ternyata tak semudah memotong sayuran. Perlu pengetahuan khusus agar kita bisa memahami mereka, sehingga kita juga lebih santai menjalani keseharian kita bersama mereka.

Saat anak pertama saya lahir, kebingungan itu juga melanda saya. Setelah berhasil menyesuaikan diri dengan pola bayi dalam menyusui, buang air, mandi, dan tidur, tiba-tiba saya merasa ada yang kurang dalam keseharian kami.

Ya, sepertinya kasihan melihat bayi kecil itu tanpa kegiatan berarti. Saya akhirnya sibuk mencari mainan-mainan untuk bayi. Macam-macam mainan dicoba, dan hasilnya ternyata bayi saya cepat bosan atau kadang-kadang tak peduli dengan mainan yang semakin hari semakin bertambah jumlahnya.

Wah, sedih juga waktu itu. Perasaan bersalah tiba-tiba timbul dalam diri saya. Saya merasa tidak becus mengasuh bayi. Saya ternyata nggak tahu apa-apa tentang bayi.

Akan tetapi, perasaan-perasaan itu lambat laun sirna. Saya menemukan banyak pencerahan setelah saya mulai membaca buku-buku parenting. Buku pertama yang banyak menginspirasi saya adalah buku Revolusi Cara Belajar terbitan Kaifa. Isinya memang tidak spesifik tentang parenting, tapi prinsip-prinsip yang diungkapkan para penulisnya mencakup juga dunia pendidikan anak secara umum.

Dari buku itulah akhirnya saya tahu bahwa bayi itu sebenarnya mampu menyerap segala informasi yang kita berikan meski mereka tidak memberikan respon langsung. Bayi ternyata mendengar dan menyerap kata-kata yang didengarnya dari orang-orang atau suara-suara di sekelilingnya, namun mereka belum bisa langsung mengucapkannya kembali hingga otot-otot bicara mereka siap untuk melakukannya.

Oleh karena itulah saya sering mengajak bayi saya ngobrol di sela-sela kegiatan ganti popok, menyusu, atau mandi. Orang yang tidak mengerti, mungkin akan bilang aneh ya. Tapi saya percaya bahwa hal itu akan bermanfaat buat bayi saya. Terbukti, kedua anak saya tidak memiliki masalah dengan berbicara dan relatif lebih cepat menguasai kemampuan tersebut dengan artikulasi yang jelas (tidak cadel) pada usia dua tahun.

Awalnya saya tidak menyadari berartinya kemampuan anak-anak saya dalam berbicara. Namun saya benar-benar mensyukuri hal itu setelah saya tahu bahwa ternyata ada anak-anak pada usia mencapai 4 tahun belum bisa berbicara dengan jelas. Akibatnya anak sering mengalami tantrum (ledakan emosi) karena tidak mampu mengungkapkan secara lisan keinginan dan perasaannya pada orang lain.

Adapun tentang mainan, saya pun lambat laun mengerti bahwa sesungguhnya bayi dan anak-anak sedang menjalani fase eksplorasi besar-besaran terhadap lingkungannya. Mereka akan terlihat cepat bosan dengan sesuatu karena sesungguhnya mereka sedang mencoba menjelajahi dunia. Semuanya menarik bagi mereka sampai mereka merasa cukup mengerti dan mereka pun mencari hal baru lainnya.

Jangan heran, kalau akhirnya kita lihat bayi lebih senang dengan sendok atau garpu yang mereka jatuhkan berulang-ulang ke lantai daripada mainan mahal dari toko. Hal itu terjadi karena semua benda bagi bayi adalah sama. Mereka akan tertarik pada benda apapun jika benda itu memiliki daya tarik tersendiri yang tentu saja hanya mereka yang tahu.

Hal-hal kecil tersebut memang nampak sepele. Namun ketika kita bisa memahaminya ternyata akan berdampak pada cara pandang kita terhadap setiap prilaku anak, termasuk juga dalam memandang cara belajar mereka.

Anak usia dini belajar dengan cara yang khas, berbeda dengan cara pandang orang dewasa. Kalau kita mampu memelihara antusiasme bayi dalam belajar maka keinginan belajar itu akan terus tumbuh hingga mereka besar. Tak perlu lagi kita harus berkoar-koar menyuruh anak belajar, tapi mereka sendirilah yang akan belajar dan meminta kita untuk membimbing mereka.

Tulisan selanjutnya: Menstimulasi Kemampuan Motorik

Salam Pendidikan!

Minggu, 09 September 2007

Ikut Lomba Mewarnai



Sepulang dari berbelanja jam 7 pagi, hari Minggu kemarin, terdengar pengumuman dari mesjid di dekat rumah kami. Dalam rangka menyambut Ramadhan, remaja mesjid akan mengadakan berbagai lomba untuk anak-anak.

Setiba di rumah, saya ceritakan hal itu pada anak-anak. Azkia lalu berbisik pada saya, "Kakak mau ikut lomba mewarnai". Saya tertawa. Tak disangka, anak saya yang belum dan memang berencana untuk tidak dimasukkan TK ternyata mau ikut lomba. Padahal beberapa orang sering meragukan anak-anak homeschooling dalam bersosialisasi dan berkumpul dengan orang banyak.

"Boleh," saya bilang.
"Sekarang Mama ke mesjid. Daftar dulu".
Wah, Azkia dan juga adiknya senang sekali tampaknya. Luqman malah ikut sibuk mencari pensil warna dan penyerut.

Acaranya dimulai jam 10. kami berangkat sekitar 10 menit sebelumnya.


Rupanya di mesjid sudah banyak sekali anak-anak. Sebagian besar sudah duduk di bangku SD, walau ada juga sih anak-anak usia 4 dan tiga tahun yang ingin ikut meramaikan.

Saya coba menjadi pengamat, bagaimana reaksi dan sikap Azkia dalam situasi ramai seperti itu. Berjaga-jaga juga kalau-kalau dia tiba-tiba merasa nggak nyaman dan ingin pulang.



Azkia mendapat posisi paling belakang, karena sudah agak terlambat. Tapi nampaknya dia enjoyaja. Setelah gambar dibagikan, lomba pun dimulai. Terlihat Azkia mencoba mengamati dulu sekelilingnya, melihat-melihat orang lain memulai kegiatannya. Saya akhirnya berbisik, "Mulai aja. Nggak usah lihat orang lain."

Gambarnya lumayan besar, sehingga anak-anak agak lelah mewarnainya. Azkia juga mulai agak mogok setelah sekitar 15 menit. Dia terlihat pegal karena harus menahan lututnya untuk mewarnai di atas meja (tanpa kursi).

Saya akhirnya bilang, "Kakak boleh tengkurap kok,". Dia pun tengkurap di atas karpet dan terlihat lebih nyaman.

Tak terasa hampir 30 menit berlalu. Azkia selesai mewarnai gambar sebelum waktunya benar-benar habis.

Setelah dibagi snack oleh panitia, kami pun pulang. Menjadi juara atau tidak bukanlah tujuan kami. Azkia pun tak peduli dengan itu kayaknya. Terpenting, dia punya pengalaman baru yang mengasyikkan hari itu.

Sekolah Publik atau Publik Sekolah?

Siapa yang punya anak, adik, atau keponakan usia sekolah (TK sampai perguruan tinggi) pasti pernah mengalami peristiwa ini. Setelah proses pendaftaran selesai dan biaya-biaya sekolah yang tercantum di lembar registrasi dibayar lunas, ternyata pihak sekolah mengundang orang tua untuk rapat. Lalu apa yang dibicarakan? Tentu terlalu membuang waktu kalau rapat itu diselenggarakan tanpa tujuan yang menguntungkan sekolah.

Ya, biasanya rapat itu membicarakan tentang uang sumbangan lain-lain yang diminta sekolah. Namanya bisa macam-macam: Mungkin DSP (Dana Sumbangan Pembangunan), Dana pengembangan akademik, iuran, dan lain-lain. Intinya adalah permintaan dana ekstra di luar SPP, yang jumlahnya nanti disesuaikan dengan hasil tawar-menawar orang tua dan sekolah. Hal itu lazim, namun pernahkah kita mengkritisinya secara kolektif?

Sekolah formal, baik negeri maupun swasta sesungguhnya dibiayai 100 persen oleh masyarakat. Tidak percaya? Sekalipun sekolah negeri mungkin mendapat bantuan pemerintah dalam pendanaan sekolah, sesungguhnya dana yang masuk itu juga adalah dana masyarakat yang telah diserahkan lebih dahulu kepada pemerintah lewat pajak. Terlebih lagi sekolah swasta, jelas pembiayaan sekolah didapat sepenuhnya dari orang tua siswa.

Lalu, bagaimana masyarakat melihat sekolah? Seringkali masyarakat tak merasa memiliki sekolah dan tak merasa berhak untuk mengoreksi dan mengawasi sekolah. Buktinya, orang tua lebih sering pasrah dengan permintaan-permintaan dana dari sekolah tanpa mengkritisi ke mana alokasi dana itu akan mengalir dan apa saja yang didapat anak-anaknya dengan pembayaran dana tersebut.

Tampaknya tabu bagi orang tua jika mereka menanyakan komitmen sekolah terhadap pendidikan anak-anak mereka, atau meminta kejelasan pada pihak sekolah tentang ilmu atau keterampilan apa saja yang akan anak-anak mereka kuasai selama bersekolah, apakah guru-guru atau dosen-dosen selalu menjaga kehadirannya sebagai konsekuensi gaji yang dibayar orang tua? Apalagi untuk bertanya tentang jaminan pekerjaan setelah lulus sekolah, jelas tidaklah lumrah hal itu ditanyakan.

Kalau saja masyarakat merasa bahwa sekolah adalah milik mereka, sesungguhnya masyarakat berhak untuk menanyakan hal-hal tersebut,karena sekolah adalah milik publik. Tapi kelihatannya, hari ini masyarakat justru hanya menjadi PUBLIK SEKOLAH yang rela saja mengikuti maunya sekolah, meski kadang-kadang tak lagi rasional.

Salam pendidikan!

Kamis, 06 September 2007

Memilih Bacaan Anak

"Aku marah! Kalau aku marah akan kutembak dia dengan pistol air," begitu celotehan dua bocah kecil saya suatu malam.

Kejutan baru lagi nih! Kata-kata itu jelas bukan hasil referensi saya atau papanya. Seingat saya, kosa kata itu justru ada dalam buku cerita anak yang pernah saya belikan. Tanpa sadar, saking seringnya mereka membaca buku itu, jadilah lidah mereka reflek mengucapkannya ketika bermain.

Buku, majalah, atau jenis bacaan apapun untuk anak memang sudah cukup banyak beredar di pasaran. Muatan cerita dan unsur artistik mungkin sudah cukup beragam dan menarik. Namun sayangnya, beberapa penulis dan penerbit buku anak sering melewatkan editing kosa kata tertentu yang justru bisa fatal jika diadopsi oleh anak-anak.

Kita tahu, anak-anak balita sangat cepat menyerap informasi.Hebatnya, mereka tidak melakukan proses menyaring untuk setiap informasi yang datang, dan kosa kata adalah bagian penting dari unsur informasi. Oleh karena itu, unsur kosa kata yang baik akhirnya menjadi sangat penting dalam memilih buku anak.

Kalimat-kalimat seperti, "Ayam itu nakal sekali sih!". Anak-anak ternyata bisa mengembangkannya untuk konteks yang lain, misalnya,"Kakak nakal!" atau "Adik nakal!". Nah, kalimat yang sering diulang-ulang lambat laun akan membentuk citra diri anak. Kalau kalimatnya mengandung unsur-unsur positif, maka anak-anak akan memiliki citra diri positif, tapi sebaliknya, kosa kata negatif akan membentuk citra diri negatif.

Menyadari efek tersebut, saya akhirnya merasa perlu lebih selektif memilih bacaan buat anak-anak. Biasanya sih hanya dengan membaca judulnya saja saya memilih buku atau majalah anak. Tetapi sekarang, perlu juga nampaknya untuk membaca isinya sampai tuntas. Ya, orang tua sekalian berperan sebagai editor. Tujuannya, untuk mencegah input kurang baik pada buku, yang mungkin luput dari proses editing di penerbit atau redaksi majalah.

Salam pendidikan!

Selasa, 04 September 2007

Ayo, Merapikan Mainan!



“Azkia, Luqman. Tolong rapikan lagi mainannya ya…!”
“Cape, Ma. Kalau merapikan mainan itu cape sekali,” kata Azkia dan begitu juga Luqman menimpali.

Waah, hebat sekali kan anak kecil. Mereka bisa bilang cape ketika disuruh merapikan mainan, padahal mereka yang sudah membuat ruangan jadi berantakan. Bahkan menyisipkan kata “minta tolong” seringkali tak cukup ampuh untuk membuat mereka merapikan mainannya sendiri.

Saya sempat berpikir bahwa anak-anak kecil memang begitulah adanya. Baru setelah mereka beranjak besar mereka akan berubah. Jadi, tunggu saja sampai mereka besar.

Akan tetapi, satu kejadian kecil membuat pikiran saya berubah tentang hal itu. Suatu hari, sejak siang sampai menjelang maghrib saya memang sedang punya acara beres-beres. Anak-anak sih tetap bisa asyik dengan beragam perkakas mainan mereka. Setelah cukup lama mereka bermain tentu saja saya berharap mereka merapikannya lagi. Tapi, dengan cara lama hampir pasti akan gagal, dan ujung-ujungnya jadi kesal juga kan.

Lalu, selintas terpikir untuk mengajak mereka melakukannya bersama-sama. Saya bilang, “Ada nggak ya yang mau membantu Mama membereskan mainan?”. Tanpa terduga, si kecil Luqman menjawab, “Ade, Ma. Mau bantuin”. Azkia juga tak ketinggalan, “Kakak juga mau bantuin, Ma.”

“Wah, kejutan besar nih!”pikir saya. Biasanya mereka langsung pasang muka dan badan yang ogah-ogahan kalau disuruh melakukan itu.

Akhirnya saya jadi punya ide untuk menambah suasana menyenangkan itu dengan sedikit tantangan. Saya kelompokkan kotak mainan menjadi tiga: kotak pertama untuk tempat mainan berbahan kayu, kotak kedua untuk mainan berbahan plastik, dan satu lagi untuk mainan berbahan karet. Ternyata seru juga, karena anak-anak ikut berpikir untuk memilah mainan yang dipegangnya.

Setelah selesai dimasukkan kotak, kami berbagi kotak untuk dibawa ke tempatnya. Saya bilang pada mereka, “Alhamdulillah ya, kita bisa bekerja sama merapikan mainan.”. Mereka terlihat puas dengan jerih payah itu, dan saya pun dapat pelajaran baru tentang meminta kontribusi mereka.

Jangan menyuruh, karena siapapun (termasuk anak-anak) ternyata tak suka disuruh. Tapi ajaklah, karena ajakan ternyata membuat orang merasa lebih berarti dan dihargai.

Salam pendidikan!

Minggu, 02 September 2007

Emansipasi dan Hak Anak



Emansipasi mungkin kata yang paling menyenangkan bagi perempuan dewasa, namun bisa jadi merupakan kata yang menyebalkan bagi anak-anak. Bagaimana tidak, emansipasi membuat ibunya bisa bekerja di luar rumah, meninggalkan mereka hanya dengan pembantu atau nenek-kakek yang sebenarnya sudah lelah mengurus anak kecil.

Realitas zaman modern menuntut serba banyak kepada setiap orang untuk bekerja keras, tak terkecuali kaum ibu. Hal itu ternyata memicu persoalan baru dalam hal pengasuhan anak-anak. Karena para ibu harus juga bekerja untuk menambah pemenuhan ekonomi keluarga, anak-anak terpaksa harus dititipkan kepada orang lain.

Hal itu kini menjadi lumrah namun juga menyisakan pertanyaan, bagaimana nasib anak-anak di masa yang akan datang. Jelas masa depan mereka bukan hanya terletak pada persoalan terjaminnya pendidikan formal atau terpenuhinya kebutuhan materil. Masa depan anak-anak juga menyangkut bagaimana mereka nanti memandang hidup dan bagaimana mereka menentukan peran-peran apa yang harus mereka jalani.

Whitney Housten bilang dalam bait pertama Greatest Love of All, “I believe that children are our future” (Aku percaya bahwa anak-anak adalah masa depan kita). Keyakinan akan hal itu tidaklah berlebihan. Anak-anak yang bermental kuat, cerdas, dan bahagia, akan memberi kemungkinan lebih besar bagi mereka untuk bertahan menghadapi masa depan yang jauh lebih bersaing. Orang tua yang mampu menghasilkan anak-anak berkualitas tentu akan hidup lebih berbahagia di masa tua.

Membiarkan anak-anak hidup tanpa pengasuhan yang baik di masa kecil hanya menanamkan “saham” untuk melemahkan mereka di masa dewasa. Tantangan abad ini dalam pengasuhan dan pendidikan anak bukan hanya berhadapan dengan canggihnya teknologi, namun bertambahnya pula kecanggihan kriminal dan “racun-racun” penghancur perilaku dan norma.

Televisi dan lingkungan hari ini memiliki peran yang besar dalam membentuk kepribadian dan kecenderungan anak-anak. Anak-anak yang lebih banyak hidup dan berinteraksi dengan pembantu secara tidak langsung akan mengadopsi berbagai kebiasaan yang dilakukan para pembantunya.

Pendidikan para pembantu pada umumnya hanya lulusan SMP bahkan lebih rendah, dan mayoritas di antara mereka tidak memiliki bekal pengetahuan tentang mengasuh dan mendidik anak. Apa yang bisa kita harapkan dari mereka saat menjaga anak-anak kita. Biasanya anak-anak akhirnya bebas menonton televisi tanpa penyaringan sama sekali. Kalau pembantu suka nonton film India, ya anak-anak juga ikut-ikutan nonton film India.

Otak anak-anak yang masih terbuka untuk beragam input, baik input negatif maupun positif, akan menyerap semua yang bisa mereka lihat dan mereka dengar hampir seratus persen. Dengan kata lain, kalau saja kita menginginkan anak-anak yang positif, maka kita harus bisa memastikan bahwa apa yang masuk ke dalam otak mereka juga hal-hal yang positif.

Meremehkan input yang diperoleh anak-anak usia dini, secara tidak langsung menunjukkan bahwa kita telah merelakan anak-anak menjadi apapun, walaupun akhirnya mereka tumbuh menjadi pribadi negatif.

Ruang Kerja Peduli Anak

Pekerjaan merupakan salah satu sumber motivasi untuk melanjutkan hidup dan merasa berarti dalam hidup. Perempuan pun jelas berhak atas hal itu. Namun menjadi ibu menuntut sesuatu yang agak berbeda. Anak-anak lahir dengan satu identitas kemanusiaan yang juga harus dihargai. Kita memang tidak perlu secara hitam-putih memandang anak-anak dan pekerjaan sebagai dua kubu yang berlawanan. Kehadiran anak-anak semestinya justru bisa memberikan inspirasi lain tentang pekerjaan dan aktualisasi diri, selain dari apa yang hari ini dikerjakan masyarakat.

Mungkin tidak banyak kantor yang mengizinkan karyawannya membawa anak balita ke tempat kerja. Hal itu merupakan persoalan yang cukup berat bagi para ibu, terlebih bagi para ibu yang memiliki anak-anak di bawah usia dua tahun. Hak bayi atas air susu ibunya terampas oleh peraturan kantor yang seperti itu, dan para ibu juga menderita karena harus memompa air susu yang menggumpal akibat tidak disusukan kepada bayinya.

Emansipasi yang nampak memukau, pada faktanya seringkali berwujud kebebasan semu. Kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik-lah yang akhirnya riang, karena bisa lebih gampang mengeksploitasi potensi perempuan, baik kecerdasannya, kemolekannya, daya tahannya yang tinggi untuk mengatasi kelelahan, kesabarannya, ketelitiannya, ataupun kemampuannya untuk bernegosiasi. Namun balasan atas berbagai eksploitasi di ruang-ruang ekonomi dan industri itu justru banyak merugikan perempuan dan anak-anaknya.

Lingkungan kerja yang peduli anak-anak merupakan solusi penyeimbang dan penyambung dua persoalan perempuan-bekerja yang sudah berstatus ibu. Perusahaan yang mempekerjakan para ibu idealnya memiliki tempat penitipan anak atau lebih bagusnya lagi arena bermain anak-anak. Kalau mungkin, bahkan didirikan Play group dan TK fullday yang lokasinya berdekatan dengan kantor tempat ibunya bekerja, sehingga anak-anak masih bisa bertemu ibunya di waktu istirahat. Selain itu, dekatnya tempat kerja dengan anak-anak minimal akan mengurangi kadar stres ibu mereka.

Keseimbangan
Dr. Qaimi, dalam sebuah buku terbitan Cahaya, berjudul Menggapai Langit Masa Depan Anak, mengatakan bahwa pekerjaan merupakan sumber kebahagiaan umat manusia, yang menjadikan tubuh dan jiwa sehat dan kuat. Para nabi sepanjang sejarah mendorong umat manusia untuk selalu giat bekerja dan berusaha.

Bahkan Nabi saw yang mulia menganggap pekerjaan merupakan kewajiban. Fatimah Az Zahra, puteri Rasulullah saw, sekalipun sibuk merawat dan mendidik anak, tetap giat bekerja di waktu senggang dengan memintal kapas, menggiling gandum, dan melaksanakan berbagai pekerjaan. Tentu saja hal itu dapat beliau lakukan, karena Imam Ali r.a mau berkhidmat untuk menjaga anak-anaknya saat beliau bekerja.

Memang benar bahwa mencari nafkah bukanlah kewajiban perempuan. Akan tetapi, tidaklah pula menjadi salah jika seorang ibu memiliki kegiatan “ekstrakurikuler” selain mengurus keluarga. Rambu-rambu yang harus dipegang hanyalah menjaga agar para ibu tidak terlalu sibuk dan menjadikan pekerjaannya lebih utama dari mengurus keluarganya.

“Berkantor” di Rumah

Sebenarnya, pada beragam keadaan dan alasan, ketika seorang ibu memilih untuk bekerja, baik karena ingin memperoleh penghasilan tambahan bagi keluarganya atau hanya sekedar untuk menyegarkan pikirannya dari sesuatu yang rutin, para ibu masih bisa melakukannya tanpa harus meninggalkan anak-anak. Caranya adalah dengan “berkantor” di rumah.

Di era digital seperti sekarang, sesungguhnya jenis pekerjaan atau kegiatan ekonomi tidak lagi harus terhalang oleh kendala-kendala jarak. Hal itu nyaris bisa teratasi dengan baik dengan penggunaan teknologi yang semakin canggih. Telepon seluler dan internet memungkinkan setiap orang untuk bekerja di manapun dengan klien yang tempat tinggalnya berjauhan bahkan hingga di belahan bumi yang lain.

Oleh karena itu, berkantor di rumah merupakan pilihan yang patut diperhitungkan. Hari ini, home-office bukanlah sesuatu yang mustahil, dan bahkan menjadi semakin populer. Sudah banyak orang melakukannya dengan pertimbangan efisiensi dan untuk menjaga intensitas pertemuan dengan keluarga. Langkah berikutnya tinggal memilih bidang-bidang apa yang akan dijadikan objek usaha “rumahan”.

Menjamurnya kios penjual voucher elektrik di rumah-rumah adalah contoh kecil dari peluang ekonomi yang dapat dikembangkan para ibu. Bahkan beberapa waktu terakhir ini peluang untuk membuka loket pembayaran listrik dan telepon juga terbuka lebar. Semuanya dapat dilakukan di rumah, tanpa meninggalkan anak-anak.

Beberapa ibu yang pandai memasak juga berpotensi untuk mengembangkan usaha rumahan. Sudah banyak contoh ibu-ibu yang sukses di bidang kuliner dengan berbekal semangat berani mencoba. Mereka berhasil membangun usaha yang mampu meningkatkan pendapatan keluarga serta punya waktu yang cukup bersama anak-anak.
Selain itu, para ibu yang memiliki wawasan luas dan kemampuan intelektual yang cukup tinggi dapat menjual keterampilan-keterampilan khusus yang dimilikinya untuk melayani pasar yang sesuai. Misalnya saja jasa penerjemahan dan editing naskah bagi lulusan bahasa, jasa pembuatan laporan keuangan bagi lulusan akuntansi, jasa design grafis, menulis buku, dan lain sebagainya.

Meski tanpa embel-embel emansipasi, beragam tuntutan hidup mungkin tak terelakkan lagi membuat para ibu pun harus ikut menambah rupiah. Namun sekiranya masih bisa bekerja paruh waktu sehingga memungkinkan anak-anak tetap terawasi dan terasuh dengan baik, sungguh bijaksana kalau pekerjaan itu yang diprioritaskan. Kalau benar-benar yakin, bahkan perempuan berjiwa wirausaha bisa membuka peluang income secara mandiri, sekalipun ruang kerjanya mungkin hanya di sudut rumah.

Tentang Saya

Saya, ibu dua anak. Anak-anak saya tidak bersekolah formal. Blog ini berisi pemikiran, hasil belajar, dan beberapa pengalaman.

Jika Anda menggunakan tulisan di blog ini sebagai referensi: (1) HARAP TIDAK ASAL copy paste, (2) Selalu mencantumkan link lengkap tulisan. Dengan begitu Anda telah berperan aktif dalam menjaga dan menghargai hak intelektual seseorang.