Menarik tapi juga miris. Untuk kedua kalinya saya mendapat telpon dari ibu yang memiliki persoalan dengan sekolah anaknya. Kasus yang pertama, anak (kelas 1 SD) terlalu aktif di kelas sehingga gurunya merasa terganggu atau lebih tepatnya tidak sanggup menanggulangi. Secara halus sang guru menolak anak itu berada di kelas lewat dialog dengan orang tuanya. Mungkin mirip kasus Totto-chan ya.
Kasus kedua, sang anak (kelas 1 SMP)berulang kali mangkir dari sekolah dan berbohong pada orang tuanya. Dia lebih memilih singgah di rumah familinya daripada mengikuti pelajaran. Sang ibu sedih sekali, tapi mau bilang apa.
Meski kasusnya sedikit berbeda, yang jelas orang tua kedua anak ini akhirnya melihat homeschooling (HS) sebagai alternatif. Akan tetapi, hal "menakjubkan" ternyata harus mereka temui lagi di ranah homeschooling. Ketika lembaga pendukung HS mereka datangi, ternyata biaya yang ditawarkan membuat mereka tercengang. Jumlah pertemuan dengan tutor yang hanya 2 kali atau 3 kali seminggu dibayar jauh lebih mahal daripada pertemuan tiap hari di sekolah umum. Ya, mungkin juga bisa dikatakan wajar, karena gurunya dibayar dengan standar privat. Tetapi, bagi keluarga menengah, tetap saja hal itu sangat memberatkan.
Saya akhirnya katakan pada kedua ibu ini agar mereka mencari PKBM untuk mengurus masalah legalitas dan memperoleh draft kurikulum diknas sebagai acuan. Tapi, jelas kegiatan belajar menjadi tanggung jawab orang tua. Untuk mata pelajaran yang memang membutuhkan tutor, mereka bisa mengundang guru privat yang mau dibayar alakadarnya atau patungan dengan anak dari keluarga lain.
Pada kasus seperti ini, berpikir substansialis adalah obat. HS sendiri saat ini masih menggunakan jalur persamaan sebagai salah satu cara untuk mendapat legalitas, di samping juga ijazah formal jika bergabung dengan sekolah yang mau menaungi para homeschooler (umbrella school). Bagi keluarga yang tidak memungkinkan secara finansial untuk bergabung dengan lembaga-lembaga pendukung HS atau bekerja sama dengan "umbrella school", PKBM adalah solusi yang paling mudah dan jauh lebih murah.
Kalau orang tua bisa serius mengelola kecenderungan belajar anak-anaknya, mampu menemukan bakat dan minat mereka, serta memfasilitasi pengembangan bakat dan minat itu dengan tepat, saya yakin hasilnya juga tak akan kalah dengan anak-anak HS yang bayar mahal ke lembaga-lembaga berorientasi profit.
Homeschooling mungkin hanya sebuah pilihan di antara pilihan-pilihan yang ada, namun untuk beberapa kasus (termasuk dua kasus yang saya ceritakan di atas), HS adalah jalan satu-satunya. Hanya saja, kini terjadi degradasi yang besar pada pelaksanaan HS. Sebuah model pendidikan yang harusnya bisa memerdekakan pikiran dan juga meninggalkan jauh bentuk-bentuk eksploitasi dan pembodohan, nyatanya berubah menjadi sarana baru pengerukan income. Entahlah, apa mungkin karena ini abad materialisme, sehingga model pendidikan alternatif apapun akhirnya berujung pada eksploitasi materil.
Lalu apa jadinya anak-anak kita di hari depan? Saya kadang termenung dan mencoba mengolah berbagai kemungkinan. Akhirnya saya hanya bisa bilang, selamat datang tantangan!
Artikel lain
Jumat, 23 November 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tentang Saya
Saya, ibu dua anak. Anak-anak saya tidak bersekolah formal. Blog ini berisi pemikiran, hasil belajar, dan beberapa pengalaman.
Jika Anda menggunakan tulisan di blog ini sebagai referensi: (1) HARAP TIDAK ASAL copy paste, (2) Selalu mencantumkan link lengkap tulisan. Dengan begitu Anda telah berperan aktif dalam menjaga dan menghargai hak intelektual seseorang.
Jika Anda menggunakan tulisan di blog ini sebagai referensi: (1) HARAP TIDAK ASAL copy paste, (2) Selalu mencantumkan link lengkap tulisan. Dengan begitu Anda telah berperan aktif dalam menjaga dan menghargai hak intelektual seseorang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar