Suatu hari saya obrolkan fenomena itu dengan seorang ibu. Mengejutkan, ia bilang, “Anak saya juga begitu, Bu. Tapi kan bukan saya yang ngajarin. Memang susah kalau sudah terpengaruh teman. Saya pengennya dia seneng baca, tapi susah sekali.” Saya manggut-manggut dan merasa salut juga pada si ibu. Dia terlihat berusaha keras agar anaknya senang membaca, meski ia tahu sudah tidak mudah lagi untuk menanamkan kebiasaan itu. Usia anaknya sudah beranjak remaja dan “habit” tidak suka baca sudah terlanjur terbentuk.
Usai obrolan pendek itu, saya “kok” terhubung dengan catatan Charlotte Mason (CM) tentang “Menyuplai ide-ide di benak anak lewat bacaan bermutu.” CM percaya, lewat buku yang menghadirkan ide-ide yang luhur, anak-anak dan orang dewasa sekalipun akan menyerap kosa kata yang beragam dan berharga, sehingga mereka akan mengeluarkan buah pikiran dan aksi yang berguna bagi masyarakatnya.
Dan sepertinya, saya melihat benang merah antara gagasan CM dengan masalah yang saya saksikan nyaris setiap hari itu. Dengan bermodalkan kosa kata yang kaya mudah-mudahan anak-anak akan berkomunikasi dengan sesama mereka dengan bahasa yang lebih baik.
Jadi, saya tidak ragu lagi, memang solusinya adalah meluaskan akses bagi masyarakat dari berbagai lapisan ekonomi untuk membaca buku-buku bermutu. Tidak mudah, itu jelas, tapi jika di setiap penjuru kampung atau komplek atau kota akses terhadap buku dibuat mudah, maka minimal 1% saja ada yang berubah menjadi pembaca buku setiap bulannya, maka jumlah anak/remaja yang “miskin” kata-kata akan semakin berkurang. Insya Allah.
Kita bisa lho mengentaskan kemisikinan kosa kata ini bersama-sama, minimal di lingkup kecil kita masing-masing. Caranya tak selalu harus dengan membuka Taman Bacaan. Jika punya buku berlebih di rumah, bukankah kita bisa meminjamkannya kepada saudara atau anak-anak tetangga yang tidak memiliki akses terhadap bahan bacaan. Meski nampak kecil, tapi insya Allah akan berpengaruh besar secara kolektif dalam jangka panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar