Anak-anak kami bisa dikatakan agak terlambat untuk mulai berpuasa dibandingkan anak-anak lain yang bahkan sudah mulai pada usia 6 tahun. Baru di usia 8 Azkia mulai ingin belajar puasa setengah hari, dan di usia 9 tahun nyaris penuh, kecuali batal karena perjalanan jauh kami ke Sumatra Barat dan Aceh tahun lalu.
Sementara itu, si kecil Luqman, tahun lalu, di usia 7 tahun baru mulai mencoba puasa setengah hari sampai jam 3. Namun Ramadhan tahun ini, di hari pertama shaum, terlihat ia berusaha begitu keras. Setelah pukul 12 siang berdentang, ia masih bertahan, menjelang jam 3 ia minta izin berbuka dengan air tapi puasa lagi setelah itu. Saat maghrib tiba, ia tidak mau berbuka makan duluan kecuali bersama-sama.
Kunci inti yang saya simpulkan dalam menanamkan keinginan untuk berpuasa itu sebenarnya lahir dari integritas orang tua. Ketika orang tua menganggap penting puasa Ramadhan, memuliakan hari-hari di bulan ini maka lambat laun anak-anak akan memperoleh aliran energi untuk melakukan hal yang sama. Seperti sebuah celotehan ringan seorang kawan, "Untuk menjadikan anak-anak menjadi baik itu, gampang. Jadilah orang tua yang berakhlak baik, insya Allah anak-anaknya juga akan baik."
Segepok tips hanya diperlukan bagi mereka yang kurang memiliki ikatan emosional dengan anak-anaknya. Percayalah, dengan interaksi yang baik, dengan komunikasi yang baik, yang terjalin antara kita dan anak-anak, nilai-nilai itu tidak perlu dijejalkan, melainkan cukup hanya dicontohkan dan anak-anak akan tergerak untuk menirunya dengan kesadaran sendiri. Adapun pemahaman mereka tentang hakikat amalan yang mereka tiru adalah fase berikutnya, sebagai sebuah perjalanan spiritual mereka sendiri.
Saya tidak membuat form isian untuk melatihkan disiplin Ramadhan. Saya ganti form riyadhah dan semacamnya dengan cukup melatihkan sedikit (1-2) kebiasaan baru yang bisa mereka jangkau secara konsisten. Sederet aktivitas yang terlalu penuh bisa jadi malah tidak sanggup mereka jalani. Akibatnya, mereka tidak memiliki kesan yang baik dengan Ramadhan.
Ketidakmampuan mencapai target bagi anak-anak tidaklah sederhana. Ketika impuls saraf di otak akan melontarkan energi listrik yang luar biasa sehingga gairah belajar naik saat anak berhasil mencapai sesuatu, maka ketika gagal dan terlalu banyak gagalnya, akan berdampak sebaliknya.
Kita tidak perlu membandingkan anak kita dengan anak lain. Setiap anak berkembang sesuai kapasitasnya. Terpenting, proses belajar tidak pernah berhenti. Proses adalah tahapan yang jauh lebih penting untuk dihargai daripada hasil. Tugas manusia adalah berikhtiar, sementara hasilnya ada dalam kekuasaan Allah Yang Maha Berkehendak.
Buat saya, perubahan kecil yang bisa dijalankan secara kontinyu jauh lebih baik daripada perubahan banyak yang hanya sesekali bisa dilakukan. Bukankah Rasulullah SAW bersabda, “Amalan yang lebih dicintai Allah adalah amalan yang terus-menerus dilakukan walaupun sedikit”(HR Bukhari dan Muslim).
Wallahu'alam bishshowwab. Selamat menunaikan ibadah Shaum Ramadhan.