Artikel lain

Minggu, 27 Februari 2011

Jangan Takut, Home-Education Bukanlah Musuh Sosialisasi

Sebenarnya ini topik lama yang pada masa-masa awal kami menjalani homeschooling (HS)/home-education (HE) sempat juga membuat kami khawatir. Terlebih lagi karena memang itulah bagian yang paling banyak di'pertanyakan' oleh mereka yang tidak sepakat dengan HS/HE. Pemula yang sedang membangun jati diri tentu saja bisa limbung dan mempertanyakan ulang keputusannya ber-HE. Akan tetapi saya bersyukur, justru dengan banyaknya benturan keraguan dari orang lain dan juga diri sendiri keputusan ber-HE menjadi semakin berargumentasi, bukan sekedar ikut-ikutan trend, bukan juga karena kekecewaan sesaat dan juga parsial terhadap pendidikan massal.

Sebulan terakhir pertanyaan serupa kembali saya dengar dari 3 orang yang berbeda. Karena itulah saya jadi tertarik untuk merenung ulang dan menuliskannya. Saya sudah tak mempermasalahkan 'sosialisasi', namun ternyata tanpa sadar saya belum bisa menjabarkan secara definitif tentang hal ini bagi diri saya, terlebih-lebih lagi bagi orang lain yang penasaran mempertanyakan.

Tapi perlu digarisbawahi, tulisan ini bukan untuk membela HS dan menjelek-jelekkan sekolah. Ini hanyalah argumentasi terbalik dari asumsi bahwa HS/HE bisa menyebabkan anak tidak bisa bersosialisasi.

Kalau yang dimaksud dengan sosialisasi adalah bertemu dengan banyak orang selain keluarganya maka tidaklah tepat jika anak homeschooling jadi tidak bisa bersosialisasi gara-gara tidak sekolah. Sesungguhnya mereka justru punya PELUANG lebih banyak untuk bersosialisasi dengan berbagai orang dari rentang usia yang heterogen (lebih muda, sebaya, dan bahkan lebih tua). Mengapa bisa begitu?

Bayangkanlah, anak-anak HE tidak dihalangi jadwal belajar sekolah yang penuh selama seminggu. Pada saat anak-anak sekolah berada di kelas untuk menyimak guru-guru mengajar, anak-anak HE bisa memilih pergi ke berbagai tempat, dengan beragam orang, melakukan kegiatan yang bervariasi dengan orang-orang berbeda, berguru/belajar pada orang-orang yang berbeda dengan topik yang juga berbeda-beda sesuai minat.

Anak HE bisa ikut kursus bahasa, kursus robot, latihan wall climbing, kursus masak, ikut kelas sains, musik, olah raga, atau mungkin juga ikut bantu orang tuanya jualan, dan kegiatan lainnya pada jam anak sekolah bersekolah. Pada setiap moment kegiatan-kegiatan tersebut bukankah anak-anak juga sebenarnya sama-sama bertemu banyak orang. Mereka bertemu guru dan teman-teman kursus atau latihannya, bertemu para pembeli (jika ikut jualan), dll. Bagaimana bisa anak HS/HE dikatakan tidak punya kesempatan bersosialisasi dengan kondisi seperti itu?

Memang tidak semua para pelaku HS/HE memiliki jadwal bepergian atau belajar ke tempat-tempat yang jauh dengan banyak orang, namun jika mereka mau, semua itu sangat memungkinkan terjadi. Sama halnya dengan anak-anak sekolah yang setelah pulang punya pilihan yang semacam itu. Sebagian anak mungkin kelelahan dan memilih di rumah saja, namun sebagian kecil ada juga yang memilih ikut kegiatan ekstra di luar jam pelajaran dan bahkan di luar sekolah. Semuanya kembali pada pilihan anak dan keluarga.

Kesan bahwa anak HS/HE tidak mampu bersosialisasi memang sering melekat pada awal-awal orang mendengar istilah homeschooling. Tidak salah juga sih sebenarnya, karena yang terbayang dari istilah homeschooling adalah kebalikan schooling secara mutlak. HS itu belajar di rumah saja dan yang ada di dalamnya hanya anak dan orang tua, sementara schooling berarti belajar di sebuah bangunan sekolah yang ada banyak anak-anak lain di dalamnya. Sedikit orang vs banyak orang.

Menurut saya pribadi, kalau sosialisasi itu sendiri lebih pada makna bertemu, berkegiatan, berbincang, berinteraksi, maka dalam soal belajar akademik tidaklah mesti harus begitu (walaupun bisa saja memilih demikian). Toh, pada dasarnya, anak-anak sekolah pun menyerap betul-betul pelajaran sekolah bukan pada saat guru menerangkan di sekolah, melainkan justru pada saat mereka sendirian di rumah, ketika mereka membaca ulang poin-poin pelajaran yang di sekolah hanya dikenalkan gambaran kasarnya karena keterbatasan waktu.

Jadi, khususnya bagi teman-teman yang berminat menjalankan HS/HE dan masih terbentur oleh ketakutan soal sosialisasi, yakinlah bahwa tidak bisa bersosialisasi bukanlah karena faktor HS atau sekolah, melainkan pilihan kita sendiri. Kita-lah yang akhirnya memutuskan, apakah akan mengajak anak bersosialisasi mengenal banyak orang atau hanya mengurungnya di rumah. HS/HE bukanlah halangan untuk mengenalkan anak-anak pada kehidupan sosial dan berinteraksi dengan manusia secara sehat. Insha Allah.


Senin, 21 Februari 2011

Bijak Memanfaatkan Teknologi

Saya pernah menulis tentang peluang belajar dengan memanfaatkan teknologi digital, dan itu tetaplah sebuah pilihan yang bagus jika tujuannya adalah kepraktisan dan dalam rangka menyambut zaman. Akan tetapi, belajar secara virtual tetap tidak bisa mengalahkan integrasi pengalaman nyata dengan benda-benda nyata. Tetap ada yang luput dari pembelajaran digital dibandingkan belajar dengan benda-benda kongkret dan kegiatan kongkret, yaitu terfungsikannya alat motorik karunia Allah SWT dan terlibatnya anak-anak dalam sebuah proses nyata yang ter-inderai secara menyeluruh dan bukan semata menekan'tombol-tombol' instan.

Saya mencoba bersikap moderat dalam memilih alat belajar. Anak-anak kami di rumah tidak ditabukan dari teknologi digital tapi juga tak kami biarkan terlena dengannya. Menganggap teknologi hanya sebuah alat tentu berbeda dengan mereka yang menjadikannya tujuan. Jika penguasaan teknologi jadi tujuan atau output pendidikan maka tanpa sadar seseorang bisa dikendalikan oleh teknologi tanpa mampu bersikap kritis. Pesona teknologi memang mampu menjerat siapa saja pada penjelajahan tanpa batas, namun dengan mengenal tujuan hidup, tujuan penciptaan, manusia akan terlatih untuk 'waspada' dengan apa yang ditawarkan di depan matanya.

Meski zaman terus mengajak anak-anak untuk bergerak cepat dengan fasilitas teknologi yang kian canggih, namun saya berpendapat, pendidikan tetaplah sebuah proses panjang. Pendidikan bukan hanya tentang anak harus menguasai keterampilan A atau hafal pengetahuan C, pendidikan meliputi pemenuhan seluruh kebutuhan fisik dan ruhani anak-anak: kasih sayang, sikap mental yang positif, pengetahuan tentang dunia dan Penciptanya, sifat-sifat mulia, makanan yang sehat dan baik, dan aktivitas yang mampu membangun potensi dirinya.

Memainkan permainan bertani secara digital misalnya, meski dengan gambar-gambar yang menyerupai kenyataan, namun tetaplah permainan itu bukan sebuah kenyataan. Anak-anak melewatkan banyak fase yang di dunia nyata membutuhkan waktu dan kesabaran, dan justru itulah pelajaran berharga yang harusnya didapat anak-anak dari kegiatan bertani yang sesungguhnya.

Sepintas lalu, interaksi intensif anak-anak dengan dunia digital mungkin tak terlalu menunjukkan dampak-dampak negatif yang mengkhawatirkan, namun dalam jangka panjang saya melihatnya tidak sederhana. Jiwa yang selalu tergoda serba cepat, impulsif, emosional, kurang peduli pada sekitar, adalah ancaman yang harus diwaspadai dari interaksi berlebihan anak-anak dengan perangkat digital, mainan digital, termasuk juga aktivitas belajar digital. Dibalik kemudahan yang ditawarkannya, sekalipun untuk tujuan pendidikan,tetap saja kita harus bijak menggunakan teknologi. Dunia virtual dan dunia nyata, meski nampak punya kemiripan di antara keduanya, namun tetaplah berbeda.


Jumat, 11 Februari 2011

Mengenalkan Kembali Teknologi Lama

Berasal dari kampung mungkin juga ada pengaruhnya bagi saya dalam menentukan apa yang penting untuk anak-anak ketahui. Berkolaborasi dengan pengetahuan-pengetahuan baru setelah mulai berinteraksi dengan teman-teman aktivis lingkungan, bersinergi pula dengan minat besar terhadap dunia tumbuhan dan kesehatan alami, saya melihat bahwa banyak teknologi sederhana warisan orang-orang tua jaman dulu yang tak boleh dilupakan dan bahkan tetap harus dikenalkan pada generasi sekarang. Alasannya, karena teknologi 'jadoel' itu justru lebih ramah lingkungan, lebih bersahabat terhadap alam.

Pengomposan dengan cara paling murah, misalnya. Tak perlu bahan baku yang aneh-aneh, jika kita masih punya tanah kosong di halaman sekitar 1x1 meter, sampah organik bisa langsung ditampung pada lubang yang kita buat di sana. Setelah penuh bisa ditutup, menunggu sampai sempurna menjadi kompos dan kita buat lagi lubang dengan ukuran yang sama di area berbeda secara bergilir. dan kalau tak punya lahan kosong lagi, kita bisa memakai model sederhana lainnya seperti penggunaan keranjang takakura.

Saya juga mulai kenalkan pada anak-anak 'spons' alami dari sabut kelapa. Dulu, ketika saya masih kecil, memang sabut kelapa-lah yang biasa dipakai mencuci piring, selain juga daun bambu yang diremas-remas. Mungkin dulu dipilih karena tak ada pilihan lain, namun sekarang, saya memlihnya karena sabut kelapa jauh lebih ramah lingkungan ketimbang spons busa buatan pabrik. Sabut kelapa akan terurai di tanah dengan mudah setelah jadi sampah, sedangkan spons busa butuh waktu lama.

Menggunakan minyak kelapa buatan sendiri. Banyak orang sekarang menjadikan minyak kelapa asli sebagai obat. Produk sudah diberi botol khusus dan merek. Di rumah, kita bisa membuatnya sendiri dan motivasinya sudah berbeda.Membuat minyak kelapa sendiri berarti akan mengurangi sampah plastik kemasan minyak goreng yang begitu cepat menumpuk dari minggu ke minggu.

Bumbu masak, cukup gunakan bawang putih dan bawang merah sebagai penyedap masakan, ditambah daun-daun dan rimpang bumbu yang bisa kita tanam di pekarangan. Hal itu banyak mengurangi penumpukan sampah plastik kemasan dan juga sampah toxic dalam darah kita. Bukankah zat kimia dalam penyedap rasa juga tak terelakkan masuk ke dalam tubuh kita saat kita menyantapnya bersama makanan. Kalau anak-anak tidak dikenalkan pada bumbu-bumbu alami, pastinya mereka hanya akan tahu bumbu instan saja, yang memperolehnya cukup dengan memiliki uang.

Menanam sendiri beberapa jenis sayuran adalah program saya untuk anak-anak. Terkandung 2 pelajaran dalam kegiatan ini:

1. Anak-anak bisa belajar tentang esensi kebutuhan hidup. Kalau orang bekerja untuk mendapat uang dan uang dibelanjakan untuk membeli bahan makanan, maka mengapa harus mati-matian tanpa kenal waktu untuk mencari uang jika sebagian kebutuhan pokok bisa diproduksi sendiri (setidaknya mereka tidak lagi menjadi sangat bergantung pada ketersediaan uang untuk merasa hidup);

2.Tentu saja tentang lebih sehatnya sayuran hasil tanam sendiri. Dengan menanam sendiri kita bisa memilih tidak memakai pestisida kimia dan juga pupuk buatan. Sebagaimana kita tahu, pestisida, walaubagaimanapun adalah racun dan pupuk kimia juga mengandung zat yang tidak alami.

Mengenalkan dan mengkonsumsi obat-obatan alami dan mengurangi pemakaian obat kimia. Setiap kali di antara kami mengalami gejala sakit, saya selalu mendahulukan penggunaan obat dari tetumbuhan yang kami tanam atau obat-obatan herbal siap pakai untuk persediaan. Karena hampir 3 tahun lebih konsisten seperti itu, alhamdulillah anak-anak juga jadi terbiasa, dan sangat-sangat jarang dan malah nyaris tak pernah lagi bertemu dokter ketika sakit. Saya yakin hal itu juga dipengaruhi oleh sugesti positif mereka yang lambat laun tumbuh.

Target saya selanjutnya adalah mencoba memproduksi sabun, pasta gigi, dan sampho alami. Berharap, dengan begitu makin sedikit ketergantungan kami pada pabrik dan makin sedikit kami memproduksi sampah plastik yang jelas-jelas tak bisa diurai dengan mudah.

Teknologi lama, tak ada salahnya dibangunkan kembali. Dan yakinlah akan berguna dua kali lipat di zaman yang penuh masalah lingkungan seperti saat ini.


Selasa, 08 Februari 2011

Pendidikan, Kompetisi, dan Pembuktian

Pendidikan adalah keseluruhan proses mempertahankan minat belajar (yang sejatinya sudah dimiliki anak-anak sejak lahir), menggali potensi, menanamkan nilai-nilai kebaikan, dan memberikan bekal keterampilan supaya akhirnya anak-anak mandiri dalam belajar. Lewat pendidikan berbasis rumah saya melihat proses itu paling memungkinkan terjadi untuk keluarga kami, yang berkecimpung di bidang yang juga tidak terlalu formal.

Awalnya saya menjalani keputusan ini dengan banyak perdebatan, bukan dengan orang lain, tapi hakikatnya adalah dengan keyakinan-keyakinan saya sendiri. Jikapun akhirnya pergulatan pemikiran itu bersinggungan dengan pikiran orang lain yang berbeda atau mirip tapi beda esensi, nyatanya saat saya benar-benar yakin dengan konsekuensi pendidikan tanpa sekolah formal semua perdebatan dengan pihak-pihak yang menolak, mencibir, atau sekadar tidak setuju tidak lagi menarik untuk diteruskan.

Saya tidak bisa mengubah pikiran orang lain dan juga tidak punya hak untuk memaksa mereka setuju dengan apa yang saya pilih. Spirit pendidikan rumah adalah kemerdekaan dalam menentukan model pendidikan dan bukan tentang meng-klaim bahwa home-education, homeschooling, atau pendidikan informal adalah cara paling baik sehingga cara lainnya menjadi tidak baik.

Apalagi, begitu banyak contoh, di mana nasib manusia, perubahan manusia, tak pernah bisa diprediksi. Tak sedikit orang yang masa kecilnya 'berantakan' tapi di usia dewasa mampu jadi teladan. Sebaliknya, di masa kecil nampak hebat, namun saat usia kian lanjut, malah berubah mengecewakan. Poin pentingnya, selalu-lah menempatkan segalanya dalam bingkai kerendahan hati di hadapan Allah dan juga di hadapan makhluk-makhluk-Nya. Kita hanya berusaha sesuai pengetahuan yang kita yakini (namun belum tentu itu yang paling benar), adapun hasilnya? Bagaimana mungkin kita berani menyombongkan diri atas sesuatu yang kita sendiri belum mengetahuinya. Meskipun kita punya harapan besar, namun masa depan anak-anak kita, tak pernah ada yang tahu akhirnya seperti apa. Kita hanya bisa berdoa untuk kebaikan mereka.

Kompetisi
Saya menyadari, ada banyak hal yang masih menjadi misteri. Apakah sebenarnya manusia butuh iklim kompetisi untuk menjadi maju ataukah tidak? Menurut saya, kompetisi seringnya hanya menjadi alasan yang temporer dan tidak hakiki. Betapapun seringnya melihat negara yang berprestasi, jika suatu bangsa belum memiliki karakter yang memungkinkan kemajuan itu datang, maka dilombakan atau dikompetisikan sesering apapun hasilnya tak akan jauh berubah.

Apalagi setelah mencoba mempelajari karakteristik pendidikan para nabi utusan Allah, saya menyimpulkan sementara ini, pendidikan bukan butuh kompetisi, melainkan semangat untuk menjadi lebih baik yang keluar dari kesadaran diri. Dan tidak ada semangat perbaikan yang paling hebat pengaruhnya bagi makhluk bumi kecuali semangat meningkatkan ilmu pengetahuan dan membina diri sehingga memiliki akhlak/kepribadian yang mulia. Saya yakin, spirit ini akan membuahkan kondisi yang berbeda dimanapun pendidikan dilaksanakan.


Pembuktian
Mungkin inilah yang tanpa sadar menjadi tujuan kompetisi, namun bisa jadi juga sebenarnya tidak sepenuhnya bisa dijadikan acuan. Membuktikan bahwa para 'pemenang' kompetisi adalah yang terbaik dari sekian banyak orang kini makin sulit untuk dipercaya seratus persen. Pada zaman di mana uang berkuasa, popularitas jadi tujuan, manusia lebih melirik harta benda dan kehormatan semu dibandingkan kejujuran. Karena itulah, mengandalkan kompetisi untuk membuktikan kehebatan seseorang tidaklah lagi terlampau relevan.

Pendidikan adalah sarana untuk mengantarkan manusia pada kedudukan yang terus naik, bukan dalam pandangan materil (kendati hal itu mungkin juga hadir bersamaan), namun dalam parameter yang lebih tinggi yaitu nilai-nilai ilahi yang terbuktikan dalam keseharian kehidupannya, lewat perilakunya. Kemajuan di dunia materi bisa hancur kapan saja dengan kuasa Allah SWT, namun kemajuan kualitas jiwa akan membuat manusia tetap 'tumbuh' dan bahkan menjadi bekal yang bisa dituai saat manusia kembali pada Tuhannya.

Wallahualam bishawwab.

Tentang Saya

Saya, ibu dua anak. Anak-anak saya tidak bersekolah formal. Blog ini berisi pemikiran, hasil belajar, dan beberapa pengalaman.

Jika Anda menggunakan tulisan di blog ini sebagai referensi: (1) HARAP TIDAK ASAL copy paste, (2) Selalu mencantumkan link lengkap tulisan. Dengan begitu Anda telah berperan aktif dalam menjaga dan menghargai hak intelektual seseorang.